Site icon PinterPolitik.com

Konsep Forest in City dalam RUU IKN

Konsep Forest in City dalam RUU IKN

Desain Nagara Nusa Rimba milik Urban+ yang memenangkan sayembara desain ibu kota negara (IKN) baru. (Foto: Media Indonesia)

Undang-Undang (UU) terkait Ibu Kota Negara (IKN) telah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam rapat paripurna yang digelar pada 18 Januari 2022 lalu. Bagaimana konsep forest in the city dari IKN yang akan bernama “Nusantara” ini nanti?


PinterPolitik.com

Pada tanggal 18 Januari 2022 lalu, RUU UU IKN resmi disahkan setelah mendapatkan persetujuan secara aklamasi dari para anggota rapat paripurna ke-13 DPR masa sidang 2021-2022. Ketua Panitia Khusus (Pansus) RUU IKN Ahmad Doli Kurnia mengatakan bahwa pemerintah telah menyepakati bahwa Ibu Kota Negara yang baru diberi nama Nusantara. Nantinya, pembangunan Ibu Kota baru menggunakan konsep pembangunan dan “City in the forest

RUU IKN harapannya dapat menjadi payung hukum bagi para korporasi yang mau berinvestasi di ibu kota baru. Sebelumnya, Gubernur Kalimantan Timur Isran Noor mengklaim Ibu Kota Negara (IKN) baru telah menarik minat investasi dari dunia internasional.

Ia menyebut sejumlah negara maju di Eropa dan Asia Timur sudah mulai berminat untuk melakukan investasi di “Nusantara” sebagai nama ibu kota baru Indonesia seperti Inggris, termasuk Jerman, Tiongkok, Korea Selatan, dan Uni Emirat Arab (UEA). Meskipun begitu, pemerintah tetap akan selektif dalam memilih investor yang akan menanamkan modalnya untuk mencegah kerugian negara.

Meskipun menggunakan konsep forest in city, pengesahan RUU IKN ini mendapatkan kritik dari berbagai pihak terutama dari LSM yang berkonsentrasi di isu lingkungan. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyoroti proses pembahasan Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara (RUU IKN) yang berlangsung sangat cepat.

Menurut Walhi, pembahasan super kilat ini berpotensi mengakibatkan RUU IKN jadi produk hukum inkonstitusional seperti halnya UU Cipta Kerja. Wacana pemindahan ibu kota negara dinilai seharusnya tidak hanya melibatkan urusan teknis belaka, seperti anggaran dan infrastruktur. Pemerintah seharusnya melakukan kajian mendalam terkait aspek sosial, ekonomi, lingkungan, hingga kultur dari dampak pemindahan ibu kota ke Kalimantan ini.

Istilah Forest in City sendiri mulai dikenal dalam perencanaan dan pembangunan kota sejak abad ke-18 di Ohio, Cleaveland, yang mendapatkan julukan Forest in City karena memiliki kepadatan pohon yang tinggi. Forest in City diterjemahkan oleh Stefano Boeri sebagai vertical forest dengan jumlah bangunan yang ditutupi oleh pohon dan tumbuhan. Pohon tersebut berperan sebagai penyaring udara raksasa dan pengendali polusi yang dengan metode vertical foresting diharapkan dapat mengembalikan ruang secara alami sebagai upaya perlindungan bumi (Mutaqin, Muslim & Rahayu, 2021).

Pengembangan konsep pembangunan forest city ini akan mendorong perusahaan untuk menunjukan diri sebagai pihak yang pro lingkungan. Akan tetapi, pemerintah tentunya berusaha memastikan agar pihak korporasi menunjukan komitmennya dalam menghasilkan produk yang ramah lingkungan “green” misalnya Tesla.

Sebelumnya Menteri BUMN Erick Thohir, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan, sampai Presiden Joko Widodo telah membujuk perusahaan mobil listrik asal Amerika Serikat, Tesla, untuk berinvestasi di Indonesia.

Komitmen pemerintah Indonesia dalam menyaring korporasi yang pro lingkungan merupakan wujud kepedulian negara terhadap isu seperti perubahan iklim yang saat ini menjadi kekhawatiran masyarakat global. Disatu sisi, terkadang perusahaan seringkali mengkapitalisasi “isu lingkungan” sebagai alat komoditas mereka. Seringkali, perusahaan melakukan greenwashing dengan memanfaatkan kampanye media/iklan hijau untuk meyakinkan masyarakat bahwa mereka ramah lingkungan (Ponte, 2019).

Dalam kasus Tesla misalnya, proses produksi mobil listrik yang dianggap ramah lingkungan tidak dapat dilepaskan dari praktik eksploitasi alam. Praktik pertambangan yang bahkan ditemukan menggunakan tenaga kerja anak di negara benua Afrika menunjukan Tesla tidak sepenuhnya menunjukan kepedulian terhadap lingkungan (Dowling, 2020).

Ditambah lagi, harga produk mobil listrik Tesla yang terbilang tinggi menunjukan produk ramah lingkungan hanya bisa diakses oleh masyarakat kelas atas. Hal ini tentunya berbanding terbalik dengan dengan kondisi masyarakat adat seperti di Kalimantan yang saat ini masih mengalami kesenjangan sosial-ekonomi.

RUU IKN berpotensi menimbulkan praktik green capitalism yang menyembunyikan eksploitasi alam dengan mengatasnamakan “melindungi alam”. Keberlanjutan yang tidak adil’ adalah bagian tak terpisahkan dari green capitalism. Dematerialisasi produksi di beberapa negara didasarkan pada peningkatan ekstraksi material di negara lain perampasan tanah dilakukan dengan dalih konservasi (Ponte, 2019).

Pengaruh dari green capitalism membuat konsumsi digembar-gemborkan sebagai solusi untuk menekan masalah lingkungan. Dengan berbelanja produk yang ’ramah lingkungan’ dianggap dapat menyelamatkan dunia. Hal ini merupakan bentuk budaya konsumen hijau sebagai bagian dari budaya konsumsi pada umumnya yang digambarkan rasa kepuasan yang tidak terbatas manusia (Slater, 1997).

Keberadaan RUU IKN sendiri seharusnya dapat menjawab permasalahan sengketa lahan  yang saat ini terjadi di Kalimantan. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (PB AMAN) mengungkapkan pemindahan IKN akan berpotensi menambah sengketa lahan dan konflik yang ada di masyarakat Penajam Paser Utara (PPU) dan Kutai Kartanegara (Kukar), khususnya masyarakat adat. Menurut Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum dan HAM Pengurus Besar AMAN, Muhammad Arman, pada 2019 telah terjadi tumpang tindih lahan di kawasan IKN. Tumpang tindih itu menyebabkan sengketa lahan dan konflik di lahan seluas 30.000 hektare milik 13 komunitas masyarakat adat.

Para korporasi menanamkan modalnya di ibu kota negara baru dengan menerapkan strategi greenwashing berpotensi menciptakan apa yang disebut Marx sebagai “kesadaran palsu” di masayrakat adat Kalimantan yang merupakan korban dari kejahatan lingkungan. Eksploitasi sumber daya alam di Kalimantan nantinya hanya bukan lagi dianggap sebagai bentuk kejahatan lingkungan melainkan dianggap bagian dari pembangunan ekonomi atau bagian dari usaha memproduksi energi bersih.

Peluang para korporasi dalam melakukan greenwashing di Indonesia juga meningkat dengan adanya RUU EBT. Latar belakang munculnya RUU EBT sendiri diakibatkan perkembangan energi terbarukan di Indonesia sendiri selama lima tahun terakhir yang masih rendah. Rata-rata penambahan kapasitas penggunaan energi terbarukan per tahunnya hanya sekitar 400 MW. Padahal Indonesia memiliki komitmen untuk mencapai 23% energi terbarukan pada bauran energi primer di tahun 2025. Padahal, sampai tahun 2021 penggunaan energi bersih dan terbarukan di Indonesia hanya baru mencapai kisaran 11-12%.

Direktur Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan (Ibeka) Tri Mumpun mengatakan RUU EBT belum memberikan kesempatan kepada rakyat secara mandiri untuk membangun energi ramah lingkungan di daerahnya. Menurutnya, teknologi energi bersih hanya mengandalkan investor dari luar negeri sehingga hanya menguntungkan negara utara. Pengesahan RUU IKN yang mengkonsepkan city in forest dalam pembangunan ibu kota baru berpotensi memunculkan anggapan bahwa RUU EBT akan menjadi semakin relevan untuk disahkan.

Potensi munculnya kejahatan lingkungan dari munculnya para green capitalism akibat RUU IKN perlu ditempatkan dalam konteks ekonomi, politik, dan kekuasaan. Ketika manfaat ekonomi dari perusakan lingkungan lebih besar daripada kewajiban perdata, tindakan korporasi dibenarkan karena dianggap membantu perekonomian.

Pandangan “green” yang digunakan oleh para korporasi tidak secara khusus membahas ketidakadilan ras, kelas dan gender (Lynch & Stretsky, 2013). Pengesahan RUU IKN seharusnya perlu diikuti dengan kemampuan pemerintah dalam menyeleksi para korporasi yang menganggap dirinya pro lingkungan. Keberpihakan korporasi terhadap lingkungan tidak hanya ketika berencana melakukan investasi di ibu kota negara baru kelak namun, perlu dibuktikan dengan pengalamannya berinvestasi di negara lain.



Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.


Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version