Isu pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah mulai tercium semenjak pemilihan Ketua KPK baru pada tahun 2019 lalu. Namun, kondisi KPK kini semakin melemah karena berlakunya undang-undang baru yang juga berujung pada ahli status pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). Apakah kondisi ini bisa mengakibatkan KPK semakin berada di ujung tanduk?
Reformasi yang terjadi di 23 tahun yang lalu yang ditandai oleh berakhirnya rezim orde baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto memberikan dampak perubahan yang signifikan dalam menjadikan negara Indonesia menjadi negara yang demokratis.
Runtuhnya rezim Orde Baru ditengarai merupakan kekesalan rakyat Indonesia atas maraknya perilaku koruptif yang dilakukan oleh pemerintahan pada zaman orde baru. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Prof Franz Magnis Suseno yang mengatakan bahwa:
“Mengapa rezim Pak Harto Jatuh? Karena kebijakan ekonomi yang tidak tepat? Karena kesalahan konsepsional? Bukan..! Sebabnya rezim Pak Harto jatuh adalah korupsinya yang bak pasukan rayap, menggerogoti ketahanan ekonomis, menggerogoti sistem hukum, ketahanan moral dan akhirnya ketahanan nasional bangsa Indonesia”
Menurutnya tindak pidana korupsi merupakan sebuah akar permasalahan yang dapat mengakibatkan berbagai permasalahan bangsa hingga jatuhnya suatu rezim pemerintahan – di mana sebelumnya di bawah kepemimpinan Soeharto, rezim Orde Baru dapat berkuasa selama 32 tahun berturut-turut.
Dalam teori GONE,Jack Bologne mengatakan Greed (keserakahan), Opportunity (peluang), Need (kebutuhan) dan Exposes (hukuman yang rendah) sebagai faktor yang mempengaruhi terjadinya tindak pidana korupsi. Jadi, tidak heran apabila tindak pidana korupsi terjadi secara masif di rezim Orde Baru.
Maka dari itu, dalam reformasi terdapat enam amanat Reformasi. Salah satunya adalah agenda dalam pemberantasan budaya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang terjadi di Indonesia. Untuk mewujudkan Indonesia bersih dari tindak pidana korupsi dibentuklah sebuah lembaga negara yang bersifat independen untuk melaksanakan pemberantasan tindak pidana korupsi yang bernama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Kelahiran KPK sendiri merupakan anak kandung Reformasi pada tahun 2002 yang memiliki tugas dan kewenangan dalam hal pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia dengan payung hukum menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Dalam perjalanan 18 tahun semenjak berdirinya KPK, sudah banyak kasus tindak pidana korupsi di tanganinya. Bahkan, pada 29 Agustus 2019, berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI), KPK menempati posisi teratas sebagai lembaga negara yang paling dipercaya publik.
Namun, semenjak KPK dipimpin oleh Filri Bahuri, LSI kembali melakukan survei pada periode 20 Desember 2020-25 Januari 2021. Hasil survei tersebut mengatakan tingkat kepuasan kinerja KPK menurun drastis – yang biasanya berada di atas 70% kini di bawah 55%.
Survei tersebut disambut oleh hasil survei lainnya yang dilakukan oleh Transparency International Indonesia (TII) yang menyatakan bahwa Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada tahun 2020 menurun dengan berada di skor 37. Lalu, apakah penyebab dari penurunan kepuasan publik atas kinerja KPK selama dua tahun terakhir?
UU KPK, Akar Masalah?
Isu pelemahan lembaga antirasuah tersebut sudah nyaring terdengar semenjak kembali terpilihnya Presiden Jokowi di Pemilihan Presiden pada tahun 2019 lalu. Padahal, sebelumnya dalam janji Pilpres 2019, Jokowi berjanji akan memperkuat KPK dan memberantas tindak pidana korupsi.
Namun, di kepemimpinan periode keduanya tersebut, Jokowi justru melakukan pelemahan KPK dengan menyetujui revisi UU KPK yang baru. Padahal, banyak pegiat antikorupsi mengatakan bahwa UU KPK yang baru ini sangat berpotensi melemahkan KPK.
Adapun pelemahan tersebut adalah KPK dianggap sudah kehilangan taring dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Hal ini dikarenakan dikuranginya kewenangan KPK dalam melakukan upaya proses penindakan hukum seperti penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.
Selain itu, UU KPK yang baru mengatur secara rumit kewenangan KPK dalam melakukan penyadapan. Bahkan, kewenangan di tingkat penuntutan itu dihapuskan.
Dibatasinya jangka waktu SP3 selama dua tahun mengakibatkan akan banyaknya kasus korupsi yang sudah ditangani oleh KPK bebas demi hukum. Serta, hilangnya indepedensi KPK sebagai Lembaga Negara dikarenakan KPK diletakkan sebagai lembaga negara di rumpun eksekutif dan pegawai KPK akan dijadikan sebagai Aparatur Sipil Negara.
Atas adanya upaya pelemahan KPK tersebut pada tahun 2019, terjadi pergerakan massa secara masif di berbagai daerah di seluruh wilayah Indonesia yang bertemakan #ReformasiDiKorupsi dan berpusat di Jakarta.
Para massa aksi demonstran melakukan penolakan pelemahan KPK yang dilakukan secara sistematis oleh pemerintah bersama anggota DPR pada saat itu. Pasalnya, pemerintah bersama dengan DPR berniat meloloskan Firli Bahuri sebagai calon ketua KPK pada saat itu.
Kabarnya, Firli Bahuri sendiri melakukan pelanggaran kode etik berat pada saat menjabat sebagai pegawai KPK. Pencalonan Firli Bahuri sebagai ketua KPK juga mendapatkan penolakan dari pegawai KPK pada saat itu.
KPK Sudah di Ujung Tanduk?
Penurunan kinerja KPK mulai terlihat setelah diberlakukannya UU KPK yang baru. Untuk pertama kalinya dalam sejarah terbentuknya lembaga ini, KPK kalah dalam persidangan Tindak Pidana Korupsi dalam kasus mantan Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) Sofyan Basir, Wali Kota Bekasi Mochtar Mohammad, dan mantan Bupati Rokan Hulu Suparman.
Kekalahan atas persidangan tindak pidana korupsi, integritas KPK kini juga dipertanyakan karena terdapat pelanggaran hukum yang dilakukan oleh anggota KPK. Pelanggaran hukum tersebut antara lain pencurian barang sitaan berupa emas seberat 1,9 kilogram, bocornya penggeledahan KPK di kantor PT Jhonlin Baratama, hingga pemerasan yang dilakukan anggota kepolisian yang bertugas di KPK terhadap Wali Kota Tanjung Balasi HM Syahrial sebesar Rp 1,5 miliar.
Lalu, aparat penegak hukum yang melakukan pelanggaran hukum apabila dilihat dari teori GONE milik Jack Bologne sebagaimana yang disampaikan di atas, faktor keserakahan, peluang, kebutuhan dan hukuman yang rendah menjadi penyebab utama mengapa anggota KPK melakukan pelanggaran hukum di saat KPK melemah.
Ditambah, gugatan Mahkamah Konstitusi menolak gugatan masyarakat sipil dalam Uji Materil Undang-Undang KPK yang baru. Dengan penolakan tersebut, maka makin kecil harapan KPK untuk bangkit melawan para koruptor yang saat ini sedang tertawa di atas kepunahan lembaga antirasuah tersebut.
Namun, dalam putusan dissenting opinion uji formil UU KPK, Hakim Mahkamah Konstitusi Wahiduddin Adams mengakui bahwa terdapat perubahan ketentuan mengenai postur, struktur, arsitektur serta fungsi KPK di dalam UU KPK yang baru. Namun, terdapat beberapa perubahan terkait soal SP3 dan juga Izin Dewan Pengawas dalam Penyadapan.
Jika demikian, apakah KPK memang sudah di ujung tanduk? Hal ini diperparah dengan kondisi di nonaktifkannya 75 pegawai KPK yang tidak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) untuk menjadi ASN yang dilakukan oleh pegawai KPK.
Banyak yang menilai bahwa tes ini merupakan cara-cara untuk menyingkirkan pegawai terbaik KPK. Menurut Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), pelaksanaan TWK tidak berdasar pada hukum yang berlaku karena tidak diatur di dalam UU KPK harus di posisikan lex specialis dalam penyusunan regulasi kepegawaian KPK.
Apabila hal ini tetap dibiarkan, melihat KPK yang sudah berada di ujung tanduk di dalam kepemimpinan pemerintahan Jokowi, akankah budaya korupsi kembali merajalela sebagaimana di masa Orde Baru dulu? Menarik untuk kita tunggu kelanjutannya.
Tulisan milik Falis Aga Triatama, Praktisi Hukum di Winrow Veritas Law Firm.
Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.