Pemerintahan Jokowi di Indonesia boleh jadi melihat penarapan hambatan dagang oleh Uni Eropa adalah bentuk perang dagang. Namun, kebijakan itu bisa juga perlu menjadi refleksi atas kebijakan-kebijakan pemerintah terkait lingkungan dan kehutanan.
PinterPolitik.com
Suatu waktu, tepatnya pada 11 Januari, melalui akun Twitternya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) membuat cuitan yang cukup menarik perhatian. Isi cuitan tersebut seperti dikutip dari akun resmi Presiden Jokowi adalah sebagai berikut:
Indonesia memiliki 13 juta ha kebun kelapa sawit dengan produksi 46 juta ton per tahun. Uni Eropa memunculkan isu bahwa minyak kelapa sawit (CPO) tidak ramah lingkungan.
Ini soal perang bisnis antarnegara saja karena CPO bisa lebih murah dari minyak bunga matahari mereka. pic.twitter.com/YzzihBQggX
— Joko Widodo (@jokowi) January 11, 2020
Pernyataan tersebut datang dari beberapa kebijakan yang diberlakukan oleh Uni Eropa yang salah satunya adalah Renewable Energy Directive II atau RED II yang dituangkan dalam regulasi turunan (Delegated Act).
Dalam regulasi tersebut, terdapat konsep Indirect Land Use Change (ILUC) dimana konsep tersebut menetapkan kelapa sawit sebagai tanaman yang memiliki risiko tinggi terhadap deforestasi sehingga tidak bisa digunakan untuk biofuel. Alhasil, biofuel yang berasal dari sawit akan dilarang dan pelarangan tersebut dimulai sejak tahun 2024, serta akan berlaku total pada tahun 2030.
Terlepas dari dampak lingkungan yang diakibatkan oleh ekspansi sawit, mungkin pernyataan Presiden Jokowi tersebut – apabila ditilik dari sudut pandang ekonomi-politik – menganggap bahwa Uni Eropa sedang melakukan praktik neo-merkantilis. Sebelum masa perdagangan bebas, tepatnya ketika merkantilisme masih populer, upaya hambatan perdagangan salah satunya dilakukan dengan cara penerapan hambatan tarif.
Penerapan hambatan tarif secara umum bertujuan untuk meningkatkan pendapatan negara dan melindungi industri dalam negeri dari persaingan dengan produk asing serta untuk meningkatkan neraca perdagangan dengan mereduksi impor dan meningkatkan ekspor.
Namun, dikarenakan regulasi tersebut diatur dan dikurangi atau bahkan ditiadakan – karena adanya regulasi yang dibuat oleh World Trade Organization (WTO), maka muncul merkantilisme gaya baru yakni neo-merkantilisme yang mengedepankan cara-cara perlindungan ekonomi melalui penerapan hambatan perdagangan non-tarif.
Dalam konteks sawit Indonesia, adapun hambatan yang dimaksud yaitu diterapkannya standar produk pada komoditas impor minyak kelapa sawit oleh Uni Eropa melalui kebijakan RED II.
Kebijakan tersebut dalam kacamata neo-merkantilisme merupakan upaya yang alamiah guna memainkan perannya untuk melindungi perekonomian nasional dibalik aturan ataupun kesepakatan yang dicapai melalui praktik perdagangan bebas yang lazim. Sebagaimana apa yang dikatakan oleh Gilpin, bahwa semakin pasar berkembang, maka negara akan semakin mencari peluang untuk mengontrol perdagangan.
Alhasil, Presiden Jokowi mungkin merasa bahwa kebijakan yang dibawa oleh Uni Eropa kontradiktif dengan posisi lembaga supranasional itu sebagai champion of open, rules based free, dan fair trade. Selain itu, cuitan Presiden Jokowi yang menyatakan bahwa kelapa sawit merupakan komoditas minyak nabati yang lebih unggul dibandingkan dengan komoditas minyak nabati diperkuat pula oleh riset.
Minyak kelapa sawit merupakan minyak nabati yang paling banyak varian produk turunannya dibandingkan dengan jenis minyak sayur lainnya sehingga nilai utilitasnya sangatlah tinggi. Kelapa sawit apabila dibandingkan dengan minyak nabati lain juga lebih efisien di mana kelapa sawit hanya membutuhkan 0,3 hektare (ha) untuk menghasilkan 1 ton minyak.
Sementara, kedelai, bunga matahari, dan rapeseed membutuhkan 2,17 ha, 1,52 ha, dan 0,75 ha untuk menghasilkan jumlah yang sama. Oleh karenanya, Presiden Jokowi menarasikan bahwa persoalan kelapa sawit Indonesia dengan Uni Eropa hanyalah perihal perang dagang.
Namun, apa yang dilakukan oleh Uni Eropa seharusnya dapat menjadi refleksi bagi tata kelola sawit Indonesia. Riset dari Kemen G. Austin, Amanda Schwantes, Yaofeng Gu, dan Prasad S Kasibhatla menunjukkan bahwa ekspansi perkebunan kelapa sawit dari tahun 2001-2016 menyebabkan hilangnya 23 persen hilangnya tutupan hutan Indonesia. Riset lain yang dilakukan oleh Austin juga menunjukkan dari tahun 1995 hingga 2015, laju deforestasi dari pembukaan kebun kelapa sawit di Indonesia rata-rata 117.000 hektar per tahun.
Fakta lain menunjukkan – walaupun terdapat Instruksi Presiden (Inpres) No. 8 tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit atau Inpres Moratorium Sawit – bahwa nyatanya komitmen untuk menjalankan kebijakan tersebut masih dipertanyakan.
Dalam laporan Kemana Arah Implementasi No. 8 Tahun 2018 Berjalan yang dibuat oleh beberapa lembaga swadaya masyarakat (NGO) yang bergerak di bidang lingkungan, ditemukan perizinan pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan sawit di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah, atas nama PT. Hartati Inti Plantations seluas 9.964 hektare.
Izin tersebut dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dengan nomor Nomor SK.517/MENLHK/SETJEN/PLA.2/11/2018. Seharusnya, hingga tiga tahun ke depan sejak Inpres ini dikeluarkan, perizinan pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit tidak diperkenankan sebagaimana diinstruksikan oleh Inpres. KLHK sebagai salah satu lembaga yang diinstruksikan untuk menjalankan kebijakan ini pun telah gagal untuk mengimplementasikan kebijakan tersebut.
Fakta selanjutnya menunjukkan – berdasarkan penelitian Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 2018 – bahwa ada sekitar 2,8 juta hektar lahan sawit yang berada di kawasan hutan dan 65 persennya merupakan milik perusahaan. Bahkan, temuan dari Yayasan Madani Berkelanjutan menemukan bahwa sekitar lebih dari satu juta hektar lebih kawasan hutan primer dan lahan gambut berisi perkebunan kelapa sawit.
Keberadaan lahan kelapa sawit jelas merupakan sebuah pelanggaran hukum karena berdasarkan UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria harus mendapatkan izin Hak Guna Usaha dari Pemerintah dan perkebunan kelapa sawit hanya diizinkan ditanam di wilayah Area Peruntukan Lain (APL) sebagaimana diatur dalam UU No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentutan-Ketentuan Pokok Kehutanan. Hal ini menunjukkan bahwa instruksi untuk melakukan evaluasi terhadap perizinan perkebunan kelapa sawit yang ada masih belum diimplementasikan dengan baik.
Melihat narasi developmentalism yang selama ini digaungkan oleh Presiden Jokowi dan salah satunya terjawantahkan dalam cuitan tersebut, alangkah lebih baik apabila diimbangi oleh komitmen yang serius terhadap perlindungan lingkungan hidup karena lemahnya komitmen terhadap perlindungan lingkungan hidup akan berdampak pada perkembangan ekonomi.
Dalam laporan World Economic Forum berjudul The Global Risks Report 2020, lebih dari 200 perusahaan besar di dunia memperkirakan bahwa perubahan iklim akan menelan kerugian total hampir USD 1 triliun (sekitar Rp 13.661 triliun) jika tidak ada rencana aksi yang serius.
Perubahan iklim juga akan memengaruhi perdagangan dengan mendistorsi harga dan mengganggu rantai pasok, serta bank-bank sentral semakin melihat bahwa perubahan iklim muncul sebagai risiko sistemis terhadap konstelasi pasar modal global.
Pada akhirnya, komitmen yang serius terhadap perlindungan lingkungan hidup selain menghindari kerugian ekonomi juga dapat memperkuat legitimasi dari pernyataan pemerintah bahwa apa yang dilakukan oleh Uni Eropa hanyalah perang bisnis dalam konteks industri kelapa sawit Indonesia.
Tulisan milik M. Arief Virgy, Insight Analyst di Yayasan Madani Berkelanjutan.
“Disclaimer: Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.”
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.