Kolonisasi Belanda terhadap Nusantara telah meninggalkan sejumlah luka masa lalu hingga zaman Indonesia modern. Padahal, kolonisasi tersebut hanya didasarkan pada materialisme monopoli perdagangan rempah-rempah.
Kerajaan Belanda mulai menjelajah menuju Nusantara dikarenakan dua faktor: eksklusi dari perdagangan rempah-rempah dari pusatnya di Lisboa di tahun 1590-an, dan dari pengamatan penjelajah Belanda seberapa lemahnya hegemoni yang dipertahankan oleh Portugal. Pengamatan tersebut dipelopori penjelajah Belanda yang bekerja di bawah Imperium timur Portugal.
Diantaranya Jan (Huyghen) Van Linschoten, penjelajah dan sejarawan yang mendokumentasikan perdagangan di Samudera Hindia dan Cornelis de Houtman, saudara dari Frederick de Houtman, yang bekerja sebagai pedagang rempah di Lisboa. Kedua bersaudara ini kemudian mengomandani pelayaran pertama Belanda menuju Orient untuk membuktikan bahwa ekspansi, lalu monopoli perdagangan rempah Nusantara dapat menguntungkan saku pedagang Belanda, khususnya dari kalangan aristokrat.
Meskipun pelayaran Cornelis berujung tidak terlalu menguntungkan, terbuktinya pendapatan rempah-rempah dari Nusantara membuka peluang ekspedisi kedua yang dikomandani oleh Jacob van Neck untuk berlayar kembali ke Nusantara, dan alhasil, membawa kargo yang mengembalikan modal Investor pelayaran tersebut, dengan total memperoleh keuntungan 399% (Aryono, 2012)
Ketika tahap ini, pejabat dan salah satu tokoh politik ternama Belanda, Johan van Oldenbarnevelt, salah satu yang berjasa merangkul kemerdekaan dari Spanyol, meliat keharusan memersatukan kongsi dagang Belanda atas sektor pasar di daerah Asia-Timur dan kepulauan Nusantara. Salah satu motif utamanya untuk mencegah kompetisi antara pedagang-pedagang yang pada akhirnya akan menyongsong kehancuran ekonomi masing-masing pihak.
Disusunlah sebuah kongsi dagang atas kendali Komite Heeren XVII yang menjadi badan utama pengurus jalannya perusahaan dagang tersebut, dimulai dari Charter Izin, penjualan/supply rempah-rempah utama di Belanda, serta pengatur harga pasar domestik. Perusahaan ini dinamai Veerenigde Oostindische Compagnie atau “Persatuan Perusahaan Hindia Timur” disingkat VOC (Jan de Vries, 1997).
Tak bisa dipungkiri, terdapat juga motif sosial-politik dari munculnya suatu ‘pemersatu’ pengaruh dagang Belanda di Hindia Timur/Nusantara. Selain secara normatif menyongsong pengaruh Belanda dan menggantikan hegemoni dan monopoli Portugal di perdagangan rempah-rempah, Belanda juga mencegah bangsa Eropa yang lain (Inggris dan Spanyol) untuk merebut pasar rempah-rempah di Nusantara.
Perkembangan sistem pemerintahan inilah yang memindahkan kuasa kompetisi Portugis keluar dari Nusantara, karena dengan memberikan VOC quasi-rule basis kepemimpinan dagang di Asia, membuka peluang baru ekspansi besar-besaran Belanda di Nusantara.
Memberikan kuasa atas tanggung jawab perdagangan Belanda di Nusantara ke VOC juga membuka banyak peluang atas bisnis dan militer. Heeren XVII di Amsterdam melihat kemungkinan tersebut, lalu memberikan perintah untuk membangun basis kekuasaan yang permanen di Asia Timur.
Salah satunya adalah dengan pembentukan Batavia sebagai ibu kota perdagangan Belanda. Pemerintahan de-facto VOC di Hindia Timur pun dibawahi Jan Pieterszoon Coen, sang Gubernur-Jenderal yang baru saja terpilih dan bertanggung jawab mengurus ekspansi tersebut (Jan de Vries, 1997).
Pembentukan Batavia sebagai basis kekuatan Belanda di Nusantara dibayar dengan harga yang tidak murah untuk kerajaan-kerajaan lokal, salah satunya adalah Kerajaan Banten. Kekuasaan mereka dibabat habis oleh ekspansi VOC menuju dataran Jawa Barat, murni untuk memperluas lingkup teritorial mereka di daerah pesisir, dan di waktu yang sama menandakan tanda-tanda kolonialisme Belanda ke depannya.
Solidifikasi kekuasaan VOC di Batavia memberikan mereka kekuatan pengontrolan produksi rempah-rempah di Timur Nusantara, memonopoli proses perdagangan jual-beli di Kepulauan Maluku, Timor, dan Banda.
Basis kekuatan yang dimiliki oleh pemerintahan VOC pun dibayar mahal oleh penghuni asli kepulauan tersebut – di mana pada awalnya orang-orang Portugis dan juga Belanda datang hanya untuk berdagang berganti menjadi pihak yang memaksakan kehendak mereka dan merasa berkuasa atas rempah-rempah yang telah dikultivasi oleh suku mereka sejak belasan tahun. Konflik pun tak terelakkan.
Hasil akhirnya, Jan P. Coen tak segan-segan melakukan pembantaian etnis penghuni Pulau Banda, dan menggantikan petani orang asli yang tidak taat dengan VOC, dengan Perkeniers atau tuan tanah Belanda dan memperbudak orang asli pulau Banda sebagai tenaga kerja. (Jan de Vries, 1997)
Pemikiran tersebut diprediksi oleh Heeren XVIIdan Jajaran komisaris VOC, bahwa ekspansi dilakukan demi menjaga monopoli komersial. Melakukan Ekspansi secara bisnis dengan paksaan militer VOC secara mutlak harus menguasai sumber, alat, dan keahlian produksi rempah di Nusantara yang akan memberikan mereka kekuatan untuk membeli murah rempah-rempah Nusantara, dan menjualnya dengan harga yang menakjubkan di Eropa.
Pemikiran monopoli merkantilisme secara tidak langsung pelan-pelan diadopsi oleh Heeren XVII di Amsterdam, tetapi pelaksanaan pemahaman tersebut oleh jajaran firektur di Batavia terhadang oleh alur birokrasi yang rumit. Rumit dikarenakan realitsa di Nusantara tidak menggambarkan suatu proses mudah untuk meraih monopoli penuh atas pasar rempah-rempah.
Adanya kongsi dagang saingan dari kerajaan Eropa lainnya, penyelundup, kegiatan pedagang pribumi, dan keberadaan pusat perdagangan lain yang independen dari kuasa mereka di Asia menyebabkan kuasa monopolistik tanpa konflik, pada hakikatnya, mustahil dilakukan. Jajaran direktur beserta dengan mayoritas gubernur jenderal penerus Jan P. Coen sepakat bahwa untuk mengejar nonopoli perdagangan, secara normatif mereka harus mengejar ambisi hegemoni politik seantero Nusantara, barulah mereka dapat menjaga kekuasaan perdagangan Belanda di Nusantara.
Kutipan dari Jan P. Coen: “Secara pengalaman, kalian (Heeren XVII) bahwa di Hindia, perdagangan mampu dilaksanakan dan dijaga dengan perlindungan oleh tangan kita sendiri (VOC) dan persenjataan tersebut harus dibiayai oleh penghasilan dari perdagangan tersebut. Pendek kata, tidak ada perdagangan tanpa perang, dan perang tanpa perdagangan (untuk menyokongnya).”
Visi dan idealisme yang bersifat superstructure itu pun diadopsi oleh gubernur jenderal penerus Coen, yang kesulitan menghadapi kondisi sosial-ekonomi dan politik yang rumit. Penerusnya harus berani bertindak secara mandiri melangkah menuju kondisi yang ideal, tentunya dengan mencegah adanya bimbingan terkontrol para investor dan jajaran direktur Heeren XVIIdi Belanda, memberikan gubernur-jenderal VOC dan dewan tinggi mereka (The Hoge Regering) di Batavia otonomi luar biasa dalam menyebarkan pengaruh dan kekuasaan, terutama implementasi sistem sosial yang sudah dipahami sebelumnya di Eropa, ke Nusantara.
Kemajuan secara paksa dapat dilihat dari proses ekspansi VOC di Nusantara, dengan menyebarkan sistem kekuasaan feudalisme serfdom (Kerja Paksa) kepada rakyat asli, dengan cara mencabut pengaruh dari sistem suku-suku dan kerajaan feodal otonomi, dan meleburnya dengan sistem kerja paksa yang diterapkan VOC. Salah satu hal yang dapat digarisbawahi adalah hal ini menjadi ‘kelebihan’ yang didapat oleh orang-orang Belanda selama solidifikasi kekuasaan mereka di tanah daratan Nusantara.
Kurangnya pemikiran terpelajar dan kntelektualitas lokal, dibandingkan dengan orang Eropa yang sudah melewati jaman Renaissance dan Reformation, memberikan kesempatan bagi VOC hak kuasa atas relasi produksi antar kelas. dengan taraf bahwa, orang terpelajar dan ‘maju’ secara teknologi dari Barat memiliki derajat lebih tinggi dari pribumi Hindia-Timur.
Narasi antarkelas minoritas (aristokrat) dengan mayoritas (pribumi pekerja) tersebut dikonstruksikan lebih lanjut dengan dicampuradukkannya konsep kekayaan, agama, budaya, hingga perbedaan warna kulit masing-masing ras. Sistem tersebut, secara brutal telah diimplementasikan dan berhasil dicap kepada masyarakat Nusantara.
Hingga sekarang kita masih bisa mengingat luka-luka yang dibawa oleh Kekuasaan Belanda, dan hal tersebut terkesan lebih meninggalkan luka dari despotisme priyayi–priyayi dan kerajaan lokal sebelum datangnya VOC. Hasil dari keadaan ini memberikan mereka kesempatan mengembangkan ide proto-kapitalis hingga merambat ke konsep cultursteelsel melalui kepentingan untuk meningkatkan tingkat produksi tanam. Hingga akhirnya, kapitalisme Imperialis diterapkan secara menyeluruh oleh Belanda di Hindia-Belanda dengan bubarnya VOC pada tahun 1799 (Jan de Vries, 1997).
Hakikatnya, Belanda memiliki tujuan mengembangkan pengaruh dan perkembangan mereka di Nusantara. Namun, cara utama penyebaran paham proto-kapitalisme melalui implementasi brutal Belanda pada akhirnya memberikan dampak berbekas pada masyarakat Indonesia ke depannya.
Salah satu hal yang dapat dipelajari adalah efek positif di mana perkembangan sosial secara pemahaman teknologi, tenaga kerja dalam pengaruh mereka atas produk kapital yang diproduksi di Nusantara (rempah-rempah) memberikan orang pribumi potensi untuk berkembang dan mengambil alih alat dan sistem produksi untuk keuntungan bersama.
Tulisan milik Muhammad Fawwaz Nuruddin, mahasiswa di Universitas Indonesia.
“Disclaimer: Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.”
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.