Dengan perekonomian dan perdagangan dunia yang semakin global, budaya konsumerisme dianggap semakin menjamur di masyarakat. Lantas, perlukah konsep minimalisme diterapkan?
“Jiwaku ada padamu banyak barang, tertimbun untuk bertahun-tahun lamanya; beristirahatlah, makanlah, minumlah dan bersenang-senanglah”.
Itulah salah satu kutipan ayat yang terdapat dalam Injil Lukas 12:19. Setelah mengetahui ayat Injil tersebut, saya tertarik untuk membahasnya dari sudut pandang ekonomi modern. Percaya atau tidak, kita adalah manusia-manusia yang sejak era modernisasi dan globalisasi terjadi, lanskap kehidupan kita mengalami perubahan, dari cara kita memandang komoditas kebudayaan global dan cara-cara kita menyikapinya.
Modernisasi dan globalisasi membawa kita ke dalam era yang penuh hasrat ketidakpuasan dalam konteks konsumerisme dan kepemilikan. Uang dan kekayaan material mendefinisikan siapa kita, apa yang kita ingin orang lain pikirkan tentang kita.
Uniknya, seberapa banyak yang kita konsumsi dan miliki justru tidak membawa kepuasan batin yang sejati. Semuanya seakan tereduksi dalam nilai-nilai kepemilikan yang menuntut kita terus mengonsumsi, ingin terus memiliki suatu produk dalam kefanaannya tanpa henti. Apa yang baru muncul akan terganti, apa yang terbaru dibeli akan terus menuntut konsumsi tren terbarunya lagi. Begitulah seterusnya, sampai jiwa kita tertimbun dalam benda-benda mati tersebut.
Apakah yang demikian mengherankan? Tentu tidak sama sekali. Erich Fromm dalam bukunya berjudul The Art of Living (alih bahasa: Dono Sunardi, Penerbit Baca, 2018) menyebutkan bahwa dalam lanskap kehidupan modern, keinginan untuk memperoleh properti, memilikinya, mempertahankannya, hingga meningkatkannya merupakan ekses yang timbul dalam kesadaran identitas yang tersemat pada aspek materiil. Manusia menilai bahwa harga diri dan status sosialnya ditentukan dari seberapa banyak yang ia miliki, dari seberapa banyak yang bisa ia tingkatkan melalui kegiatan konsumsi tiada henti.
Modus orientasi memiliki merupakan ekses yang muncul secara struktural dalam ekonomi pasar. Kapitalisme berhasil menuntun kita pada cara pandang yang sangat unik, yaitu membuat kita mencapai keabu-abuan pemahaman terhadap perbedaan antara barang dan komoditas.
Barang adalah sesuatu hal yang memiliki nilai guna tertentu, kita dapat menggunakannya sesuai fungsinya. Berbeda dengan barang, komoditas memberi identitas baru pada barang yaitu nilai tukar, yang dengan identitas barunya kita dapat menyematkan harga beli dan harga jual. Modernisasi dan globalisasi menjejali kita dengan komoditas-komoditas yang nilai gunanya direduksi semata-mata menjadi nilai pasar.
Dengan demikian, kita akan dibawa pada pemahaman baru, bahwa dalam komoditas yang kita beli tersemat harga diri dan status sosial kita. Apakah kita mampu membelinya? Apakah kita memiliki komoditas yang nilai pasarnya lebih tinggi dari orang lain? Apakah kita harus terus membeli komoditas-komoditas sesuai tren terbarunya agar harkat dan martabat kita semakin terpandang? Ekses-ekses tersebut muncul dan kita terpaksa menurutinya karena identitas diri kita tersemat dalam komoditas-komoditas tersebut.
Ciri khas ekonomi pasar lantas berlaku secara masif dan sistematis ketika negara juga bergantung pada tingginya intensitas konsumsi masyarakat. Apa yang diharapkan dari hal tersebut? Tentu saja pertumbuhan ekonomi tiada henti. Aspek konsumsi adalah aspek yang sangat penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.
Dengan konsumsi yang tinggi maka produksi akan terus ditingkatkan, komoditas-komoditas akan terus berevolusi setiap saat. Perusahaan-perusahaan akan terus melakukan riset-riset terbaru guna membaca preferensi ekonomi masyarakat. Semua pihak akan bekerja sama dengan sebaik-baiknya demi menjaga tingginya permintaan masyarakat terhadap suatu produk.
Diskon, cashback, subsidi, dan sejenisnya akan terus diberikan. Apalagi jika sekarang kita sedang dipersiapkan menuju cashless society. Momentum ini tentu tidak akan dilewatkan begitu saja.
Mungkin saat ini kita masih ingat betul produk-produk apa saja yang kita baru beli, kita tidak merasa khawatir tentang seberapa banyak uang yang kita keluarkan, asal kita dapat memiliki barang-barang terdiskon dalam satu kali klik di smartphone yang tertaut pada platform belanja digital.
Apakah selepas itu semua kita merasa puas? Mungkin dalam sejenak, ya, kita merasa puas. Sebelum pada akhirnya pada minggu berikutnya notifikasi muncul dan diskon-diskon terhadap produk kembali diberikan dan perasaan gusar untuk membeli atau tidak membeli produk-produk tersebut mulai muncul.
Bisakah kita menahannya? Mungkin bisa, jika pundi-pundi uang kita telah habis, atau jika uang-uang tersebut harus kita keluarkan untuk membiayai biaya berobat jika pada saat itu kita terbaring lemah karena sakit. Komoditas-komoditas tersebut akan terus menggoda kita untuk mengembangkan ekses kepemilikan terhadapnya. Identitas kita tersemat padanya, maka kita harus membelinya demi harga diri.
Jika kita menengok pada era globalisasi di mana produk-produk branded bermunculan, akan sangat mudah bagi produsen untuk mencapai target penjualan dalam sekejap saja. Munculkan saja secara terus-menerus tren-tren baru, baik itu tas, smartphone, sepatu, baju, dan lain sebagainya.
Secara otomatis semua itu akan membawa kita pada kondisi FOMO (Fear of Missing Out). Kita harus membeli produk-produk yang baru muncul tersebut karena di dalam produk itulah tersemat identitas kita, harga diri, dan status sosial kita.
Lantas kita membeli bukan semata-mata karena butuh, tapi karena ketakutan bahwa kita tidak bisa memilikinya sedangkan orang lain bisa membeli dan memilikinya. Dalam semuanya itu, apa yang benar-benar terjadi adalah bahwa kita hanya ingin memperoleh pengakuan.
Inilah yang oleh Fukuyama dalam bukunya berjudul Identitas (alih bahasa: Wisnu Prasetya, Bentang Pustaka, 2020) disebut sebagai thymos. Manusia mengembangkan sebuah emosi berupa perasaan bangga ketika mendapat penilaian positif tentang pencapaiannya. Seperti yang telah saya sebutkan pada paragraf sebelumnya bahwa dalam era modern, apa yang bisa kita beli dan kita miliki adalah pencapaian terbesar kita.
Setelah sekian purnama ekses kepemilikan dalam konsumsi tiada henti di era modernisme yang identik dengan konsumerisme membelenggu kita, ada sebuah tren baru yang muncul, yaitu pola hidup minimalis. Pola hidup ini membawa revolusi besar-besaran terhadap konsumerisme.
Identitas kita tidak tersemat pada komoditas-komoditas yang memiliki nilai pasar, harga diri kita tidak ditentukan oleh seberapa banyak produk yang bisa kita beli dan miliki. Justru sebaliknya, kepuasan batin sejati itu terjadi ketika kita bisa benar-benar melihat nilai guna dari produk yang kita beli, bukan dari nilai tukar atau nilai pasar yang kemudian mereduksi pandangan kita terhadap suatu barang.
Ketika kita melihat sebuah produk berdasarkan nilai gunanya, kita akan bisa memilih dan memberi pertimbangan, apakah sepasang kaki kita membutuhkan lima hingga enam pasang sepatu. Apakah hari-hari kita akan dipenuhi oleh kebingungan kita dalam memilih baju dan tas mana yang akan kita gunakan untuk pergi ke kantor. Saat kita bisa memberi pertimbangan yang matang ketika membeli sebuah produk, maka kita dapat dengan yakin bahwa produk yang kita beli adalah investasi jangka panjang kita, sehingga segenap penghasilan lainnya bisa kita gunakan untuk menciptakan value yang jauh lebih berharga dengan orang-orang tercinta, segenap waktu kita bisa kita investasikan untuk menciptakan value yang membuat kita menghasilkan sesuatu, memancar keluar, dan mencapai kepuasan batin.
Dalam hal ini saya terkesan dengan apa yang dibahas oleh Desi Anwar dan Raditya Dika dalam sebuah acara talkshow di Youtube (8 Juli 2019). Desi Anwar membahas tentang tiga pola pikir yang dapat membentuk pola hidup konsumerisme atau minimalisme.
Perlu digarisbawahi bahwa pembahasan tentang tiga pola pikir ini tidak didasarkan pada seberapa banyak uang yang dimiliki, ini murni didasarkan pada sifat kita dalam menyikapi pola kehidupan ke arah konsumerisme atau minimalisme.
Pertama, poor mindset, sebuah pola pikir yang berakar pada ketidakpuasan terhadap kepemilikan suatu barang, sebuah pola pikir yang ingin terus mengonsumsi dan memiliki tanpa henti. Manusia yang memiliki pola pikir ini akan cenderung royal dalam berbelanja, membeli apapun, menumpuk apapun.
Kedua, status mindset, hampir sama dengan poor mindset, hanya saja bagian ini lebih memprioritaskan pada produk-produk dengan label tertentu (branded) karena ia menyematkan identitasnya pada produk-produk berlabel yang ia beli. Ketiga, rich mindset, yaitu pola pikir yang memprioritaskan pembelian suatu produk untuk investasi. Jenis pola pikir ini dapat memberi pertimbangan yang matang ketika membeli suatu produk, yaitu membelinya berdasarkan kegunaannya untuk jangka panjang.
Memilih produk good quality, tidak boros, tidak mudah terperangkap dalam ekses kepemilikan terhadap suatu produk. Rich mindset juga membantu kita untuk membedakan mana yang merupakan prioritas kebutuhan kita, mana yang merupakan ekses kepemilikan dalam konsumsi tiada henti yang tidak sehat.
Lebih lanjut, Raditya Dika menyodorkan opini yang tidak kalah menarik. Ia menceritakan bahwa ia mulai beralih dari gaya hidup berorientasi memiliki, ke gaya hidup berorientasi menjadi. Hal ini ia mulai ketika ia mulai merasakan ketidakbahagiaan dalam ekses konsumsi dan kepemilikan yang tiada henti.
Ia yang awalnya menyematkan kebahagiaannya pada sebuah barang mulai mengurangi ekses tersebut. Ia mulai menjual barang-barang yang menurutnya telah kehilangan fungsinya karena tidak lagi digunakan secara intens. Setelah ia melakukannya, ia mulai beralih dari gaya hidup berorientasi memiliki ke gaya hidup berorientasi menjadi yaitu dengan menyematkan kebahagiaannya pada pengalaman-pengalaman yang ia ciptakan.
Ia memancarkan keluar orientasinya dengan memberi value pada aktivitas-aktivitas bernilai tambah seperti mengurangi berbelanja yang tidak perlu, tetapi menggunakan uang dan waktunya untuk sesuatu yang produktif, seperti menghabiskan waktu bersama istri dan anaknya (liburan, bioskop, dsb), menciptakan pengalaman dengan mentraktir saudara atau kolega dekatnya, memberi pada orang-orang yang kurang mampu, dan sebagainya. Dalam aktivitas-aktivitas tersebut ia kemudian mengalami kepuasan batin yang jauh lebih nyata daripada sebelumnya.
Raditya Dika juga menjelaskan satu hal yang penting bahwa pola hidup minimalis ini sangat berbeda dengan kondisi pas-pasan. Dalam pola hidup minimalis artinya kita memiliki kontrol yang jelas tentang apa yang akan kita lakukan terhadap uang dan waktu kita, sedangkan kondisi pas-pasan tidak memberikan kita kontrol tersebut. Meskipun menurut saya dalam kondisi pas-pasan sekalipun kita sebenarnya bisa tetap memberikan kontrol tentang kebahagiaan yang kita ciptakan di dalamnya pada aspek non materiil, bukan pada ekses terhadap suatu produk yang tidak bisa kita miliki lantas kita tidak merasa bahagia.
Jika masyarakat yang punya kontrol atas hidupnya memilih untuk menjadi minimalis, lantas bagaimana dengan pertumbuhan ekonomi yang menuntut kita mengonsumsi secara berlebih? Mungkin para minimalis akan memberikan jawaban bahwa kita akan tetap bisa mendorong perekonomian dengan cara yang berbeda, yaitu modus orientasi menjadi, di mana kita menciptakan value dari pengalaman yang kita ciptakan.
Mungkin kita bisa tetap mengonsumsi, namun dalam konteks berbeda, seperti membeli banyak makanan untuk dibagikan, membeli tiket bioskop untuk menciptakan pengalaman berharga bersama orang yang kita cintai, membelikan suatu barang yang dibutuhkan oleh orang-orang di sekeliling kita. Pada dasarnya, kita tidak menyematkan nilai hidup kita pada produk tersebut, tapi pada apa yang bisa kita hasilkan dan berikan, pada apa yang mendatangkan value bagi kita, dalam konteks personal maupun sosial.
Tulisan milik Yukaristia, Lulusan S1 Pendidikan Akuntansi Universitas Negeri Malang.
Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.