HomeRuang PublikKorupsi, Kejahatan Purba yang Abadi?

Korupsi, Kejahatan Purba yang Abadi?

Oleh Muhamad Fardhansyah

Korupsi merupakan kata yang umum dan sering dibicarakan di media dan publik. Mengapa korupsi bisa menjadi kejahatan purba yang sulit hilang?


PinterPolitik.com

Korupsi merupakan sebuah kata yang cukup familiar didengar, mulai dari pemberitaan media, perbincangan tetangga, bahkan ruang-ruang diskusi lainnya. Siapa yang tidak pernah dengar kata tersebut? Seakan-akan korupsi sudah sangat melekat dengan keseharian kita.

Seminimal mungkin seseorang mungkin dapat mendefinisikan korupsi berdasarkan pengalaman mereka masing-masing, yakni sebagai perilaku pemalsuan, pencurian, dan tidak jujur. Atau bahkan orang-orang cukup mengenal dengan istilah “nilep” yakni mengambil bagian yang bukan milik kita sepenuhnya.

Sayangnya, saat ini, korupsi semakin berkembang dan praktiknya pun semakin bermacam-macam tetapi esensinya tetap sama, yakni merugikan pihak lain demi keuntungan pribadi. Cara pandang terhadap korupsi sudah tidak disamakan dengan cara pandang klasik.

Jelas permasalahan ini bersifat multi-perspektif, dapat bersifat politis, administrasi publik, ekonomi, sosiologis, hukum, bahkan religius. Jadi, kacamata yang digunakan juga harus semakin menyeluruh tidak dalam artian sempit.

Dalam hal ini, disiplin ilmu antropologi politik memiliki tantangan yang besar dalam melihat kompleksitas korupsi mengenai bagaimana menjelaskan atau menafsirkan fenomena tersebut – meskipun korupsi sama halnya dengan praktik yang kerap diungkap oleh para Antropolog seperti isu-isu kesenjangan, patronase dan illegalitas.

Jika dilihat dari faktor historis, memang sudah menjadi rahasia umum bahwa korupsi telah merajalela, bahkan dapat meruntuhkan kongsi dagang bernama Verenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang kekayaannya melebihi tiga perusahaan terbesar di dunia saat ini.

Sebelum melihat praktik korupsi saat ini, mari kita mundur beberapa abad. Pada abad ke-18, VOC berdagang dan memonopoli rempah-rempah yang ada di Nusantara. Saat itu, Indonesia belum terbentuk dan masih bergugus kerajaan yang dipimpin oleh bangsawan lokal.

Ketimbang berseteru dengan kerajaan, VOC membangun kerja sama dengan bangsawan lokal untuk mengawasi pekerja pribumi yang menggarap ladang rempah. Ditambah, VOC kerap melakukan pelayaran di Nusantara untuk memantau pedagang lain agar hanya menjual rempahnya kepada VOC yang kemudian disebut pelayaran hongi.

Bisa dibayangkan betapa besarnya keuntungan yang didapatkan oleh VOC dari hasil eksploitasi rempah-rempah di Nusantara. Sayangnya, kemakmuran VOC tidak bertahan sampai akhir abad ke-19 akibat hancur karena korupsi yang dilakukan oleh para pejabatnya.

Baca juga :  Menyingkap Sportwashing dalam Laga Indonesia-Bahrain

Parakitri T. Simbolon dalam bukunya Menjadi Indonesia mengatakan para pejabat kerap menggelembungkan target hasil panen rempah kepada bangsawan lokal dan tuan tanah yang mengawasi pekerja pribumi.

Jadi, jika target per hari itu sebanyak 125 pikul untuk beras yang harus disetorkan kepada VOC, para pejabat justru kerap menetapkan target – misalnya 150-180 pikul beras, dan lebihnya masuk ke kantong pribadi.

Para bangsawan lokal dan tuan tanah pun kerap melakukan hal serupa dengan memotong upah yang telah disalurkan dari Belanda untuk menggarap tanah produksi rempah-rempah. Ada juga praktik-praktik seperti penggelapan pajak yang kerap dilakukan oleh bangsawan lokal.

Kasus korupsi tidak hanya terkenal akan keterkaitannya dengan VOC tetapi juga ketika Daendels menjabat sebagai gubernur jenderal Hindia Belanda selama tiga tahun. Mungkin, kita mengenal Daendels sebagai sosok yang kejam karena melakukan kerja paksa terhadap pribumi yang menewaskan lebih dari 12.000 korban jiwa.

Daendels sebetulnya menerapkan sistem upah terhadap para pekerja proyek pembangunan jalan, misalnya untuk pembangunan jalan Bogor-Cirebon sejauh 150 kilometer, Daendels mengeluarkan dana sebesar 30.000 ringgit, kata Djoko Marihandono Sejarawan Universitas Indonesia.

Hanya saja dana yang dikeluarkan tersebut tidak langsung diberikan kepada para pekerja pembangunan jalan tersebut, namun disetorkan melalui Bupati dan Pemerintah Lokal. Kembali kepada tuntutan hidup bangsawan lokal yang menanggung sanak keluarga mereka serta gaya hidup yang dipengaruhi oleh Belanda mendorong mereka melakukan praktik korupsi. Oleh karena itu, korupsi merupakan fenomena yang tersembunyi dengan idiom rahasia.

Pemberian hadiah dan upeti yang bertujuan untuk menjilat atasan dahulu tidak dianggap serius sebagai praktik korupsi. Layaknya menerima atau mengirimkan bingkisan serta hadiah terimakasih, apakah itu termasuk dalam praktik korupsi?

Tindakan tersebut berdiri diantara titik pemberian (gift) dan penyuapan (bribery), antara yang legal dan ilegal. Oleh karena itu, apa yang didefinisikan sebagai korupsi dalam suatu pranata hukum pada saat bersamaan tidak berlaku oleh pranata hukum lainnya.

Hal tersebut dikenal dengan istilah pluralisme hukum oleh De Sousa Santos (1995) dalam konsepnya, yakni interlegality. Seluruh aturan yang terjadi dalam situasi bersamaan menampilkan kemajemukan hukum dalam pranata sosial.

Baca juga :  Benny Laos: Panas Nikel Maluku Utara?

Misalnya, ketika ada percakapan mengenai “jangan lupa sisihkan bingkisan untuk bos”, apakah itu dapat dikatakan sebagai kasus korupsi? Tentunya, hal ini harus disepakati secara bersama. Tindakan resmi yang dikategorikan sebagai korupsi namun secara moral dibenarkan dalam solidaritas harus diluruskan.

Dengan adanya pijakan hukum yang kuat, misalnya pada United Nations Convention Against Corruption tahun 2003 akhirnya semua sepakat, bahwa ruang lingkup korupsi sangat luas. Harapannya celah-celah praktik korupsi semakin sempit. Tetapi memang pada dasarnya manusia tidak pernah merasa cukup, entah karena nafsu atau kebutuhan yang mendesak.

Vroom dalam teorinya expectancy,yakni dijabarkan dengan (performance + ability + skill + knowledge = Motivation). Teorinya menyimpulkan bahwa motivasi seseorang dipengaruhi oleh expectation dan value yang ia miliki. Jadi harapan seseorang akan menentukan apa yang akan mereka lakukan, bergantung pada motivasi diatas.

Jika seseorang ingin menjadi kaya, ada dua kemungkinan tindakan. Apakah yang bersifat positif atau negatif, apakah secara cepat atau lambat. Mungkin jika cara yang ditempuh bersifat negatif, korupsi menjadi salah satunya.

Sangat panjang untuk menjabarkan sebuah kosa kata majemuk bernama korupsi. Meskipun tidak menyebabkan dampak secara langsung, tidak ada korban fisik, tidak ada rumah yang dibakar, tidak ada tindakan pencurian secara langsung. Percayalah, korupsi jauh lebih berbahaya di atas segalanya.

Sebuah riset yang dilakukan oleh University of Goettingen dan Transparency International on Corruption di 85 negara menunjukkan bahwa negara Indonesia berada di peringkat korupsi tinggi, bahkan melampaui negara tetangga seperti Singapura dan Vietnam. Oleh karena itu, kita harus sadar, edukasi akan buruknya korupsi harus ditanam sejak dasar, pencegahan harus dimaksimalkan dan penindakan harus dilakukan.

Masyarakat umum juga harus berperan sebagai watchdog, dan jangan sampai istilah-istilah seperti transparency dan good governance hanya muncul untuk menutup-nutupi praktik korupsi dan menyelubungi fakta mengenai bad governance.


Profil Ruang Publik - Muhamad Fardhansyah

Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.


Banner Ruang Publik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Ebook Promo Web Banner
Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Menguji “Otot Politik” Andika Perkasa

Pilgub Jawa Tengah 2024 kiranya bukan bagaimana kelihaian politik Andika Perkasa bekerja di debutnya di kontestasi elektoral, melainkan mengenai sebuah hal yang juga lebih besar dari sekadar pembuktian PDIP untuk mempertahankan kehormatan mereka di kandang sendiri.

Menyoal Kabinet Panoptikon ala Prabowo

Pemerintahan Prabowo disebut memiliki kabinet yang terlalu besar. Namun, Prabowo bisa jadi memiliki kunci kendali yakni konsep "panoptikon".

Tidak Salah The Economist Dukung Kamala?

Pernyataan dukungan The Economist terhadap calon presiden Amerika Serikat, Kamala Harris, jadi perhatian publik soal perdebatan kenetralan media. Apakah keputusan yang dilakukan The Economist benar-benar salah?

Ridwan Kamil dan “Alibaba Way”

Ridwan Kamil usulkan agar setiap mal di Jakarta diwajibkan menampilkan 30 persen produk lokal. Mungkinkah ini gagasan Alibaba Way?

Hype Besar Kabinet Prabowo

Masyarakat menaruh harapan besar pada kabinet Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Rahasia Kesaktian Cak Imin-Zulhas?

Dengarkan artikel ini: Audio ini dibuat menggunakan AI. Di tengah kompetisi untuk tetap eksis di blantika politik Indonesia, Zulkifli Hasan dan Muhaimin Iskandar tampak begitu kuat...

Prabowo, the Game-master President?

Di awal kepresidenannya, Prabowo aktif menggembleng Kabinet Merah Putih. Apakah Prabowo kini berperan sebagai the game-master president?

Indonesia First: Doktrin Prabowo ala Mearsheimer? 

Sejumlah pihak berpandangan bahwa Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto akan lebih proteksionis. Seberapa besar kemungkinannya kecurigaan itu terjadi? 

More Stories

Menyingkap Sportwashing dalam Laga Indonesia-Bahrain

Kontroversi ini perpanjang daftar kritik terhadap wasit dari Timur Tengah, di tengah dugaan bias dan pengaturan skor sepak bola internasional.

Unlike Jokowi, Prabowo Will Be His Own Man

More assertive foreign policy and democratic backsliding are most likely on the horizon as Prabowo Subianto becomes the next Indonesian president.

Fenomena Gunung Es “Fake Review”

Fenomena fake review kini banyak terjadi di jual-beli daring (online). Siapakah yang dirugikan? Konsumen, reviewer, atau pelaku usahakah yang terkena dampaknya? PinterPolitik.com Sejak berlangsungnya proliferasi internet...