Pasca reformasi banyak aturan hukum tercipta guna menghormati, melindungi dan memenuhi Hak Asasi Manusia (HAM). Namun, pelanggaran HAM tetap saja terjadi dan berulang, terutama dalam hal kebebasan berpendapat dan berekspresi. Beberapa pihak bahkan menyebut penanganan aksi massa dengan tindakan yang represif di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo terlihat masih sama seperti pada saat Orde Baru di era kepemimpinan Soeharto. Benarkah demikian?
Jelang pelantikan Joko Widodo dan Ma’ruf Amin untuk menjabat sebagai presiden dan wakil presiden periode 2019-2024 setahun lalu, aksi massa besar seperti tahun 1998 kembali terjadi. Kala itu, alasan aksi massa pada September 2019 tersebut adalah penolakan pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dan menolak pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Aksi massa ini tersebar di berbagai wilayah Indonesia, mulai dari Jakarta, Malang, Surabaya, Yogyakarta, Makassar, Palembang, Medan, Semarang, Bandung, Denpasar, Kendari, Tarakan, Samarinda, Banda Aceh, Palu dan kota-kota lainnya.
Sayangnya, dalam aksi bertajuk #ReformasiDikorupsi itu aparat kepolisian bersikap represif terhadap massa aksi. Penghadangan massa aksi pada saat di perjalanan, kekerasan terhadap massa aksi dan jurnalis, hingga penembakan terhadap para demonstran tersebut. Bahkan dalam aksi #ReformasiDikorupsi terdapat 5 orang korban meninggal dunia.
Para korban tersebut adalah La Randi dan Muhammad Yusuf Kardawi yang merupakan mahasiswa Universitas Halu Oleo Kendari, Sulawesi Tenggara. Kemudian 3 lainnya adalah pemuda asal Tanah Abang, Maulana Suryadi, serta dua pelajar yaitu Bagus Putra Mahendra, dan Akbar Alamsyah.
Peristiwa tersebut menjadi catatan besar terkait bagaimana negara menangani aksi-aksi demonstrasi. Hingga kini pemerintahan Jokowi– Ma’ruf Amin dinilai gagal untuk membuktikan siapa pelaku yang bertanggung jawab atas kematian 5 pemuda yang merupakan pahlawan muda pembela reformasi tersebut.
Terkait hal tersebut, dalam rangka refleksi 1 tahun pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menemukan sepanjang bulan Oktober 2019 – September 2020 telah terjadi 158 peristiwa pelanggaran, pembatasan, ataupun serangan terhadap kebabasan sipil yang terdiri atas hak atas kebebasan berasosiasi atau berserikat (4 peristiwa), hak atas kebebasan berkumpul (93 peristiwa), dan hak atas kebebasan berekspresi (60 peristiwa) yang mengakibatkan menyempitnya ruang masyarakat sipil di Indonesia.
Selain itu, banyaknya peristiwa pelanggaran HAM dalam kebebasan berpendapat dan berekspresi menimbulkan ketakutan di masyarakat dalam mengeluarkan pendapat. Hal tersebut didukung oleh hasil Lembaga survei Indikator Politik yang bertajuk “Politik, Demokrasi dan Pilkada di Era Pandemi” pada Oktober 2020 lalu.
Pelanggaran HAM dalam hak kebebasan berpendapat dan berekspresi yang demikian ini oleh beberapa pihak dianggap sebagai pengkhianatan terhadap reformasi dan hal tersebut sama saja memutar waktu kembali ke zaman Orde Baru yang otoriter. Jika demikian, mengapa hal ini bisa terjadi?
Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi di Era Orde Baru
Soeharto memang terkenal sebagai pemimpin yang menggunakan tangan besi untuk menjalankan kekuasaannya. Kondisi ketiadaan hak kebebasan berpendapat dan berekspresi menjadikan Soeharto sebagai pemimpin yang otoriter.
Minimnya partisipasi dan pengawasan publik dalam mengawal pemerintahan mengakibatkan pemerintahan Orde Baru bertindak sewenang-wenang dalam menggunakan kekuasaan (abuse of power), sehingga menyebabkan terjadinya berbagai macam pelanggaran Hak Asasi Manusia.
Pelanggaran HAM yang terjadi mulai dari Kejahatan Kemanusiaan Tahun 1965-1966, Penembakan Misterius 1981-1985, Peristiwa Tanjung Priok 1984-1987, Talangsari 1984-1987, Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh 1989-1998, Daerah Operasi Militer (DOM) Papua 1963-2003, Peristiwa 27 Juli 1996, Penculikan dan Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998, Peristiwa Trisaksti 12 Mei 1998, Kerusuhan 13-15 Mei 1998, dan lain sebagainya.
Beberapa kasus pelanggaran HAM berat tersebut diakibatkan oleh adanya pengekangan terhadap hak kebebasan berpendapat dan berekspresi yang dilakukan oleh rezim kekuasaan saat itu. Padahal, hak kebebasan berpendapat dan berekspresi ini merupakan kontrol dari masyarakat yang merupakan bagian dari sistem demokrasi dalam menjaga pemerintah menjalankan fungsinya.
Amanat Reformasi
Reformasi merupakan titik awal Indonesia menjadi sebuah negara demokrasi yang dapat menghormati, melindungi dan memenuhi hak asasi manusia. Salah satunya adalah hak kebebasan berpendapat dan berekspresi.
Executive Director of The Centre for Law and Democracy, Toby Mendel dalam tulisannya yang berjudul “Freedom of Information as an Internationally Protected Human Right” menyebutkan bahwa setidaknya ada beberapa alasan hak kebebasan berpendapat dan berekspresi menjadi hal yang penting. Alasan-alasan tersebut antara lain:
- Karena merupakan dasar demokrasi
- Berperan dalam pemberantasan korupsi
- Mempromosikan akuntabilitas
- Dipercaya merupakan cara terbaik menemukan kebenaran dalam masyarakat
Amanat terkait hak kebebasan berpendapat dan berekspresi yang menjadi semangat Reformasi sudah dituangkan ke dalam amendemen Undang-Undang Dasar 1945, pun dalam turunannya berupa peraturan perundang-undangan yang lainnya.
Amendemen Undang-Undang Dasar 1945 terkait hak kebebasan berpendapat dan berekspresi sendiri diatur di dalam Pasal 28 E ayat (3) yang menyebutkan bahwa: “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan berpendapat”.
Sementara dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kebebasan Mengemukakan Pendapat di Muka Umum, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, hal-hal tersebut juga dijabarkan lebih lanjut.
Dengan demikian, tugas pemerintah selaku badan eksekutif adalah menjalankan berbagai ketentuan tersebut demi memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia dan menjadikan Indonesia negara yang demokratis dan humanis.
Memastikan perlindungan terhadap hak kebebasan berpendapat dan berekspresi bagi setiap warga negara serta mengungkap pelaku pembunuhan 5 pemuda pada saat aksi #ReformasiDikorupsi merupakan kewajiban negara saat ini di bawah kepemimpinan Jokowi – Ma’ruf Amin dalam memberikan pemulihan terhadap korban represi aparat pada saat itu.
Ini juga menjadi tantangan besar yang akan ditunggu penyelesaiannya karena Jokowi sendiri dianggap tak begitu tegas dan keras ketika dihadapkan pada persoalan perlindungan kepada masyarakat yang melakukan aksi-aksi demonstrasi dan sejenisnya.
Tulisan milik Falis Aga Triatama, Praktisi Hukum di Winrow Veritas Law Firm.
“Disclaimer: Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.”
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.