HomeRuang PublikKristen Gray dan Realita Pariwisata Bali

Kristen Gray dan Realita Pariwisata Bali

Oleh Dyah Nurnaningtyas

Kehadiran Kristen Gray seakan-akan memunculkan berbagai persoalan pariwisata di Bali. Bagaimanakah sejarah dan realitas yang ada pada pariwisata Pulau Dewata ini?


PinterPolitik.com

Jagat sosial media digemparkan dengan berita wisatawan asal Amerika Serikat Kristen Gray yang mengulas kemudahan tinggal di Bali selama pandemi Covid-19. Pengalamannya tersebut dibukukan dalam bentuk teks digital yang berjudul Our Bali Life is Yours.

Buku ini diperjualbelikan seharga US$ 30 atau setara dengan Rp.400 ribu, harga yang cukup fantastis sekaligus miris. Dalam buku tersebut, Kristen Gray menggambarkan suasana dan kemudahan tinggal di Bali selama pandemi.

Menurutnya, kehidupan di Bali hanya memerlukan biaya yang sedikit dan sebagai warga asing mendapatkan keistimewaan khusus dari sisi regulasi ,seperti perpanjangan visa kunjungan dan kesempatan bekerja melalui jalur ilegal. Tentu, hal ini membuat pemerintah Indonesia khususnya Pemprov Bali geram.

Akan tetapi, jika menilik ke belakang, kasus wisatawan asing yang mengambil keuntungan dari masa liburan di Bali bukan sekali ini terjadi. Lantas, pantaskah publik geram dengan Kristen Gray atau ini merupakan salah satu dari sekian kasus kelalaian pihak imigrasi dan bukti dari wajah pariwisata Bali saat ini ?

Bali layak disematkan sebagai pulau eksotis, perpaduan keindahan alam dan keanekaragaman budaya serta adat istiadat menjadikan wilayah ini sebagai salah satu destinasi wisata favorit dunia. Beberapa survei menyebutkan Bali adalah tempat liburan idaman dan terbaik dunia. Menilik sejarah, dalam rentang waktu abad ke-17 sampai abad ke-19 Bali dikenal sebagai pemasok budak terbesar di Indonesia.

Hal ini dikukuhkan dalam tulisan Michel Picard yang berjudul Bali: Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata (2006) menggambarkan bahwa karakteristik rakyat Bali yang tangguh membuat budak menjadi komoditi ekspor utama pada saat itu. Hal ini turut didorong atas kebutuhan tenaga kerja VOC. Terdapat 9000 budak di Batavia berasal dari Bali.

Kekejaman kolonial tidak berhenti di perbudakan saja. Pasca runtuhnya rezim VOC di Indonesia, Belanda yang merasa masih berkuasa melakukan tindakan represif di hampir seluruh wilayah Nusantara tak terkecuali Bali.

Perang antara pihak koloni dengan masyarakat pun tidak dapat dihindarkan, taruhannya ribuan rakyat mati secara mengenaskan. Tindakan Belanda mendapat sorot dunia internasional.

Citra Belanda sebagai bangsa moderat berada di ujung tanduk. Politik kamuflase menjadi pilihan Belanda untuk mengembalikan citra bangsa. Selanjutnya, pihak kolonial mengenalkan konsep Baliseering atau pengembangan budaya lokal Bali yang menjadi cikal bakal konsep kepariwisataan pulau Dewata.

Secara sederhana sejak konsep tersebut dikenalkan masyarakat lokal Bali merasa bangga akan identitas leluhur, adat istiadat dan budaya mereka. Keunikan budaya Bali ini pun menarik warga asing untuk datang berlibur ke Bali. Awal tahun 1920 menjadi momentum awal konsep pariwisata hadir di Bali. Hal ini didukung oleh kebijakan Presiden Soekarno dan Soeharto yang menjadi pendulum komersialisasi Bali sebagai pusat pariwisata Indonesia.

Dalam artikel Turismemorfosis: Tahapan selama seratus tahun perkembangan dan prediksi pariwisata Bali (2007),dijelaskan bahwa dari awal pariwisata Bali adalah proyek merchant capitalism kolonial yang selanjutnya dilanggengkan oleh rezim pemerintah Indonesia. Pembangunan hotel, resor, bandara, transportasi secara masif membawa Bali ada era baru, komersialisasi pariwisata budaya. Kedatangan wisatawan secara masif dan kontinu menjadikan pariwisata sebagai komoditi utama Bali.

Narasi no tourist no money pun menguat. Dependensi Bali atas pariwisata dapat dilihat ketika masa pandemi Covid-19 di mana perekonomian Bali mengalami penurunan tajam -10,98% pada triwulan II 2020. Pemerintah Provinsi Bali menyebutkan kerugian yang ditanggung akibat Covid-19 mencapai Rp.9,7 triliun setiap bulan. Kondisi demikian membuat Bali lumpuh seketika.

Fenomena Kristen Gray menggambarkan dua dimensi yang saling terkait. Pertama, depedensi Bali terhadap pariwisata khususnya wisatawan asing telah mengakar jauh bahkan menjadi sebuah kultusan. Wisatawan asing yang mengambil keuntungan dengan pekerjaan secara ilegal banyak terjadi di Bali.

Sebagai contoh, pada Agustus 2020 wisatawan asal Italia Eros Firrari menyalahgunakan visa kunjungan untuk bekerja dan menghasilkan pundi uang dengan membuka konsultasi spiritual secara daring.  Hal ini bertentangan dengan pasal 122 ayat 1 juncto pasal 75 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6/2011 tentang keimigrasian.

Kasus serupa tidak sekali dua kali terjadi, jika melihat Bali secara keseluruhan dapat ditemukan beberapa wisatawan asing yang mengais pundi-pundi secara ilegal. Posisi dilematis masyarakat Bali pun tak dapat dihindarkan, pada satu sisi Bali butuh wisatawan untuk menarik roda perekonomian namun di sisi lain perilaku melanggar peraturan yang kerap dilakukan oleh wisatawan tidak dapat diabaikan.

Kedua, dalam bukunya, Kristen Gray menyinggung jalur khusus imigrasi Indonesia yang dapat memudahkan perpanjangan visa. Indikasi praktik korupsi keimigrasian Indonesia pun tidak dapat dihindarkan.

Berkaca pada kasus sebelumnya, sebut saja korupsi yang dilakukan oleh pegawai imigrasi kota Mataram dengan memeras sejumlah wisatawan asing yang menyalahi visa kunjungan untuk kepentingan pekerjaan tahun 2019. Para petugas imigrasi meminta sejumlah uang pelicin untuk memudakan proses pelanggaran dan mobilitas wisawatan.

Terungkapnya kasus tersebut menjadi satu dari sekian realita korupsi lembaga pelayanan masyarakat di Indonesia. Korupsi selayaknya menjadi sebuah budaya tersendiri di Indonesia.

Samuel P. Hamington (2000) menyebutkan faktor utama yang mendorong kemajuan sebuah bangsa adalah kebudayaan. Budaya didefinisikan sebagai nilai, sikap, kepercayaan, orientasi, dan praduga yang lazim di masyarakat.

Tindak korupsi di bangsa ini selayaknya telah menjadi suatu budaya yang diakui ataupun tidak telah mengakar menjadi budaya Indonesia. Koentjaraningrat dalam Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan (1974) menyebutkan alasan korupsi berurat-akar dan menjadi budaya baru di Indonesia yaitu mental suka menerabas yang berkembang di semua sendi dan lapisan kehidupan masyarakat Indonesia.

Mental suka menerabas diterjemahkan sebagai mental pamer kekayaan tanpa peduli cara mendapatkannya. Maka dari itu menghalalkan segala cara dilakukan untuk memupuk kekayaan pribadi dan golongan menjadi jamak.

Pengalaman dan tulisan Kristen Gray selayaknya ditelusuri lebih lanjut, apakah benar praktik pembukaan jalur khusus bagi wisatawan asing yang berpundi dilakukan oleh pihak imigrasi? Kebijakan deportasi yang dijatuhkan bukan solusi akhir. Meminjam pepatah lama “gajah di pelupuk mata tak terlihat, semut di seberang lautan terlihat”, sejatinya fenomena Kristen Gray menjadi momentum hiatus pariwisata Indonesia. Perlu kembali merefleksikan arah, bentuk, model dan sistem pariwisata yang sesuai diterapkan di Indonesia.

Sekalipun pariwisata sendiri merupakan fenomena politik penguasa dan kapital, dalam hal ini, masyarakat sendiri perlu menjadi penggerak perubahan model pembangunan pariwisata yang berakar dari nilai-nilai bangsa kolonial. Pariwisata yang dikonstruksikan untuk kepentingan kapital pada waktunya nanti membawa Bali pada kejenuhan. Dengan demikian, perlu redefinisi pariwisata Indonesia terkhusus di Bali.


Tulisan milik Dyah Nurnaningtyas, Mahasiswi S-2 Hubungan Internasional di Universitas Indonesia.


Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Banner Ruang Publik
spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Menyingkap Sportwashing dalam Laga Indonesia-Bahrain

Kontroversi ini perpanjang daftar kritik terhadap wasit dari Timur Tengah, di tengah dugaan bias dan pengaturan skor sepak bola internasional.

Unlike Jokowi, Prabowo Will Be His Own Man

More assertive foreign policy and democratic backsliding are most likely on the horizon as Prabowo Subianto becomes the next Indonesian president.

Fenomena Gunung Es “Fake Review”

Fenomena fake review kini banyak terjadi di jual-beli daring (online). Siapakah yang dirugikan? Konsumen, reviewer, atau pelaku usahakah yang terkena dampaknya? PinterPolitik.com Sejak berlangsungnya proliferasi internet...