HomeRuang PublikPenguatan Kerjasama Keamanan Indonesia-AS

Penguatan Kerjasama Keamanan Indonesia-AS

Oleh: Joshua Kurlantzick, dosen senior the Council of Foreign Relations (CFR).

Ada beberapa hal yang perlu dilakukan agar kerjasama keamanan Indonesia-AS tetap langgeng.


PinterPolitik.com

[dropcap]P[/dropcap]ada tulisan sebelumnya, telah dijelaskan bahwa dengan menjaga kepentingan keamanan bersama antara Indonesia dan AS, akan mampu memperkuat Pemerintahan Presiden AS, Donald J. Trump. Terutama karena saat ini negara-negara di Asia Tenggara tengah menghadapi tiga ancaman yang datang bersamaan.

Selain ancaman berkembangnya militansi Negara Islam akibat sebaran pejuang militan dari Timur Tengah yang kembali ke negaranya atau membangun pangkalan Negara Islam yang baru, Asia Tenggara juga kini tengah berhadapan dengan merebaknya perselisihan militerisasi di Kawasan Laut Cina Selatan, serta kembali maraknya pembajakan di wilayah perairan.

Walaupun sengketa di Kawasan Laut Cina Selatan telah meningkat dengan mulai agresifnya peningkatan aktivitas militer antara Beijing dan Washington. Namun Indonesia sebagai negara yang memiliki pengaruh besar di ASEAN, sebenarnya memiliki posisi strategis yang mampu menjadi penengah dan pereda ketegangan di kawasan tersebut.

Di sisi lain, walau Jokowi telah berkomitmen untuk memerangi terorisme dari militansi Negara Islam dan pembajakan, namun hingga kini masih mengalami kesulitan untuk mengatasi ancaman non tradisional tersebut. Oleh karena itu, ada baiknya bila Washington, Jakarta, Australia, serta kekuatan regional lainnya, mengambil langkah-langkah berikut ini:

Menghadapi Tantangan di Laut Cina Selatan

  • AS seharusnya meningkatkan pendanaan program Pelatihan Militer dan Pendidikan Internasional bagi TNI, setidaknya 50 persen lebih banyak dari saat ini (sekitar 2,4 juta dollar AS per tahun) demi memperkuat sentimen pro-AS. TNI telah mendapatkan manfaat ini sejak tahun 2000-an, dengan mempertimbangkan kembalinya kepatuhan Jakarta terhadap politik yang tidak berpihak dan keamanan maritim yang pasif.
  • AS dapat mendorong Indonesia melakukan operasi kebebasan navigasi dengan Australia di Laut Cina Selatan. Sebab Indonesia dan Australia tak mungkin menantang serta memicu amarah Tiongkok dengan berpatroli kebebasan navigasi (freedom of navigation operations/FONOP) bersama AS. Sebenarnya Februari 2017 lalu, Jokowi pernah mengutarakan gagasan tersebut secara terbuka, namun ditolak Australia.
  • AS dapat menawarkan pelatihan bersama dengan Indonesia di perairan dekat Kepulauan Natuna. Sebelumnya, AS telah melakukan latihan bersama di Laut Cina Selatan dengan mitra regional lainnya, untuk menunjukkan kalau tidak hanya AS, tapi juga Australia, India, Jepang, dan negara Asia Tenggara yang akan memperjuangkan kebebasan navigasi di perairan tersebut. Bila Indonesia dan AS melakukan latihan militer bersama di Perairan Natuna, akan menunjukkan pada Tiongkok kalau Indonesia tidak lagi mengadopsi pendekatan pasif terhadap masalah Laut Cina Selatan.
  • AS seharusnya mendorong Indonesia meningkatkan belanja pertahanannya, serta mendorong Jokowi untuk memuktahirkan peralatan Angkatan Laut dan Udara Indonesia. AS dapat meningkatkan penjualan kapal maritim yang lebih besar, pesawat baru, dan kapal penjaga pantai demi memperkuat pasukan maritim yang bertugas melindungi wilayah perairan. Terutama Indonesia tidak memiliki basis musuh yang nyata di daratan.
  • AS sebaiknya mendorong Indonesia untuk memimpin dan memfasilitasi ASEAN terkait pedoman perilaku di Laut Cina Selatan. AS juga dapat mendorong Jokowi untuk menggunakan pertemuan-pertemuan ASEAN demi menyoroti keputusan Den Haag 2016 atas klaim teritorial di Laut Cina Selatan.
  • AS dan Indonesia dapat mengadakan dialog strategis tingkat menteri yang difokuskan pada masalah Laut Cina Selatan yang belum dilakukan oleh Presiden Trump. Kedua negara dapat menggunakan dialog tersebut untuk menentukan langkah kerjasama bilateral, seperti meningkatkan dukungan terhadap AS dalam menghadapi ancaman di Kawasan Asia Tenggara.
Baca juga :  Trump Selalu dalam Kendali Putin?

Memerangi Militansi Negara Islam

  • AS dan Indonesia dapat memberlakukan langkah-langkah yang lebih agresif untuk menemukan, melacak, dan memeriksa para militansi Negara Islam yang ada di tanah air. Sayangnya, hingga kini Pemerintah – dalam hal ini Kepolisian, kurang ketat dalam menetapkan program formal yang mampu mengawasi para militan ISIS yang kembali.
  • Pemerintah AS dapat memberikan bantuan dana untuk program re-integrasi mereka agar mampu berbaur kembali secara damai dengan masyarakat, dan menempatkan mereka pada Daftar Orang Dengan Pengawasan Khusus (specially designated nationals) dan Daftar Orang yang Diblokir (blocked persons).
  • AS dapat membentuk pasukan atau petugas permanen khusus untuk memimpin pelatihan bagi Kepolisian Indonesia, sehingga memiliki pengalaman serta ketrampilan dalam memberantas jaringan teroris.
  • AS dapat mendesak Indonesia untuk bergabung dalam Koalisi Global yang dipimpin AS demi mengalahkan ISIS. Kerjasama ini akan memberi akses lebih bagi intelijen Indonesia, terutama terkait ancaman Negara Islam di Mindanau, Filipina.
  • Indonesia, Malaysia, dan Filipina dapat melakukan patroli Angkatan Laut dan Penjaga Pantai bersama di Laut Sulu-Celebes setiap bulannya. AS akan bergabung untuk ikut memburu para militansi, sebab perairan tersebut kerap digunakan para perompak maupun militansi untuk melakukan kejahatan Trans-Nasional. Mei 2016, Indonesia setuju melakukan patroli bersama, sayangnya patroli tidak dilakukan secara teratur.
  • Sebagai Presiden, Jokowi seharusnya bisa menggalang dukungan publik dalam melawan radikalisme, baik yang menggunakan kekerasan maupun tidak. Sebab bila menggunakan langkah retorik dapat memicu kemarahan kelompok-kelompok Islam di Indonesia, seperti kelompok yang berunjuk rasa menentang Ahok. Apalagi berdasarkan jajak pendapat, 90 persen rakyat tidak mendukung adanya Negara Islam.
  • Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pernah menggunakan ketidakpopuleran kelompok radikal, popularitas kelompok tradisional, serta pendekatan demokrasi yang moderat demi menggalang dukungan publik. Jokowi sebenarnya juga dapat menggunakan platform ini dalam meraih dukungan. Meski begitu, deklarasi dukungan Jokowi atas Indonesia yang pluralistik juga merupakan awal yang baik.
  • Jokowi seharusnya meyakinkan pemilih religius kalau ia tidak bermaksud menganggu partisipasi agama bila menggunakan politik yang damai, sehingga tercipta kesan kalau sikap kerasnya terhadap radikalisme bertujuan untuk mendukung hak beragama dan organisasi Muslim Nusantara.

Menumpas Pembajakan

  • Bersama Indonesia, AS ikut melakukan patroli di Laut Sulu-Celebes sambil memberi pelatihan anti-pembajakan. Apalagi Juli 2017 lalu, Angkatan Laut AS juga melakukan patroli bersama Pasukan Filipina di Laut Sulu. Patroli secara multilateral akan memberi AS porsi yang lebih besar dalam keterlibatannya di Perairan Sulu, apalagi bila ikut terlibat pula dalam patroli udara saat mengidentifikasi kapal bajak laut.
  • Baik AS, Indonesia, Malaysia, maupun Filipina, seharusnya mampu memfasilitasi pengejaran darurat para perompak dan militan di kawasan perairan menggunakan patroli laut gabungan di Laut Sulu-Celebes. Bantuan AS diharapkan akan mampu mempermudah pelacakan para bajak laut (atau kelompok hibrit bajak laut dan militer), terutama di saat terjadi pengejaran darurat yang melibatkan teritorial negara lain.
Baca juga :  Mampukah Prabowo Make Indonesia Great Again? 

Perkuat Hubungan Strategis

Apabila Indonesia dan AS menjalin hubungan strategis yang menghindari ilusi dan berfokus pada tiga sasaran keamanan terpisah, yaitu meningkatkan pertahanan di Laut Cina Selatan, memerangi militansi Negara Islam, menumpas pembajakan, dan kejahatan trans-nasional lainnya di Asia Tenggara, maka tak hanya akan meningkatkan keamanan regional tapi juga memajukan kepentingan kedua negara.

Pemerintah Indonesia dapat mengambil posisi lebih kuat di Laut Cina Selatan, serta dapat mendorong ASEAN untuk menempatkan posisi yang lebih terpadu dan secara keseluruhan pada sengketa di Laut Cina Selatan. Sebab dalam beberapa tahun terakhir, ASEAN telah gagal mencapai konsensus mengenai strategi yang akan dilakukan terhadap Laut Cina Selatan.

Posisi Indonesia yang lebih kuat tentunya akan dapat meyakinkan negara Asia Tenggara lainnya, seperti Malaysia dan Filipina untuk bergabung melalui pendekatan yang terpadu. Di sisi lain, komitmen Jakarta untuk memerangi Negara Islam dan pembajakan pun, akan semakin memacu pendanaan demi memerangi kelompok-kelompok militan tersebut.

Dengan adanya komitmen bersama ini, Indonesia tak hanya menjadi lebih aman, tapi juga dapat membantu mengungkap sel-sel militan Negara Islam, baik di Australia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan negara mitra AS lainnya. Komitmen ini tentu mewajibkan Indonesia untuk meningkatkan jaringan intelijennya dan membagi lebih banyak informasi dengan negara-negara kawasan.

Bila komitmen bersama ini telah terbentuk, para elit di Washington maupun di Jakarta dapat menggalang kembali hubungan yang berfokus pada keamanan kedua negara, serta memastikan upaya agar hubungan ekonomi dipastikan tidak akan memburuk. Di sisi berbeda, AS juga perlu mengakui kalau Indonesia merupakan negara dengan perekonomian terbesar di Asia Tenggara.

Pengakuan ini juga harus diimplementasikan melalui strategi jangka panjang AS terhadap Asia Tenggara, terutama Indonesia yang potensi pasar terbesarnya belum dimanfaatkan dengan baik oleh perusahaan-perusahaan AS di Asia Tenggara. Padahal dengan jumlah penduduknya yang banyak, Indonesia masih memiliki potensi yang sangat besar bagi para investor asing.

Pada akhirnya, diharapkan terciptanya hubungan yang baik antara Indonesia dan AS akan menjadi aset tersendiri, jika hubungan Washington dengan negara-negara mayoritas Muslim lainnya terancam akibat pergeseran kebijakan imigrasi AS. Hubungan produktif yang dimiliki AS dengan negara Muslim terbesar di dunia ini, akan dapat membantu mengurangi citra buruk akibat kebijakan yang sebenarnya bertujuan untuk mempersempit masuknya militansi ke AS tersebut.

Diterjemahkan dari tulisan Joshua Kurlantzick berjudul Keeping the U.S.-Indonesia Relationship Moving Forward. Copyright © 2018 by the Council on Foreign Relations. Dipublikasikan ulang dengan persetujuan penulis.


“Disclaimer: Opini ini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.”
spot_imgspot_img

#Trending Article

Jokowi dan Misteri “Kepunahan” Kelas Menengah 

Perbincangan seputar berkurangnya kelas ekonomi menengah Indonesia belakangan tengah ramai. Mengapa hal ini bisa terjadi? Mungkinkah ada kesalahan sistemik di baliknya? 

Creative Destruction Efisiensi Prabowo

Efisiensi anggaran negara yang tengah didorong Presiden Prabowo nyatanya mendapatkan gejolak dan tentangan.

Balada Rakyat Ekonomis dan Pejabat Hedonis

Pameran kemewahan pejabat, seperti patwal Raffi Ahmad, perdalam kecemburuan rakyat. Mengapa ini perlu jadi perhatian pemerintahan Prabowo?

Why Always Bahlil?

Upaya penertiban dan penataan subsidi LPG 3 Kg entah kenapa malah jadi resistensi dan mengarah langsung ke Menteri ESDM Bahlil Lahadalia. Padahal, terlepas dari eksekusi di awal yang harus diakui kurang rapi, kebijakan tak populer ini memiliki esensi sangat positif. Hal itu memantik interpretasi mengenai “perlawanan” kuat yang bisa saja terorkestrasi. Benarkah demikian?

IKN House Has Fallen!

Pemblokiran anggaran IKN Nusantara lemahkan pengaruh Jokowi, membuka peluang bagi Megawati untuk perkuat posisinya dalam politik Prabowo.

Ini Jurus Rahasia Trump “Perkasakan” Amerika? 

Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump berniat mendirikan sovereign wealth fund (SWF). Keputusan ini dinilai jadi keputusan yang sangat besar dan berdampak ke seluruh dunia, mengapa demikian? 

Prabowo dan The Intra-Elite Enemy

Masalah penataan distribusi gas LPG 3 kilogram menjadi sorotan terbaru publik pada pemerintahan Prabowo.

Prabowo Ditantang Memecat PNS?

Diskursus efisiensi anggaran negara turut mengarah pada peringkasan jumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang gaungnya telah lama terdengar. Ihwal yang tak kunjung terealisasi dan berubah menjadi semacam “mitos”. Beberapa sampel di negara lain seperti Argentina, Amerika Serikat, hingga Singapura kiranya dapat menjadi refleksi. Lalu, mampukah Presiden Prabowo mendobrak mitos tersebut?

More Stories

Ini Strategi Putin Meraih Stabilisasi?

Oleh: Muhammad Ferdiansyah, Shafanissa Arisanti Prawidya, Yoseph Januar Tedi PinterPolitik.com Dalam dua dekade terakhir, nama Vladimir Putin telah identik dengan perpolitikan di Rusia. Sejak periode awal...

Pesta Demokrasi? Mengkritisi Pandangan Pemilu

Oleh: Noki Dwi Nugroho PinterPolitik.com Sejak kemerdekaannya pada Agustus 1945, pendiri bangsa Indonesia berkonsensus untuk menjadikan wilayah bekas jajahan Kerajaan Belanda yang bernama Hindia Belanda ini...

Menguak Kabinet Obesitas Prabowo-Gibran

Oleh: Bayu Nugroho PinterPolitik.com Hal menarik  ketika adanya pengumuman kabinet pemerintahan Prabowo – Gibran adalah komposisinya yang sangat jumbo atau lebih tepatnya obesitas. Pemaknaan obesitas tersebut...