Site icon PinterPolitik.com

Lika-liku Wujudkan Pilkada Berintegritas

Pilkada Jalur Independen Kenapa Tidak

KPU dan Kemendagri jalankan Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi II DPR mengenai penyelenggaraan Pilkada Serentak 2020. (Foto: Antara)

Berbagai upaya untuk mewujudan Pilkada yang menghasilkan calon-calon berintegritas kerap terhambat oleh banyak hal. Dalam hal ini, peran aktivis dan masyarakat sipil menjadi penting.


PinterPolitik.com

Diterbitkannya Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pencalonan menandakan gugurnya perjuangan KPU untuk mencegah mantan terpidana korupsi menjadi peserta pemilihan. Usaha mewujudkan demokrasi elektoral yang berintegritas tersebut diakui kerap memenuhi jalan buntu.

Salah satu tantangannya adalah penolakan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang selalu menganulir manuver KPU itu. Penormaan larangan bagi mantan terpidana korupsi dianggap bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi – bahwasanya Undang-Undang (UU) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tidak mengatur norma tersebut.

Bukan kali pertama KPU melakukan intervensi regulasi mengenai larangan mantan narapidana korupsi. Pada tahun 2018 – menjelang pemilu serentak 2019 lalu, KPU melarang eks-narapidana korupsi menjadi calon legislatif lewat Peraturan KPU (PKPU) meskipun akhirnya dibatalkan oleh putusan Mahkamah Agung (MA).

Dalam putusannya, MA menganggap larangan tersebut bertentangan dengan UU No. 7 Tahun 2017. Tak kehabisan akal, KPU dalam PKPU No. 20 Tahun 2018 memasukkan klausul penandatanganan pakta integritas oleh pimpinan partai politik dalam mencalonkan anggota legislatif pilihannya.

Pakta integritas kala itu dianggap sebagai bentuk komitmen bersama partai politik (parpol) untuk tidak mengusung mantan narapidana kasus korupsi. Namun, realitasnya masih saja ada parpol yang menjagokan eks koruptor dalam pemilu.

Melihat fenomena di atas, lagi-lagi kendala regulasi menjadi momok bagi KPU. Polemik selalu muncul akibat langkah KPU yang berusaha mewujudkan kredibilitas Pemilu dan Pilkada. Penambahan frasa “mengutamakan atau diutamakan bukan mantan terpidana korupsi” pada pasal 3A PKPU No. 18 Tahun 2019 hanya bersifat himbauan.

Aturan itu tidak menunjukkan ketegasan dan kepastian karena bukan merupakan larangan dan sanksi. Berdasarkan pengalaman sebelumnya, pakta integritas yang dinormakan dalam PKPU terdahulu saja tidak berpengaruh apa pun.

Maka, frase tersebut diyakini tidak memiliki efek sama sekali bagi partai politik maupun calon perseorangan. Hal ini menambah rasa pesimistis terhadap penyelenggaraan Pilkada yang bebas dari nuansa korupsi.

Dengan maraknya kasus korupsi yang menjerat kepala daerah, proses Pilkada seyogyanya menjadi bagian dari strategi awal pencegahan korupsi yang didukung dengan fondasi regulasi yang progresif. Salah satunya berada di tahapan pencalonan yang adalah hulu dari seleksi para bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah.

Jika upaya penyelenggara pemilu selalu terbendung dengan konfigurasi politik yang cenderung pragmatis-elitis, maka kini waktunya masyarakat sipil berperan mengintervensi regulasi Pilkada melalui mekanisme hukum yang ada.

Peran Masyarakat Sipil

Memiliki semangat yang sama, para pegiat pemilu dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dan Indonesia Corruption Watch (ICW) berjuang melalui uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pasal 7 ayat (2) huruf (g) UU Pilkada No. 10 Tahun 2016. Pasal tersebut mensyaratkan bagi mantan terpidana korupsi yang ingin mencalonkan diri harus mengumumkan secara terbuka kepada publik bahwa dirinya adalah eks-napi – guna melihat sepak terjang banyak kepala daerah yang terbukti melakukan korupsi dan membuktikan bahwa syarat tersebut tidak berdampak signifikan bagi pemberantasan korupsi.

Uji materi tersebut membuahkan hasil di mana MK memutuskan bahwa mantan narapidana korupsi dengan masa hukuman lima tahun atau pidana berulang harus menunggu masa jeda lima tahun untuk bisa mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah. Meski Perludem dan ICW sebelumnya mengusulkan masa jeda 10 tahun, putusan tersebut cukup melegakan bagi para pegiat demokrasi dan aktivis antikorupsi.

Dengan demikian, maka KPU harus segera mengadopsi putusan MK itu dalam PKPU pencalonan. Jatuh bangun KPU dan masyarakat sipil tidak hanya patut diapresiasi tetapi juga harus didukung berbagai elemen bangsa. 

Jalan panjang mencegah eks koruptor menjadi calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah dari segi ketentuan perundang-undangan merupakan ikhtiar bersama dalam memerangi korupsi yang sudah menjadi penyakit akut elite politik. Korupsi politik yang berakar dari pembiayaan Pemilu/Pilkada yang begitu besar membutuhkan mekanisme pencegahan yang fokus baik dari segi teknis-regulasi dan fundamental-kultural.

Pandangan ini diperkuat lewat jajak pendapat yang dilakukan Litbang Kompas tanggal 4-5 Desember 2019 lalu, di mana terdapat dua faktor utama penyebab korupsi. Selain Pilkada berbiaya tinggi, publik melihat adanya mental korup para elite seperti keserakahan dan ketamakan yang ditengarai lebih dominan.

Argumen ini mendasarkan pada beberapa kepala daerah hasil pemilihan langsung yang relatif bersih dari korupsi. Selain itu, penangkapan kepala daerah melalui operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK juga dianggap tidak memberikan efek jera. Kapasitas dan integritas kepala daerah yang lemah memerlukan solusi secara esensial yang dimulai dari penjaringan calon baik dari jalur parpol atau perseorangan.    

Optimisme Putusan MK

Putusan MK No.56/PUU-XVII/2019 yang mengharuskan masa jeda lima (5) tahun bagi eks-narapidana korupsi untuk mencalonkan diri merupakan langkah penting untuk mengakomodir aspek konstitusionalitas hak politik setiap warga negara sembari menjaga integritas calon pemimpin daerah. Masa jeda tersebut diharapkan menjadi kesempatan bagi para eks koruptor untuk berkontemplasi sekaligus bertransformasi menjadi manusia maupun calon pemimpin yang memiliki akhlak, bermoral, dan berjiwa kepemimpinan.

Syarat ketat tersebut bukan pengingkaran terhadap hak warga negara namun berpedoman pada konsekuensi tindakan korupsi yang bertentangan dengan nilai demokrasi. Perilaku koruptif telah merampas hak publik sebagai tolok ukur demokrasi suatu bangsa. Para eks koruptor yang berniat mencalonkan diri di Pilkada harus melalui fase “khusus” dan diberi perlakuan “spesial” untuk kembali memangku jabatan publik.

Status eks-koruptor dapat diumumkan pada media resmi website atau media sosial penyelenggara pemilu hingga ke tingkat Tempat Pemungutan Suara (TPS) agar masyarakat mengetahui track record sang calon. Ketiadaan budaya malu yang selalu diperlihatkan para koruptor hingga kontinuitas aksi rasuah tersebut sudah saatnya ditangani lebih serius dalam momentum pilkada.

Jeda waktu lima tahun tidak boleh dianggap sebagai pengaturan teknis semata oleh parpol dan para elite, melainkan perlu dilihat sebagai nilai fundamental di baliknya, yakni semangat anti korupsi yang ditujukan bagi setiap organ demokrasi serta seluruh pihak tanpa terkecuali. Sebagai sebuah prosedur pemilihan yang memproduksi pemimpin, Pilkada harus memiliki regulasi yang selektif dan mengedepankan integritas dan kompetensi dalam persyaratan calon.

Kini para calon yang hanya berorientasi kepentingan materiil harus berpikir ulang jika ingin berkompetisi di Pilkada. Lantaran menyangkut kepentingan umum, hal ihwal korupsi harus ditangkal lebih dini dengan segala cara. Melalui putusan MK, optimisme masyarakat akan pemimpin bersih dan jujur diharapkan dapat terwujud. Kiprah KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) juga dinantikan melalui PKPU dan Perbawaslu dalam memerangi korupsi pada tahapan Pilkada.         

Mencari Calon Berintegritas

UU Pilkada menyebutkan dua jalur pencalonan bagi peserta pemilihan kepala daerah, yakni partai politik atau gabungan partai politik dan perseorangan. Acap kali, memasuki tahapan pencalonan, jalur parprol selalu menjadi sorotan publik.

Potensi mahar politik (candidacy buying) antara bakal calon dengan parpol tidak hanya mencoreng integritas Pilkada lebih dini. Fase awal mencari kendaraan politik ini kemudian dapat berimplikasi pada tindakan jual beli suara (vote buying) saat tahapan Pilkada berlangsung. Korelasi keduanya (candidacy buying dan vote buying) tidak lepas dari mahalnya upaya untuk meraih popularitas, acceptability, hingga elektabilitas di mata publik.

Praktik transaksional diakui masih akrab dengan Pilkada khususnya peran partai politik yang mematok “harga tiket” bagi para bakal calon. Partai sebagai salah satu pilar demokrasi adalah pemasok para pemimpin yang juga representasi masyarakat di daerah.

Selain sebagai representasi, partai juga wajib melahirkan pemimpin yang memiliki kapasitas dan kapabilitas mumpuni secara politik dan administratif. Proses rekrutmen calon kepala daerah oleh partai adalah gerbang awal bagi penjaringan calon sehingga sudah selayaknya partai mencerminkan nilai demokrasi dalam proses rekrutmennya.

Pelibatan aktif masyarakat dalam rekrutmen politik sebagai sarana demokratis patut dilembagakan karena Pilkada merupakan pesta demokrasi bagi masyarakat lokal. Pelembagaan partisipasi rakyat ini juga diimbangi oleh literasi politik yang mengedepankan pendidikan pemilih dalam menemukan calon pemimpin yang berkualitas.

Aksi KPU, para aktivis kepemiluan, dan aktivis anti korupsi melalui mekanisme regulatif kini mesti dibarengi oleh partisipasi masyarakat secara kritis dalam menyeleksi para bakal calon yang beretika dan memiliki rekam jejak yang bersih dari korupsi. Ruang publik di daerah harus diberdayakan oleh masyarakat dengan tujuan mengawal Pilkada yang berintegritas.

Tulisan milik Silvester Sili Teka, Lulusan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga.

“Disclaimer: Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.”

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version