Revisi undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dianggap perlu karena lembaga tersebut dinilai masuk dalam rumpun eksekutif. Padahal, KPK sebenarnya bisa saja sebenarnya berada di luar tiga rumpun kekuasaan: eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
PinterPolitik.com
Upaya pelemahan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dari tahun ke tahun telah mencapai klimaksnya pada tahun 2019 dan tahun ini dapat disebut babak baru bagi lembaga ini. Sebelumnya, KPK merupakan lembaga yang berkedudukan sebagai sebuah Komisi Negara Independen (KNI).
Pada tahun 2017, kedudukan tersebut dianulir oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Menurut MK, KPK adalah lembaga yang berada pada rumpun eksekutif. Penilaian ini didasarkan pada kewenangan KPK yang sama dengan lembaga Kepolisian (Polri) dan Kejaksaan, yakni melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
Putusan MK ini pun menuai banyak kritik. misalnya, putusan MK tersebut sebenarnya bertentangan atau kontradiktif dengan putusan MK lainnya perihal kedudukan KPK. Sebenarnya, ada empat putusan MK – Putusan No. 012-106-019/PUU-IV/2006, Putusan No. 19/PUU-V/2007, Putusan No. 37-39/PUU-VIII/2010, dan Putusan No. 05/PUU-IX/2011 – yang menyatakan bahwa kedudukan KPK di luar ketiga cabang kekuasaan, yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Dengan kata lain, KPK dapat digolongkan sebagai lembaga negara atau komisi negara yang independen.
Putusan MK pada tahun 2017 yang mengubah KPK dari Komisi Negara Independen menjadi komisi yang berada pada ranah eksekutif mengakibatkan DPR berhasil memberlakukan hak angket pada KPK kala itu. Namun, reduksi atas kedudukan KPK itu belum berdampak atau mempengaruhi kewenangan KPK untuk terus melakukan tugasnya memburu koruptor tanah air.
Bahkan, KPK semakin menunjukkan keganasannya lewat berbagai operasi tangkap tangan (OTT) yang berhasil menjerat para pejabat negara di tiga wilayah kekuasaan – mulai dari eksekutif, legislatif, hingga yudikatif.
Mungkin, melihat pencapaian dan pergerakan intensif KPK dalam menjerat pelaku koruptor, muncul lah usulan dari pihak legislatif untuk merevisi undang-undang KPK, yakni UU Nomor 30 Tahun 2002. Pihak legislatif menganggap bahwa manuver KPK selama ini sering melanggar atau mengabaikan aturan hukum formal atau hukum acara yang berakibat pada terlanggarnya hak asasi para tersangka koruptor dan menghambat investasi.
Pada tahun 2019, tepatnya 17 September, revisi ini pun disahkan menjadi sebuah undang-undang baru (UU No. 19/2019) menggantikan undang-undang yang lama (UU No. 30/2002). Undang-undang terbaru KPK ini pun dinilai sangat kontroversial dan sangat bermuatan politis untuk melemahkan KPK secara keseluruhan, mulai dari kedudukan sampai dengan kewenangan.
Langkah-langkah konstitusional ditempuh oleh segenap elemen masyarakat pro-pemberantasan korupsi atas upaya pelemahan KPK melalui undang-undang terbaru ini. Sebelum undang-undang disahkan, mahasiswa di sebagian besar kampus yang ada di Indonesia melakukan aksi demonstrasi dan, bahkan, sampai memakan korban jiwa.
Namun, pihak legislatif tetap mengesahkan undang-undang KPK ini. Setelah disahkan, undang-undang ini langsung dibawa ke MK untuk dilakukan uji materi (constitutional review) oleh sejumlah pihak masyarakat. Ada juga pihak yang mengusulkan supaya Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Hal ini justru direspons Presiden dengan menunjuk lima Dewan Pengawas sesuai aturan dalam UU yang baru.
Rangkaian kejadian di atas, mau diakui atau tidak, menunjukkan bahwa ketiga cabang kekuasaan negara telah ikut mendorong atau, bahkan, mendukung untuk memperlemah KPK. Ini menandakan sistem checks and balances yang selama ini dianut oleh negara bekerja kurang maksimal. Oleh sebab itu, perlu kiranya ditambah satu cabang kekuasaan lagi.
UU No. 19/2019, Bukti Kemunduran?
Beberapa poin kontroversial yang dinilai berpengaruh mengubah kedudukan KPK antara lain adalah Pasal 3 UU No. 19/2019 yang menyatakan
Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun
Pasal ini bisa diartikan persis sebagaimana putusan MK tahun 2017, yaitu KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan adalah lembaga yang sama-sama bagian dari rumpun kekuasaan eksekutif karena ketiga lembaga ini diberikan kewenangan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
Hal yang membedakan KPK dengan Kepolisian dan Kejaksaan saat ini adalah adanya Dewan Pengawas di KPK yang bertugas mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi dan memberikan izin atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan – sesuai bunyi Pasal 37B nomor 1 poin a dan b UU No. 19/2019).
Penunjukan dan pengangkatan Dewas Pengawas KPK oleh Presiden ini seolah-olah ingin menunjukkan komitmen Presiden terhadap pemberantasan korupsi dan menegaskan bahwa KPK saat ini benar-benar komisi yang masuk ke dalam lingkaran eksekutif. Bagi MK, DPR, dan Presiden, mungkin langkah demikian adalah wujud ikhtiar atau usaha untuk memperkuat dan meningkatkan kualitas penegakan hukum tindak pidana korupsi oleh KPK.
Akan tetapi, apabila ditinjau melalui perspektif teori ketatanegaraan modern, apa yang menjadi tujuan utama revisi undang-undang KPK tersebut justru membawa sistem ketatanegaraan Indonesia ke arah kemunduran atau, dengan kata lain, memperkuat status quo sistem trias politica yang dianut oleh sistem ketatanegaraan Indonesia. Malahan, empat putusan MK yang menyatakan KPK sebagai komisi negara independen itulah yang bagi Penulis sebenarnya kompatibel dengan perkembangan hukum ketatanegaraan modern.
Perlu dipahami, argumentasi yang menyatakan konsep checks and balances hanya berlaku pada tiga cabang kekuasaan negara, seperti eksekutif, legislatif dan yudikatif adalah argumen klasik ala Mostesqueu yang bisa saja sudah usang dan ketinggalan zaman.
Apalagi, mereka yang mengatakan Komisi Negara Independen, misal, KPK hanya lembaga pembantu bersifat sementara ataupun lembaga penunjang, patut dipertanyakan komitmen mereka terhadap demokrasi dan tentu terhadap pemberantasan korupsi – mengingat praktik korupsi di Indonesia saat ini telah menyebar ke tiga wilayah kekuasaan negara dan sekarang KPK dimasukkan ke dalam salah satu tiga kekuasaan negara tersebut, yakni eksekutif.
Idealnya, kembali kepada empat putusan MK RI, karena putusan MK RI ini berkesesuaian dengan teori baru yang lahir dari rahim konsep trias politica, yaitu New Separation of Power. Menurut Bruce Ackerman – pencetus teori ini – menyatakan
The American system contains (at least) five branches; house, senate, president, court, and independent agencies such as the federal reserve board. Complexity os compounded by the wildering institutional dynamics of the American federal system. The crucial question is not complexity, but whether we Americans are separating power for the right reason
Lebih lanjut lagi, selain New Separation of Power, dikenal pula teori the fourth branch of the goverment, yang dinyatakan oleh Yves Meny dan Andrew Knapp, sebagai berikut
Regulatory and monitoring bodies are a new type of autonomous administration which has been most widely developed in the united states (where it is sometimes referred to as the headless fourth branch’ of the government). it take the form of what are generally known as independent regulatory commissions
Berdasarkan kedua teori dibatas, Indonesia pada saat ini mempunyai beberapa komisi negara independen – seperti halnya Amerika Serikat, termasuk KPK sebelum ketiga cabang kekuasaan negara Indonesia mengubahnya menjadi seperti saat ini. Komisi negara independen yang ada di Indonesia berpotensi menjadi kekuasaan negara baru keempat selain eksekutif, legislatif, dan yudikatif, dengan cacatan, asal ada kemauan dari penyelenggara negara.
Namun, melihat realitas yang terjadi saat ini – di mana kedudukan KPK tidak lagi sebagai komisi negara independen tetapi bagian dari rumpun eksekutif, konsekuensinya bukan hanya melemahkan penegakan hukum di bidang tindak pidana korupsi oleh KPK, melainkan juga merupakan sebuah kemunduran bagi sistem ketatanegaraan Indonesia.
Tulisan milik Faisal Muhammad Safi’i, Lulusan S-1 Ilmu Hukum di Universitas Muhammadiyah Surakarta.
“Disclaimer: Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.”
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.