HomeRuang PublikKetika Indonesia Dipimpin Populis

Ketika Indonesia Dipimpin Populis

Oleh Hario Danang Pambudhi

Banyak pihak menilai bahwa demokrasi Indonesia kini terus mengalami kemunduran. Apakah populisme menjadi salah satu faktor pendorongnya?


PinterPolitik.com

Naik turun perjalanan demokrasi Indonesia saat ini turut dipengaruhi banyak hal. Salah satu diskursus yang menarik adalah kepemimpinan negara yang dipimpin oleh seorang figur populis. 

Sejak kontestasi pemilihan presiden 2014, Mietzner (2015) melihat bahwa kedua calon presiden menunjukkan karakteristik sebagai populis – di mana Prabowo Subianto merupakan tipikal populis tradisional yang bercorak ultranasionalis sedangkan Joko Widodo hadir dengan corak populis teknokratis. Kedua figur tersebut juga bertarung dalam kontestasi yang sama di tahun 2019.

Dengan dipimpinnya Indonesia oleh seorang pemimpin populis, acapkali mengundang perdebatan, khususnya berkaitan dengan dampaknya terhadap demokrasi. Mudde dan Kaltwasser (2017) melihat bahwa kehadiran populisme bak dua sisi mata uang yang membawa dampak positif dan negatif bagi demokrasi suatu negara. Lalu, bagaimana dampaknya bagi demokrasi Indonesia?

Populisme dan Demokrasi

Figur populis amat erat kaitannya dengan populisme yang telah menjadi suatu diskursus menarik karena dampaknya terhadap demokrasi di suatu negara. Populisme sendiri belum memiliki definisi yang final. Mudde dan Kaltwasser (2017) berpendapat bahwa populisme merupakan konsep yang diperdebatkan (contested concept), karena populisme sendiri kadang didefinisikan sebagai ideologi, gerakan, maupun sindrom. 

Kendati demikian, Mudde dan Kaltwasser mengambil satu benang merah yang dapat diambil untuk melihat unsur-unsur yang membangun populisme itu sendiri, yaitu rakyat, elite, dan kehendak umum. konstruksi ‘rakyat’ yang disebut populisme memang tidaklah jelas, bahkan terkesan diinterpretasikan secara tertentu lewat penyederhanaan dari realitas yang ada. 

Namun, definisi rakyat dalam populisme sering menggunakan tiga pemaknaan, yaitu rakyat sebagai yang berdaulat, rakyat biasa, dan rakyat sebagai sebuah bangsa. Selanjutnya, elite merupakan sebuah kelompok atau golongan yang memiliki keunggulan atau superioritas dibandingkan dengan kelompok atau golongan lainnya, biasanya mencakup kekuatan politik, status sosial ekonomi, kebangsaan, dll. 

Terakhir, kehendak umum yang merupakan inti dari populisme yang didefinisikan sebagai gagasan kerakyatan. Gagasan ini yang kemudian dapat digunakan oleh aktor atau figur populis untuk membuat keberpihakan yang jelas terhadap rakyat oleh para pemimpin populis. Hal ini juga merupakan modal untuk memobilisasi rakyat untuk mendukung aktor atau figur populis dalam menggulingkan kekuasaan para elite.

Kehadiran populisme menurut Laclau merupakan suatu konsekuensi dari kondisi politik yang terjadi di masyarakat, khususnya konsekuensi yang menentukan kategori tujuan yang berorientasi pada rakyat atau ‘the people’ dan particular demand yang didefinisikan sebagai permintaan sosial dari ketidakpuasan rakyat dengan kondisi sosial politiknya. 

Baca juga :  The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Lebih lanjut, Laclau menyebutkan jika populisme berkembang sebagai akibat dari kondisi tatanan sosial yang sudah rusak, di mana rakyat kehilangan kepercayaan terhadap sistem politik karena kegagalan para elite yang berkuasa menjadi saluran representasi yang efektif sehingga memunculkan apatisme politik rakyat.

Kondisi ini yang kemudian dimanfaatkan oleh aktor atau figur populis untuk memobilisasi dukungan rakyat agar ia bisa merebut kekuasaan yang dimonopoli oleh kelompok ‘elite’ yang selama ini berkuasa. Dari konstruksi tersebut, populisme justru dapat ditempatkan sebagai antitesis dari gagasan mainstream yang selama ini dijalankan oleh kelompok elite yang berkuasa dalam sistem politik demokratis. 

Artinya, ia merupakan wujud ekspresi kekecewaan terhadap sistem politik yang dikuasai oleh para elite korup dan mencoba untuk memobilisasi dukungan pada aktor populis yang didapuk sebagai wakil ‘rakyat’ untuk menggulingkan kekuasaan para elite korup. 

Sekilas, pandangan terhadap populisme sendiri tampak hadir seperti penyelamat demokrasi yang sedang menuju kehancuran. Akan tetapi, populisme sendiri memiliki dampak buruk terhadap demokrasi. 

Laclau misalnya mengatakan bahwa pandangan politik pemimpin populis pada dikotomi antara ‘rakyat’, yang mereka wakili, dan ‘elite’ yang menentang mereka, membuat mereka sering mengkritisi tatanan konstitusional yang ada. Mereka menuding hal tersebut telah dimanfaatkan oleh para elite korup untuk mempertahankan kekuasaannya. Itulah sebabnya mengubah undang-undang dan konstitusi akan menjadi program politik pemimpin populis. 

Ketika tatanan konstitusional tersebut berhasil diubah, pemimpin populis berusaha memonopoli proses politik daripada mencari konsensus dengan oposisi dan elemen lama yang mereka anggap korup.

Sejalan dengan pandangan Andreas Ufen (2019) yang mengatakan bahwa agenda perubahan tatanan konstitusional menjadi penting dilakukan pemimpin populis untuk memperkuat daya cengkeraman mereka. Hal ini yang disebutnya sebagai penguraian sistem pengawasan dan perimbangan (check and balances) kepada lembaga lain, seperti Mahkamah Konstitusi.

Bagaimana di Indonesia?

Walaupun Mietzner menyebut bahwa dengan dipimpinnya Indonesia oleh Presiden Joko Widodo selaku populis teknokratik akan membawa dampak positif alih-alih membahayakan demokrasi, namun banyak catatan kepemimpinan Presiden Joko Widodo justru mengancam demokrasi itu sendiri. 

Misalnya, Abdurrachman Satrio (2018) yang menyebut beberapa kebijakan Presiden Joko Widodo yang membahayakan demokrasi seperti penerbitan Perppu Ormas untuk membubarkan HTI, menyetujui pengundangan revisi UU MPR, DPR, dan DPRD yang memuat pasal kontroversial mengenai langkah hukum yang dapat dilakukan untuk mengkriminalisasi orang/kelompok yang merendahkan martabat DPR, melakukan langkah represif terhadap pemimpin gerakan Islam dan gerakan oposisi #2019GantiPresiden, menyetujui presidential threshold dalam pengundangan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi, hingga menyetujui pengangkatan Hakim Konstitusi Arief Hidayat untuk periode kedua karena ia sempat terlibat kontroversi sebelum uji kepatutan dan kelayakan dengan bertemu beberapa anggota Komisi III DPR.

Baca juga :  Megawati Tumbangkan Pengaruh Jokowi-Anies

Hal yang selaras juga disampaikan oleh Thomas Power (2018), di mana ia malah menyebut Presiden Joko Widodo berbelok menjadi otoriter dengan memanipulasi institusi penegak hukum dan keamanan untuk kepentingan politik pragmatis dan membuat upaya sistematis untuk melemahkan dan merepresi oposisi politiknya dalam pemilihan presiden 2019.

Selain pendapat tersebut, penulis melihat isu yang tidak boleh dilupakan mengenai kaitan demokrasi dengan kepemimpinan figur populis di Indonesia adalah isu amandemen UUD 1945 untuk memperpanjang periode presiden dan perubahan kilat UU MK. 

Pertama, isu amendemen UUD 1945 mengenai perpanjangan periode presiden turut disuarakan oleh menteri-menteri Presiden Joko Widodo. Misalnya, Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia dan Menteri Koordinator Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan yang menyuarakan perpanjangan periode presiden sebagai salah satu aspirasi rakyat yang patut dipertimbangkan. 

Kendati Joko Widodo akhirnya menegaskan ketidakmauannya untuk memperpanjang periode jabatan, tetapi isu memperlihatkan adanya agenda perubahan konstitusi yang mengangkangi semangat demokratisasi yang dirawat oleh lingkaran istana. 

Kedua, perubahan UU MK yang terjadi di pertengahan 2020 menjadi kontroversial sebab prosesnya yang tidak masuk perencanaan program legislasi nasional, pembahasan secepat kilat dan tidak partisipatif, serta beberapa substansi dari perubahan UU MK yang sangat menunjukkan kepentingan politik pragmatis dari kekuasaan eksekutif dan legislatif karena berkutat pada penambahan usia minimal pencalonan hakim konstitusi dan penambahan masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi. Hal ini layaknya seperti transaksi politik untuk mengamankan agenda pemerintah dalam UU Cipta Kerja yang disahkan pasca perubahan UU MK mulai diberlakukan.

Kedua isu ini menjadi refleksi yang memunculkan alarm kehati-hatian bagi keberlangsungan demokrasi Indonesia di bawah pemimpin populis. Pertama, munculnya isu perpanjangan periode presiden dengan melakukan amendemen UUD 1945 yang dirawat oleh lingkaran istana malah menunjukkan agenda perubahan tatanan konstitusional yang biasa menjadi agenda pemimpin populis untuk memperkuat daya cengkeraman mereka. 

Kedua, kebijakan yang bertujuan untuk menguraikan sistem pengawasan dan perimbangan (check and balances) kepada Mahkamah Konstitusi dengan melakukan perubahan UU MK layaknya transaksi politik untuk mengamankan agenda di UU kontroversial lainnya.



Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Menyingkap Sportwashing dalam Laga Indonesia-Bahrain

Kontroversi ini perpanjang daftar kritik terhadap wasit dari Timur Tengah, di tengah dugaan bias dan pengaturan skor sepak bola internasional.

Unlike Jokowi, Prabowo Will Be His Own Man

More assertive foreign policy and democratic backsliding are most likely on the horizon as Prabowo Subianto becomes the next Indonesian president.

Fenomena Gunung Es “Fake Review”

Fenomena fake review kini banyak terjadi di jual-beli daring (online). Siapakah yang dirugikan? Konsumen, reviewer, atau pelaku usahakah yang terkena dampaknya? PinterPolitik.com Sejak berlangsungnya proliferasi internet...