Pandemi global Covid-19 telah menghantui banyak negara di Asia Tenggara dan Asia Selatan, termasuk Indonesia. Lantas, apakah Covid-19 ini memiliki dampak yang dapat ancam demokrasi di Asia?
Meskipun Asia Selatan dan Tenggara sudah mengalami kemunduran demokrasi, pandemi telah mempercepat penurunan tersebut. Kemunduran era COVID bahkan lebih menonjol karena wabah itu terjadi di negara demokrasi mapan seperti India dan Indonesia dan karena Asia Selatan dan Asia Tenggara telah menjadi dua wilayah paling bebas di kalangan negara-negara berkembang pada tahun 1990-an dan 2000-an. Pemimpin regional memanfaatkan pandemi untuk menekan kebebasan dengan beberapa cara.
Jadi Alasan Perkuat Kekuasaan?
Pemimpin politik di seluruh kawasan itu telah menggunakan ancaman virus sebagai kesempatan untuk memberlakukan undang-undang baru, dan terkadang menerbitkan perintah eksekutif, yang memperluas kewenangan mereka tanpa batas waktu yang jelas, mengurangi pemeriksaan birokrasi terhadap pemerintah, dan bahkan memberlakukan versi darurat militer. Pemerintah Thailand telah mengambil kekuasaan darurat yang memungkinkan pihak berwenang menangkap masyarakat hanya karena membuat pernyataan tentang COVID-19 yang bisa “memicu rasa takut” atau “menyesatkan publik.” Semua kategori ini begitu luas sehingga bisa mencakup hampir semua kritik terhadap Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha atau pejabat tinggi pemerintah lainnya.
Di Filipina, Duterte tidak hanya memberlakukan karantina wilayah (lockdown) yang keras dan tidak terencana dengan baik, tetapi juga mengambil kekuasaan darurat yang ekspansif, yang diberikan kepadanya oleh badan legislatif yang mematuhi perintahnya. Kekuasaan darurat itu mencakup kemampuan untuk melakukan penangkapan tanpa adanya surat perintah terhadap siapa pun yang diklaim “mencurigakan” oleh dewan yang ditunjuk pemerintah. Badan legislatif Filipina telah memperpanjang kekuasaan darurat Duterte, dan batasan waktunya pun sama sekali masih belum jelas.
Sampai saat ini, penolakan regional dari politisi oposisi dan masyarakat sipil terhadap perundang-undangan dan tindakan eksekutif terkait pandemi yang dapat semakin merusak demokrasi masih terbatas. Penolakan ini telah sebagian dibatasi oleh pembatasan pertemuan yang telah menghilangkan ruang untuk unjuk rasa publik, dan badan legislatif yang nyaris tidak berfungsi. Karantina wilayah secara keras yang dilakukan oleh Duterte di Filipina, misalnya, telah mencegah tanggapan publik yang signifikan atas perebutan kekuasaan yang dilakukannya.
Begitu pula dengan tanggapan kejam India terhadap pandemi telah membatasi oposisi terhadap tindakan Modi. Karantina wilayah yang diberlakukan dengan cepat oleh Modi pada bulan Maret – ketika masyarakat dilarang meninggalkan rumah mereka selama tiga minggu – menyebabkan kepanikan di antara banyak warga India. Jutaan orang bergegas melakukan perjalanan pulang ke kampung halaman mereka di berbagai penjuru negara itu sebelum pembatasan itu diberlakukan; setelah karantina wilayah diberlakukan, polisi menangkap dan menganiaya orang-orang yang tidak berada di rumah mereka.
Karena sedang berada dalam perjalanan, takut kehilangan kebutuhan dasar dan tanpa akses ke program jaring pengaman dasar seperti jatah makanan, dan menghadapi pemerintah yang semakin tidak toleran, hanya sedikit dari warga India yang terkena dampak ini yang memiliki waktu atau kemampuan untuk melawan kebijakan Modi. Meskipun para pekerja migran yang marah telah mengadakan demonstrasi sporadis menentang kerasnya kebijakan karantina wilayah, protes tersebut belum berkembang menjadi gerakan yang lebih besar.
Lebih dari itu, masyarakat yang takut akan virus Corona – terkadang menginginkan tindakan pembatasan yang kuat – pada awalnya cenderung mendukung pemimpin mereka. Masyarakat bersedia, karena alasan kesehatan masyarakat, untuk menoleransi pengawasan dan pembatasan terhadap kebebasan berkumpul yang lebih besar. Bahkan, negara demokrasi maju seperti Korea Selatan telah menggunakan pelacakan ponsel untuk pelacakan kontak, dan negara-negara kaya seperti Selandia Baru telah menerapkan penutupan akses menyeluruh yang ketat, meskipun dengan batas waktu dan tanpa mencabut kebebasan berbicara dan hak-hak lainnya.
Ketakutan akan virus juga dapat menumbuhkan keinginan publik akan pemerintahan yang kuat, bahkan autokrasi, terutama di tempat-tempat yang penduduknya percaya bahwa demokrasi yang baru lahir tidak membantu meningkatkan standar hidup atau memerangi korupsi dan tidak efektif dalam menanggapi COVID-19. Di Indonesia, misalnya, survei yang dilakukan oleh Indikator Politik Indonesia menemukan penurunan dukungan publik terhadap demokrasi tahun ini – penurunan yang sebagian disebabkan oleh sentimen publik bahwa pemimpin yang dipilih secara demokratis di Indonesia telah menangani tanggapan pandemi dengan buruk.
Oposisi Dipinggirkan, Kontrol Diperkuat?
Pemimpin di rezim hibrida dan negara demokrasi paling kuat di Asia Selatan dan Tenggara juga termasuk di antara pemimpin yang paling agresif di dunia dalam menggunakan COVID-19 untuk meminggirkan partai politik oposisi dan masyarakat sipil serta memusatkan kendali politik di dalam badan legislatif dan struktur pemerintahan lainnya.
Di Malaysia, setelah pertikaian dalam koalisi yang berkuasa yang pada tahun 2018 berhasil mengalahkan partai Organisasi Nasional Melayu Bersatu (United Malays National Organization – UMNO) yang telah lama mendominasi kekuasaan, Yang Dipertuan Agung Malaysia pada Maret lalu mencalonkan perdana menteri baru, Muhyiddin Yassin. Muhyiddin membentuk pemerintahan terutama dengan dukungan dari UMNO.
Pemerintahan Muhyiddin yang memegang mayoritas tipis di badan legislatif telah berulang kali mencegah pelaksanaan sidang parlemen dengan alasan pandemi. Pertemuan parlemen yang tidak teratur itu telah membatasi platform publik yang paling terlihat dari para pemimpin oposisi. Membatasi parlemen juga mencegah dilaksanakannya pemungutan suara untuk mosi tidak percaya dan pembelotan dari koalisi Muhyiddin.
Pemerintah juga telah mencabut tuntutan pidana terhadap sejumlah tokoh UMNO yang diduga terkait dengan skandal keuangan masif 1Malaysia Development Berhad (1MDB) dan menempatkan banyak sekutu UMNO di posisi kepemimpinan berbagai badan usaha milik negara. (Mantan perdana menteri dan pendukung UMNO Najib Razak dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman hingga dua belas tahun penjara karena perannya dalam skandal 1MDB.) Ketika pemimpin oposisi Anwar Ibrahim mencoba untuk menentang pemerintah Muhyiddin, mengatakan bahwa dia dan bukan perdana menteri sekarang yang mendapatkan dukungan mayoritas di majelis rendah parlemen, Yang Dipertuan Agung Malaysia mungkin menunjukkan keinginannya untuk mempertahankan kekuasaan Muhyiddin dengan menolak untuk mendukung upaya Anwar.
Di Asia Selatan, pemerintah juga telah menindak tegas pihak oposisi dan memperkuat kendali mereka terhadap badan legislatif. Pemerintah Bangladesh telah menahan lawan politik dan pemimpin masyarakat sipil yang telah mengkritik tanggapan pandemi Dhaka, sering kali menggunakan Undang-Undang Keamanan Digital yang keras, yang memberi pihak berwenang kekuasaan luas untuk menangkap orang yang membuat pernyataan secara online.
Berdasarkan undang-undang itu, siapa pun di Bangladesh dapat ditangkap karena unggahan yang terkait dengan “pandemi virus Corona yang berdampak negatif pada citra negara” atau unggahan yang “menyebabkan situasi keamanan dan ketertiban masyarakat memburuk,” kategori yang dapat mencakup berbagai macam komentar dan liputan berita.
Di Pakistan, pemerintah telah menindak tegas perbedaan pendapat dan memberikan kendali ekstensif kepada militer atas tanggapan pandemi. Pemerintah Sri Lanka telah menggunakan intelijen militer untuk mengumpulkan data dari banyak warga Sri Lanka—yang tampaknya juga merupakan sarana intimidasi—dan meningkatkan pembatasan terhadap oposisi politik.
Dan pemerintah Modi dalam beberapa bulan terakhir menangkap banyak aktivis oposisi, beberapa di antaranya pada awal tahun 2020 memimpin protes terhadap undang-undang kewarganegaraan baru yang mereka anggap mendiskriminasi Muslim. Aktivis oposisi, banyak di antaranya telah ditangkap karena melanggar undang-undang penghasutan dan anti-terorisme, mengklaim bahwa mereka memiliki sedikit akses ke penasihat hukum atau kemampuan untuk menggugat pembatasan yang diberlakukan karena alasan pandemi COVID-19 begitu pihak berwenang menahan mereka.
Bahkan di Indonesia, negara demokrasi paling terkonsolidasi di Asia Tenggara, pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah mengarah ke autokrasi selama berjangkitnya pandemi, sebagian dengan membatasi ruang gerak masyarakat sipil. Ketika Jokowi berjuang keras untuk mengatasi krisis dan berselisih dengan gubernur provinsi, pemerintah pusat telah memberlakukan pembatasan baru yang ekstensif pada kebebasan berbicara.
Polri, misalnya, telah menerapkan prosedur baru yang memungkinkan mereka mengajukan tuntutan terhadap orang-orang yang mengkritik tanggapan COVID-19 yang dilakukan oleh presiden atau pejabat pemerintah lainnya. Polri telah menangkap banyak kritikus, termasuk beberapa aktivis terkemuka.
Disinformasi Merajalela
Banyak pemimpin regional juga telah menyebarkan disinformasi tentang COVID-19 untuk mengaburkan kegagalan mereka dalam membendung pandemi dan memperkuat kekuasaan mereka. Di India, misalnya, pemerintahan Perdana Menteri Modi, yang telah memicu perpecahan budaya dan agama sejak pertama kali dilantik pada tahun 2014 telah memanfaatkan pandemi tersebut untuk lebih memicu perselisihan, sebagian dengan menyebarkan kebohongan tentang kelompok minoritas.
Pejabat tinggi Partai Bharatiya Janata (Bharatiya Janata Party – BJP) yang berkuasa telah berulang kali mengambinghitamkan Muslim, Dalit, dan minoritas lainnya sebagai penyebar COVID-19 meskipun tidak ada bukti ilmiah untuk mendukung klaim ini. (Yang pasti, gerakan dakwah Jemaat Tabligh mengadakan pertemuan besar di Delhi pada awal pandemi, dan pertemuan itu menjadi acara penyebar super awal, tetapi pejabat BJP dan media kemudian mulai mengambinghitamkan semua Muslim sebagai penyebar virus. )
Stigmatisasi melalui disinformasi ini, dan iklim yang sudah beracun bagi minoritas di bawah pemerintahan Modi, telah menyebabkan lonjakan kekerasan terhadap Muslim sejak pandemi melanda. Stigmatisasi ini juga telah memberi pemerintahan Modi kesempatan untuk menindak tegas aktivis masyarakat sipil Muslim sehingga mengakibatkan dilaporkannya ribuan penangkapan dengan kedok mengendalikan wabah.
Negara-negara autokrasi terkemuka di luar Asia Selatan dan Tenggara telah mendukung disinformasi ini. Dalam beberapa bulan terakhir, Beijing telah meningkatkan penggunaan informasi dan disinformasinya untuk menyerang kebijakan COVID-19 yang dilakukan oleh negara-negara demokrasi dan mempromosikan pendekatannya sendiri terhadap virus itu.
Klaim bahwa negara otoriter telah bekerja dengan lebih baik dalam menangani COVID-19 tidak benar adanya: Tidak ada studi sistemis yang menunjukkan bahwa autokrasi memiliki kaitan dengan pengendalian pandemi. Tiongkok, Thailand, dan Vietnam, tiga negara yang sangat represif di Asia Timur, telah mengembangkan kebijakan pandemi yang sangat efektif.
Vietnam, sebuah negara berpenghasilan menengah ke bawah dengan populasi hampir sembilan puluh lima juta jiwa dan kota-kota yang padat penduduknya, telah mengalami sekitar 1.100 kasus dan 35 kematian yang dilaporkan. Sebagai perbandingan, Amerika Serikat, dengan jumlah penduduk sekitar 3,5 kali populasi Vietnam, memiliki sekitar 7,7 juta kasus dan sekitar 214.000 kematian.
Namun, banyak negara autokrasi, termasuk Iran dan Rusia, gagal membendung COVID-19. Sementara itu, negara-negara demokrasi seperti Jerman, Selandia Baru, dan Korea Selatan berhasil memerangi virus tersebut.
Tulisan milik Joshua Kurlantzick, anggota senior di Council on Foreign Relations (CFR).
Tulisan ini disunting dari tulisan asli bertajuk Addressing the Effect of COVID-19 on Democracy in South and Southeast Asia atas seizin penulis. Isi tulisan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.