Site icon PinterPolitik.com

Jokowi, Korupsi, dan Regulasi Nirguna

Jokowi Korupsi dan Regulasi Nirguna

Presiden Joko Widodo. (Foto: Reuters)

Tingkat kepercayaan publik pada lembaga-lembaga negara, termasuk Presiden Joko Widodo (Jokowi), terus menurun. Hal ini bisa jadi berkaitan dengan terungkapnya kasus-kasus korupsi dan revisi UU KPK yang memicu polemik. Mungkin, pemerintahan Jokowi perlu berhenti mengeluarkan kebijakan dan regulasi yang nirguna.


PinterPolitik.com

“Kita pernah punya pemimpin bangsa sekaliber Sukarno, Mohammad Hatta, Sjahrir, dan Tan Malaka yang sudah merevolusi mental masing-masing, tapi sekarang kita tidak pernah lagi memiliki pemimpin bangsa. Kita hanya punya pejabat” – Anhar Gonggong, sejarawan asal Indonesia

Presiden Joko Widodo (Jokowi) menekankan pentingnya revolusi mental pejabat negara dan pejabat daerah, khususnya mengubah mental koruptif yang telah banyak merugikan bangsa dan negara. Jokowi juga menekankan pentingnya menyederhanakan alur perizinan dan regulasi yang selama ini tidak efektif. Hal itu disampaikannya dalam Rapat Koordinasi Nasional Pemerintah Pusat dan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah di Bogor beberapa waktu lalu.

Momentum dilayangkannya gugatan itu sangatlah tepat. Selain berdekatan dengan momentum pelantikan pemimpin baru Indonesia – Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin, hal itu juga bertepatan dengan gentingnya substansi dan esensi dari kinerja pemerintah Indonesia. Deretan pejabat yang hanya berorientasi meraup keuntungan tanpa indikasi menjalankan pemerintahan dengan transparan telah menghasilkan sebuah identitas baru para pejabat pemerintahan Indonesia, yaitu mental koruptif yang melahirkan rantai korupsi yang seolah tak bisa diputus.

Presiden Jokowi memiliki banyak pekerjaan rumah (PR) di periode kedua kepemimpinannya. Masalah korupsi adalah salah satunya. Namun, komitmen presiden dalam pemberantasan korupsi akhir-akhir ini dipertanyakan.

Buruknya kinerja para pejabat negara tak mungkin tak terendus rakyat. Lingkaran Survei Indonesia (LSI Denny JA) melakukan survei yang mengungkapkan bahwa kepercayaan publik kepada Jokowi menurun pasca Pilpres 2019. Sebelum Pilpres 2019, kepercayaan publik terhadap Jokowi mencapai angka 81,5 persen. Sementara, setelah Pilres 2019 dilangsungkan, kepercayaan publik menurun sekitar 6,3 persen menjadi 75,2 persen.

Kepercayaan rakyat kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai salah satu lembaga negara yang paling bermasalah juga mengalami penurunan dari 65 persen sebelum Pilpres menjadi 63,5 persen setelah Pilpres 2019. Selain DPR, kepercayaan publik terhadap institusi negara lain seperti Mahkamah Konstitusi (MK), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan Tentara Nasional Indonesia (TNI)-Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) juga menurun.

Peneliti LSI Denny JA, Adjie Alfaraby, menjelaskan bahwa banyaknya pejabat pemerintahan era Jokowi yang tersandung kasus korupsi menjadi salah satu penyebab turunnya tingkat kepercayaan publik. Tercatat terdapat tiga orang menteri yang terlibat kasus korupsi, yaitu Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi yang menjadi tersangka kasus suap dan gratifikasi dana KONI, Menteri Sosial Idrus Marham menjadi terpidana kasus korupsi PLTU Riau-1, serta Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin yang menerima suap dari Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Jawa Timur.

Belum lagi, deretan pejabat negara lain seperti Ketua DPR Setya Novanto yang menjadi terdakwa kasus korupsi e-KTP. Ketika orang-orang terdekat presiden tersandung kasus yang banyak merugikan negara, sulit bagi rakyat mempertahankan kepercayaannya.

Sebagai sebuah negara demokrasi yang mengedepankan partisipasi publik untuk kesejahteraan bersama, berbagai sistem negara diatur sedemikian rupa hingga dapat mengakomodasi suara rakyat. Salah satunya adalah keberadaan Pemilu yang mewadahi aspirasi rakyat dalam memilih pemimpin yang dikehendakinya.

Ketika para pemimpin yang terpilih justru berkhianat, kekecewaan akan timbul. Kekecewaan terhadap perseorangan lambat laun berkembang menjadi kekecewaan terhadap lembaga, sistem, hingga negara itu sendiri.

Menurut Peter Carey, Suhardiyoto Haryadi, dan Sri Margana dalam buku mereka yang berjudul Korupsi dalam Silang Sejarah Indonesia, fenomena saat ini menunjukkan bahwa perilaku korupsi di Indonesia bukan lagi menjadi sebuah persoalan etis moral elite politik, melainkan telah menjadi way of life (sikap hidup). Hal itu menunjukkan korupsi telah masuk ke dalam struktur kesadaran yang membuat masyarakat cenderung mewajarkan korupsi dan memandang korupsi sebagai sebuah keniscayaan.

Padahal, pandangan tersebut justru dapat melemahkan semangat untuk mengatasi masalah korupsi. Tidak ada perampasan hak milik yang bisa diwajarkan, termasuk korupsi di tingkat pejabat pemerintahan yang berimplikasi langsung terhadap terhambatnya operasional daerah dan/atau negara. Bila hukum bisa mengkriminalisasi pencopet di jalanan, apakah ada alasan baginya untuk tak menggigit pencuri hak warga negara?

Di sisi lain, para pejabat di pemerintahan seolah telah kehilangan semangat untuk menjadikan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang maju. Banyak pekerjaan yang dilakukan pemerintah tapi bukan untuk memajukan negara, melainkan untuk meraup keuntungan pribadi dan golongan sebanyak-banyaknya. Mantan Gubernur Banten Ratu Atut misalnya, membangun dinasti politiknya dengan melibatkan relasi bisnis dan sanak keluarganya.

Hal itu jelas telah melanggar marwah sebuah negara demokrasi yang menekankan peran rakyat untuk mewujudkan kesejahteraan bersama. Merujuk pada hakikat negara demokrasi, para pejabat negara pun seharusnya bukan semata bekerja atas dasar kemauan dan kepentingan pribadinya. Pejabat negara yang dipilih oleh rakyat merupakan representasi dari wakil rakyat.

Itulah yang menyebabkan nama lembaga-lembaga negara selalu mengandung unsur “rakyat”, seperti DPR dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Pejabat negara adalah rakyat yang dipilih untuk mewakili rakyat menjalankan tugas-tugas demi kesejahteraan kehidupan bernegara.

Ironisnya, nama lembaga yang telah dibentuk sedemikian rupa kian hari justru kian tak mencerminkan kinerja dan orientasi kerja para pejabatnya. Negara hukum ini seolah tak lagi bisa bernaung pada hukum dan peraturan karena tak sedikit pejabat negara yang menyalahgunakan kekuasaan mereka untuk menciptakan regulasi-regulasi tak matang yang sesungguhnya tak membawa dampak signifikan bagi rakyat.

Salah satunya adalah langkah Jokowi yang menyetujui revisi UU KPK dan tak segera menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) KPK. Adjie memaparkan bahwa pembuatan kebijakan-kebijakan yang tidak populer seperti revisi UU KPK menjadi faktor penyebab lain turunnya kepercayaan publik kepada Jokowi.

Hal itu jelas kontraproduktif dengan berbagai aspek dalam pemerintahan yang memerlukan banyak perbaikan. Presiden dari sebuah negara yang angka korupsinya tinggi justru banyak dinilai mengakomodasi peringanan hukuman bagi para koruptor serta mewadahi perilaku koruptif untuk bergeliat lebih lincah.

Hal itu menunjukkan pembuatan kebijakan yang tidak berorientasi pada kebutuhan rakyat justru bisa menjelma menjadi sebuah kesia-siaan dalam bentuk regulasi nirguna. Padahal, regulasi hadir untuk memperbaiki keadaan. Seharusnya, kajian yang lengkap dan mendalam selalu dilakukan sebelum merumuskan maupun memperbaiki sebuah regulasi agar lahir regulasi yang tepat sasaran.

Upaya terpenting yang perlu dilakukan untuk memerangi korupsi di Indonesia adalah reformasi birokrasi. Selama ini, kelumit birokrasi telah menjadi wadah para koruptor menjalankan aksinya.

Carey, Haryadi, dan Margana dalam bukunya mencatat penambahan norma-norma baru dalam birokrasi dan administrasi telah menjadikan praktik korupsi era kolonialisme Belanda kian menjamur. Fenomena itu tak jauh berbeda dengan fenomena hari ini, seperti suap untuk mempercepat pembuatan dokumen-dokumen negara yang diberikan kepada pejabat atau instansinya.

Penyederhanaan alur perizinan rasanya bukanlah hal yang mustahil untuk dilakukan di era pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi seperti saat ini. Pemerintah bisa mengoptimalkan sistem administrasi berbasis internet. Semoga saja, Presiden Jokowi bisa konsisten mengawal pejabat-pejabat di pemerintahan untuk melaksanakan imbauannya Rabu kemarin, yaitu menyederhanakan alur perizinan dan regulasi yang tidak efektif.

Tulisan milik Selma Kirana Haryadi, mahasiswi Jurnalistik di Universitas Padjadjaran

“Disclaimer: Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.”

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version