Presiden Joko Widodo (Jokowi) dulu dianggap sebagai pemimpin yang dorong nilai-nilai demokratis. Namun, berdasarkan sejumlah studi, demokrasi dinilai malah mengalami kemunduran di tangan Jokowi.
Sebagai kalimat pembuka, Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dalam bukunya How Democracies Die merumuskan satu pertanyaan menohok kepada pembacanya: Apakah demokrasi kita sedang berada di ambang bahaya?
Pertanyaan tersebut seakan memberikan tanda tanya besar terhadap seberapa kokoh dan rentannya pondasi suatu negara dalam melaksanakan demokrasi. Melihat deretan negara yang saat ini sedang mengalami pergolakan seperti Amerika Serikat dengan isu Black Lives Matter, Perancis dengan rompi kuningnya, serta Thailand yang berusaha mewujudkan reformasi monarki membuat kita bertanya kembali: Apakah memang selama ini aspirasi masyarakat hanya menggema di ruang hampa pemerintah?
Dalam kasus Indonesia, Presiden Jokowi, adalah pemimpin yang saat ini tengah berada di bawah lampu sorot. Demonstrasi buruh besar-besaran terhadap pengesahan Undang-Undang (UU) Omnibus Law yang dilaksanakan pada 8 Oktober kemarin ibarat mata rantai sebagai aksi lanjutan atas berbagai demonstrasi yang sudah terjadi sebelumnya.
Pada 2019, rezim Jokowi sudah mendapat tekanan dari mahasiswa yang menolak revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam agenda #ReformasiDikorupsi, tidak lama setelah terjadi pergolakan di Papua.
Judul tulisan dari Ben Bland, peneliti dari Lowy Institute, mungkin bisa memberikan sedikit pencerahan: Jokowi sudah menanamkan kakinya di akar otoriter Indonesia. Di dalam buku yang berjudul Man of Contradiction: Joko Widodo and the Struggle to Remake Indonesia tersebut, Bland menjelaskan bahwa selama enam tahun berada di singgasananya, Jokowi mengikis kebebasan berbicara dan hak-hak minoritas, menghancurkan perjuangan melawan korupsi, dan dengan segera meluncurkan dinasti politiknya.
Pendapat Bland tentu memiliki dasar. Menurut riset dari The Economist Intelligence pada 2019, Indeks demokrasi Indonesia memiliki skor 6,48 dalam skala 0-10.
Meski skor tersebut mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya, besarannya cenderung mengalami penurunan dari tahun 2015 (7,03) dan 2016 (6,97). Di kawasan Asia Tenggara, angka tersebut bahkan tidak lebih tinggi dari Timor Leste (7,19), Malaysia (7,16), dan Filipina (6,64).
Secara lebih rinci, Levitsky dan Ziblatt (2018) menguraikan beberapa indikator kunci perilaku otoriter seorang pemimpin, yakni melakukan penolakan atas aturan main demokratis, menyangkal legitimasi lawan politik, membatasi kebebasan sipil, dan membiarkan tindak kekerasan. Lalu, apakah sebetulnya indikator-indikator tersebut melekat di tubuh pemerintahan Jokowi?
Melakukan Penolakan atas Aturan Main Demokratis
Meski pernah berujar bahwa dirinya berkomitmen penuh terhadap demokrasi, Prastiwi dalam artikelnya yang berjudul Kemunduran Demokrasi dalam Pemerintahan Jokowi: nyalakan tanda bahaya (2019) justru melihat berbagai kebijakan yang diambil oleh Jokowi lebih bersifat anti-demokrasi. Hal tersebut bisa dilihat dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) dan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 37 Tahun 2019 tentang Jabatan Fungsional Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Perppu ormas dianggap berbahaya bagi demokrasi karena dapat memberikan kekuasaan kepada pemerintah untuk membubarkan ormas tanpa adanya proses peradilan. Kondisi ini membuat pemerintah berpotensi melakukan penyalahgunaan kekuasaan mengingat praktik tanpa proses peradilan adalah suatu hal yang sama dengan cara-cara Orde Baru untuk memuluskan kehendaknya.
Dalam hal Perpres jabatan TNI yang memperbolehkan perwira TNI untuk duduk di jabatan sipil, Perpres ini membuat kedudukannya bertentangan dengan semangat reformasi yang sudah diperjuangkan. Perpres jabatan TNI seolah menghidupkan kembali peluang Dwi Fungsi ABRI sekaligus memecah prinsip profesionalitas yang ada di lembaga pemerintahan.
Menyangkal Legitimasi Lawan Politik
Bentuk penyangkalan legitimasi lawan politik dapat diartikan dengan melemahkan power atau pengaruh yang dimiliki oleh pihak yang berseberangan dengan dirinya. Di era Jokowi, masyarakat tentu familiar dengan ditangkapnya tokoh-tokoh yang dianggap sebagai penentang pemerintah.
Di tahun 2019, Kivlan Zen dan Eggi Sudjana yang saat itu adalah pendukung pihak oposisi, Prabowo Subianto, ditangkap dengan tuduhan makar dan dianggap terlibat dalam kasus rencana pembunuhan tokoh nasional. Prastiwi (2019) juga melihat bahwa penangkapan berbagai tokoh aktivis seperti Ananda Badudu yang dianggap mendukung demonstrasi mahasiswa, serta Dandhy Laksono dan Veronica Koman dengan tuduhan provokasi atas insiden asrama mahasiswa Papua bahkan lebih condong ke suatu bentuk kriminalisasi.
Terkait dengan maraknya isu penolakan UU Omnibus Law kemarin, alih-alih merespons keluhan masyarakat dan menampung aspirasi, Presiden Jokowi justru menyangkal kritik para ahli dan akademisi yang menolak UU Omnibus Law dengan tuduhan hoaks dan disinformasi.
Sikap pendelegitimasian lawan tersebut dianggap sebagai suatu bentuk blokade ruang kepada oposisi untuk berpendapat sekaligus penolakan terhadap pembagian kekuasaan (balance of power) yang bertolak belakang dengan prinsip demokrasi itu sendiri (Levitsky & Ziblatt, 2018).
Membatasi Kebebasan Sipil
Pada saat kerusuhan Papua yang terjadi di tahun 2019, pemerintah melakukan pemutusan akses internet dengan alasan mencegah beredarnya hoaks dan meluasnya kerusuhan di berbagai wilayah. Atas kebijakan tersebut, berdasarkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, tindakan pemerintah tersebut dinyatakan bersalah dan melanggar hukum karena internet bersifat netral dalam hal positif maupun negatif.
Isu pembatasan kebebasan sipil juga disorot oleh koalisi masyarakat sipil dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang dinilai mengalami kemunduran. Hal ini terlihat dari banyaknya pelarangan dan pembubaran diskusi di lingkungan akademis, tertutupnya ruang advokasi masyarakat dalam pembuatan regulasi, serta semakin sempitnya pergerakan untuk berpendapat di muka umum.
Membiarkan Tindak Kekerasan
Glorifikasi terhadap kekerasan dalam menindak pihak-pihak yang berseberangan dan dianggap berbahaya juga terjadi di Indonesia. Amnesty International mencatat bahwa terdapat 69 kasus pembunuhan di Papua sejak Januari 2010 hingga Februari 2018 yang dilakukan pemerintah melalui aparat kepolisian (34 kasus) dan TNI (23 kasus).
Tindakan represif aparat keamanan dalam merespon demonstrasi juga dapat dilihat dari banyaknya aktivis dan mahasiswa yang mengalami tindak kekerasan tanpa adanya pendampingan tim advokasi. Meski berdalih cara-cara koersif merupakan tindakan dalam memelihara ketertiban dan menjaga stabilitas di masyarakat, di negara demokrasi sudah tentu perilaku tersebut tidak dibenarkan karena bertentangan dengan prinsip Hak Asasi Manusia (HAM) dan keadilan.
Atas berbagai uraian dan bukti yang sudah disebutkan di atas, dapat dipahami bahwa sebenarnya demokrasi Indonesia sedang ada dalam bahaya. Jika Levitsky dan Zibblat saja mengatakan bahwa seorang politikus yang hanya memenuhi satu syarat di atas pun sudah pantas untuk dikhawatirkan, maka Jokowi adalah lebih dari itu.
Pemerintah memang sudah sepantasnya mendapat banyak tuntutan dari masyarakat berkat berbagai kebijakannya yang dianggap sebagai kemunduran dan tidak sejalan dengan semangat reformasi ini. Lalu entah bagaimanapun caranya, bangsa ini tahu bahwa otoritaritarianisme tidak boleh terulang dan demokrasi tidak boleh mati.
Tulisan milik Alif Nurrachman, Mahasiswa di Universitas Indonesia.
“Disclaimer: Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.”
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.