Konflik yang terjadi di Desa Wadas, Jawa Tengah, sempat menjadi buah bibir di masyarakat. Namun, akankah ini menjadi buah bibir yang perlu dibahas oleh para politisi – khususnya mereka yang dulu pernah menyandang label aktivis?
Luar biasa memang era digital, banyak sekali video yang menggambarkan kekejaman aparat keamanan (kepolisian) terhadap warga Desa Wadas di Purworejo, bisa tersebar begitu rupa, sehingga hampir seluruh Indonesia bisa menontonnya. Warga desa Wadas melawan untuk mempertanahkan tanahnya yang ingin diambil alih oleh pemerintah supaya bisa ditambang batu andesit yang ada di tanah itu untuk dijadikan bahan baku pembangunan bendungan Bener, Purworejo.
Beda sekali dengan zaman Orde Baru dulu, ketika warga beberapa desa menolak wilayah desanya dijadikan Waduk Kedung Ombo oleh Rezim Orde Baru, sebagai bagian dari program yang didanai oleh Bank Dunia. Saat itu, ketika desa-desa para warga tersebut dibanjiri air dengan sengaja oleh Rezim Orde Baru, atau sekitar tahun 1989, pemberitaan tidak begitu gencar – hanya segelintir media yang berani memberitakannya.
Pada masa itu saya masih kelas 5 SD (Sekolah Dasar). Akan tetapi, saya baru tahu kejadian itu sekitar beberapa tahun kemudian, dari lembaran majalah Tempo milik ayah saya yang saya sering baca diam-diam tanpa sepengetahuan beliau (maafkan anakmu yang nakal ini ya, Pa).
Saat membaca, saya hanya bisa heran, dan sedikit bergidik, saya hanya bisa berkomentar dalam hati, “Ngeri juga ya di Jawa”, sambil membayangkan bagaimana hidup warga yang hanya bisa memandangi tanpa daya ketika rumah mereka dibanjiri air. Kasihan sekali mereka, pikir saya, tidak tahu mau tinggal di mana.
Saat itu di tempat tinggal saya di sebuah kota kecil dekat kaki Gung Talang, yang bernama Solok, hal-hal seperti penggusuran paksa, perampasan tanah, dan berbagai represivitas negara terhadap rakyat kecil, boleh dikata hampir tak terlihat sama sekali. Paling-paling tawuran antar desa dengan bersenjatakan cangkul atau arit. Polisi biasanya hanya bisa mengamankan setelah tawuran berlangsung.
Baru setelah jadi mahasiswa jurusan filsafat di Universitas Gadjah Mada (UGM), saya baca versi kiri dari perampasan tanah warga desa untuk proyek Waduk Kedung Ombo. Versi yang kalau tidak salah ditulis oleh seorang yang dulunya adalah aktivis kiri mentok, sayang sekali sekarang sudah menghilang tak tentu rimbanya (jiwa kirinya maksudnya).
Kalau tidak salah dalam tulisan itu perlawanan warga desa yang didampingi oleh para mahasiswa terhadap proyek Waduk Kedung Ombo, dianalogikan sebagai kawah candradimuka, yang membentuk kembali semangat berlawan para mahasiwa, setelah sebelumnya hilang akibat kebijakan NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan).
Ada salah seorang mantan aktivis, yang sekarang sudah jadi elite di salah satu partai borjuis, sepertinya dia juga jebolan Kedung Ombo. Saya pernah baca di sebuah buku tentangnya yang ditulis oleh seorang rohaniwan, ketika yang bersangkutan berada dalam penjara Rezim Orde Baru (kalau tidak salah).
Di sana tertulis kalau si aktivis tersebut juga ikut turun mengadvokasi warga Kedung Ombo. Hal yang kelihatannya mengawali berbagai perjuangan politik berikutnya yang dilakoninya, sampai kemudian menjadi pimpinan partai yang berseberangan dengan Rezim Orde Baru.
Dulu, sebenarnya sebelum yang bersangkutan disekolahkan seorang pemodal kaya ke negeri Bertrand Russell, saya sempat bertemu dengannya, ketika ia mampir ke kantor BPMF Pijar (Pers Mahasiswa Fakultas Filsafat UGM). Masih ada kelihatan jiwa kirinya sedikit, cuma ya karakter organisernya, membuatnya menasehati saya, supaya jangan terlalu frontal dalam melakukan pengorganisiran.
Akan tetapi, setelah pulang studi dari luar negeri, mulai kelihatan orientasi hidupnya sebagai penghamba pemodal kaya yang menyekolahkannya ke luar negeri. Tugas akhirnya juga membahas bagaimana relasi kuasa antara anggota keluarga si pemodal kaya tersebut, yang juga elit salah satu partai borjuis, dengan massa loyalnya.
Memang, si mantan aktivis ini sempat berseberangan juga dengan pemerintahan, yang dikuasai oleh koalisi partai, yang tidak diisi oleh partai si pemodal kaya yang mendanai sekolahnya. Akan tetapi, setelah kondisi berbalik, ketika pemerintahan dikuasai oleh partai borjuis tempat dia mengais rezeki, sikapnya juga berbalik 180 derajat, dari yang dulunya anti-kenaikan BBM (Bahan Bakar Minyak) menjadi pro-kebijakan pemerintah yang menyesuaikan harga BBM dengan harga pasar dunia.
Hal yang mengakibatkan harga BBM menjadi tidak stabil. Secara nyata, hal ini mengakibatkan harga barang-barang lain juga bergerak tak menentu, karena harga BBM sekali lagi masih menjadi tolok ukur besaran harga-harga lainnya.
Terakhir, ketika banyak beredar berita dan video tentang represivitas brutal aparat kepolisian terhadap warga Desa Wadas, dan para aktivis yang mendampingi mereka, iseng-iseng saya coba intip status Twitter-nya. Ternyata tak ada sama sekali satu katapun menyinggung soal Desa Wadas dan warganya, yang pada dasarnya senasib dengan masyarakat desa korban proyek Waduk Kedung Ombo.
Hal mengawang-ngawang, yang jauh dari kondisi riil rakyat, seperti teori-teori dan perdebatan seputar sains, pamer anaknya yang bisa menyelesaikan berbagai soal sains berbahasa Inggris. Tentang radikalisme, terorisme, intoleransi yang menurutnya adalah hal yang paling utama untuk diantisipasi dan diserang. Itulah sebagian besar isi status Twitter-nya, tak ada mengurus rakyat Desa Wadas yang terzolimi.
Saya pun tak akan heran, jikalau nantinya status Twitter-nya kemudian berisikan serangan terhadap perlawanan rakyat Wadas, seperti berupa dugaan adanya framing terhadap aparat kepolisian dan pemerintah oleh kelompok-kelompok tertentu. Seperti beberapa akun twitter pro-pemerintah, yang gencar sekali menyebarkan twit yang kontra perlawanan rakyat Wadas.
Dalam hati, saya hanya bisa membatin, “Ya Tuhan, apa maksud-Mu menciptakan manusia seperti ini, yang melupakan asal-usulnya, dan kehilangan hati nuraninya? Apakah ini pelajaran hidup darimu ya Tuhan, supaya saya tidak lupa asal-usul dan kehilangan hati nurani juga?”. Bahkan ormas-ormas besar keagamaan, yang banyak pengikutnya seperti NU (Nahdlatul Ulama) dan Muhammadiyah saja sudah bersikap mengecam tindakan represif aparat keamanan terhadap rakyat Desa Wadas, mengapa si mantan aktivis ini masih bahas hal yang tak jelas?
Ah sudahlah, saya mencoba untuk tidak larut dalam pikiran negatif. Mungkin dia sedang menghimpun kekuatan untuk berlawan di kemudian hari (entah kapan). Atau mungkin dia sekarang fokus menyejahterakan keluarga dan orang-orang terdekatnya. Saya mencoba untuk berhusnuzan pada si mantan aktivis ini. Tokh, saya sendiri juga sekarang tak bisa memberikan bantuan apa-apa pada rakyat Desa Wadas, cuma bisa bikin tulisan ini, yang entah dimuat, entah tidak oleh media yang saya kirimi tulisan ini.
Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Jendela Politik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.