HomePolitikKenaikan BPJS di Era Corona

Kenaikan BPJS di Era Corona

Oleh Ricky Donny Lamhot Marpaung, Alumnus Fakultas Hukum Universitas Trisakti dan Pemerhati Hukum Tata Negara

Kecil Besar

Kenaikan iuran BPJS Kesehatan di tengah pandemi virus Corona (Covid-19) dinilai tidak tepat dan tidak sensistif terhadap kondisi masyarakat. Padahal, keselamatan rakyat adalah hukum yang tertinggi.


PinterPolitik.com

Dengan beredarnya berbagai undang-undang (UU) yang kontroversial di tengah pandemi โ€“ seperti Perppu No. 1 Tahun 2020, Perppu No. 2 Tahun 2020, RUU Minerba, dan yang paling fenomenal Peraturan Presiden (Perpres) No. 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Perpres No. 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, munculnya kembali Perpres ini seakan menambah daftar panjang kebijakan yang terlihat kurang pro-rakyat. Hal ini menjadi salah satu contoh betapa pemerintah seharusnya memperhatikan banyak aspek di tengah pandemi Covid-19 dikarenakan berbagai sektor termasuk yang terpenting sektor kesehatan dan ekonomi.

Sektor kesehatan menjadi yang utama dalam hal penanganan pandemi ini baik itu PSBB, karantina wilayah, dan mematuhi anjuran pemerintah lainnya, seperti social distancing, phsyical distancing, penggunaan masker, dan hand sanitizer. Namun, di sisi lain, sektor ekonomi juga tidak kalah penting, baik itu pembagian bansos, bantuan langsung tunai, hingga kartu pra kerja.

Akan tetapi, fokus kepada iuran BPJS menjadi hal yang tidak kalah memprihatinkan. Putusan sebelumnya yang tercantum pada 1 April dibatalkan dengan putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 7P/HUM/2020. Menyoal putusan tersebut, pemerintah yang diwakili Menteri Koordinator (Menko) Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy pada waktu itu sangat menghormati putusan MA.

Bahkan, sesuai prinsipnya, pemerintah ingin agar keberlangsungan Jaminan Kesehatan Nasional atau JKN terjamin dan layanan kesehatan terpenuhi serta dapat diberikan sebagai bentuk negara hadir. Berdasarkan keputusan Mahkamah Agung (MA), iuran BPJS Kesehatan yang sejak Januari lalu naik kembali ke tarif semula dari kenaikan iuran yang ada.

Kenaikan ini berlaku bagi Peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Peserta Bukan Pekerja (BP) di mana kelas III dari Rp 42.000 kembali menjadi Rp 25.500, kelas II dari Rp 110.000 menjadi Rp 51.000, dan kelas I semula Rp 160.000 menjadi Rp 80.000. Tentu, hal ini lebih berpihak kepada rakyat kelas yang berpenghasilan rendah terutama pengguna kartu BPJS di kelas III.

Kajian Perpres No. 64 Tahun 2020

Dalam pasal Perpres tersebut, dijelaskan bahwa kenaikan iuran terjadi di kelas I dan II mandiri. Hal ini akan dimulai pada Juli 2020. Selain itu, dalam pasal 34 juga dijelaskan mengenai perubahan subsidi oleh pemerintah.

Untuk di tahun 2020, subsidi bagi kelas III mandiri hanya Rp 16.500 sementara di tahun 2021 subsidinya bahkan lebih kecil senilai Rp 7.000. Adapun besaran denda adalah lima persen dari perkiraan biaya paket Indonesian Case Based Groups berdasarkana prosedur awal untuk setiap iuran per bulan yang tertunggak dengan ketentuan dari jumlah bulan tertunggak paling banyak 12 bulan.

Besar denda paling tinggi adalah sebesar Rp 30.000.000. Sementara itu, untuk tahun 2020, denda hanya dibebankan sebesar 2,5 persen saja dengan ketentuan yang sama. Menyoal besaran denda yang cukup besar bagi pengguna kartu BPJS kelas III, tentu ini menjadi pekerjaan rumah pemerintah agar mengevaluasi dan mengkaji apakah sudah tepat sasaran denda yang diberikan kepada masyarakat berpenghasilan rendah.

Padahal putusan MA tentang iuran BPJS tersebut bersifat final dan mengikat (binding). Ada empat poin dimana kenaikan iuran BPJS ini tidak terlalu penting dinaikkan dimasa pandemi ini.

Pertama, pasal 31 UU No 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung di mana tafsirannya bahwa peraturan perundang-undangan yang dinyatakan tidak sah karena tidak memiliki kekuatan mengikat. Peraturan perundang-undangan yang dibatalkan berarti tidak dapat digunakan lagi.

Kedua, jika sudah dibatalkan, tidak boleh dibuat lagi karena substansinya dalam konteks ini, yaitu kenaikan iuran. Ketiga, dengan dikeluarkannya Perpres No 64 Tahun 2020 akan mengurangi tingkat kepercayaan atau level of trust masyarakat kepada pemerintah. Alih-alih mengikuti putusan MA, pemerintah malah kembali menaikkan iuran BPJS dengan eskalasi yang lebih besar.

Perpres No. 64 Tahun 2020 akan kembali menuai kontroversi karena diuji kedua kalinya di MA melalui mekanisme judicial review. Masyarakat tentu akan menanti konsistensi MA dalam mengeluarkan putusan tersebut.

Lebih jauh lagi, ini akan menjadi preseden buruk bagi pemerintah ditengah gejolak pandemi. Keempat, kenaikan iuran BPJS belum dapat menyelesaikan masalah defisit keuangan BPJS Kesehatan.

Ketidaktepatan Kalkulasi

Kenaikan iuran ini dipercaya tidak melalui kalkulasi yang tepat terhadap neraca keuangan BPJS pasca adanya kenaikan yang cukup signifikan. Muncul dugaan bahwa kenaikan iuran ini hanya menyelesaikan persoalan defisit neraca BPJS Kesehatan sementara saja tanpa adanya proses yang detail dan komprehensif dilakukan berdasarkan kesanggupan data pengguna BPJS Kesehatan.

Bilamana iuran naik, maka kelas I dan II bisa saja berpindah ke kelas III dan orang enggan untuk membayar iuran. Bahkan, diprediksi banyak orang tidak mau menjadi peserta mandiri.

Hal ini akan berpengaruh terhadap kolektivitas dan pendapatan BPJS Kesehatan. Berkaca kepada pengalaman sebelumnya, seharusnya pemerintah hanya fokus kepada penanganan pandemi Covid-19 dengan memutar otak untuk mencegah terjadinya siklus ekonomi yang lebih buruk.

Seolah ini menjadi pertanyaan besar mengenai kebermanfaatan dari adanya kenaikan iuran BPJS. Oleh karena itu, isu iuran BPJS menjadi barang yang mahal ditengah pandemi Covid-19. Rasanya agak bertentangan dengan prinsip bahwa faktor kesehatan dan faktor ekonomi merupakan garda terdepan dalam hal penanganan di era pandemi.

Melihat kenaikan iuran BPJS, pemerintah haruslah memikirkan prioritas dan mana yang bukan prioritas apalagi masyarakat merasa berkeberatan menyoal besaran iuran BPJS  yang tidak sesuai dengan krisis ekonomi ditengah pandemi yang belum tahu kapan selesainya. Tentu, hal ini harus memenuhi unsur adagium โ€œsalus populi suprema lex estoโ€ atau keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi.

Tulisan milik Ricky Donny Lamhot Marpaung, Alumnus Fakultas Hukum Universitas Trisakti dan Pemerhati Hukum Tata Negara.

โ€œDisclaimer: Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.โ€

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Prabowo & Trump Alami โ€œWarisanโ€ yang Sama?

Kebijakan tarif perdagangan Amerika Serikat (AS) jadi sorotan dunia. Mungkinkah ada intrik mendalam yang akhirnya membuat AS terpaksa ambil langkah ini?

Didit The Peace Ambassador?

Safari putra Presiden Prabowo Subianto, Ragowo Hediprasetyo Djojohadikusumo atau Didit, ke tiga presiden RI terdahulu sangat menarik dalam dinamika politik terkini. Terlebih, dalam konteks yang akan sangat menentukan relasi Presiden Prabowo, Joko Widodo (Jokowi), dan Megawati Soekarnoputri. Mengapa demikian?

Prabowo Lost in Translation

Komunikasi pemerintahan Prabowo dinilai kacau dan amburadul. Baik Prabowo maupun para pembantunya dianggap tak cermat dalam melemparkan tanggapan dan jawaban atas isu tertentu kepada publik, sehingga gampang dipelintir dan dijadikan bahan kritik.

2029 Anies Fade Away atau Menyala?

Ekspektasi terhadap Anies Baswedan tampak masih eksis, terlebih dalam konteks respons, telaah, dan positioning kebijakan pemerintah. Respons dan manuver Anies pun bukan tidak mungkin menjadi kepingan yang akan membentuk skenario menuju pencalonannya di Pilpres 2029.

The Pig Head in Tempo

Teror kepala babi dan bangkai tikus jadi bentuk ancaman kepada kerja-kerja jurnalisme. Sebagai pilar ke-4 demokrasi, sudah selayaknya jurnalisme beroperasi dalam kondisi yang bebas dari tekanan.

PDIP Terpaksa โ€œTundukโ€ Kepada Jokowi?

PDIP melalui Puan Maharani dan Joko Widodo (Jokowi) tampak menunjukan relasi yang baik-baik saja setelah bertemu di agenda Ramadan Partai NasDem kemarin (21/3). Intrik elite PDIP seperti Deddy Sitorus, dengan Jokowi sebelumnya seolah seperti drama semata saat berkaca pada manuver PDIP yang diharapkan menjadi penyeimbang pemerintah tetapi justru bersikap sebaliknya. Lalu, kemana sebenarnya arah politik PDIP? Apakah akhirnya secara tak langsung PDIP akan โ€œtundukโ€ kepada Jokowi?

The Irreplaceable Luhut B. Pandjaitan? 

Di era kepresidenan Joko Widodo (Jokowi), Luhut Binsar Pandjaitan terlihat jadi orang yang diandalkan untuk jadi komunikator setiap kali ada isu genting. Mungkinkah Presiden Prabowo Subianto juga memerlukan sosok seperti Luhut? 

The Danger Lies in Sri Mulyani?

IHSG anjlok. Sementara APBN defisit hingga Rp31 triliun di awal tahun.

More Stories

Ini Strategi Putin Meraih Stabilisasi?

Oleh: Muhammad Ferdiansyah, Shafanissa Arisanti Prawidya, Yoseph Januar Tedi PinterPolitik.com Dalam dua dekade terakhir, nama Vladimir Putin telah identik dengan perpolitikan di Rusia. Sejak periode awal...

Pesta Demokrasi? Mengkritisi Pandangan Pemilu

Oleh: Noki Dwi Nugroho PinterPolitik.com Sejak kemerdekaannya pada Agustus 1945, pendiri bangsa Indonesia berkonsensus untuk menjadikan wilayah bekas jajahan Kerajaan Belanda yang bernama Hindia Belanda ini...

Menguak Kabinet Obesitas Prabowo-Gibran

Oleh: Bayu Nugroho PinterPolitik.com Hal menarik  ketika adanya pengumuman kabinet pemerintahan Prabowo โ€“ Gibran adalah komposisinya yang sangat jumbo atau lebih tepatnya obesitas. Pemaknaan obesitas tersebut...