Di era demokrasi, setiap jenderal yang ingin menggapai kursi kekuasaan mestinya belajar kepada Jenderal TNI (Purn) Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Jenderal TNI (Purn) Wiranto, dan Letnan Jenderal TNI (Purn) Prabowo Subianto. Mereka berjuang mendapatkan kekuasaannya kembali bukan dengan bedil atau tank, melainkan dengan jalan demokrasi: masuk ke dalam partai politik, atau berjuang membesarkan partai politik.
Selama setengah abad terakhir, militer Myanmar adalah institusi paling kuat di negara tersebut. Sejak 1962 hingga 2011, para diktator militer silih berganti berkuasa. Selain memiliki kendali atas pemerintahan, mereka juga menguasai ekonomi dan berbagai aspek kehidupan lainnya. Mereka mengasingkan negerinya dari pergaulan internasional, memerintah dengan tangan besi, sehingga membuat negaranya menjadi paria. Ironisnya, di tengah-tengah penduduk yang miskin, militer Myanmar adalah institusi yang kaya raya.
Tahun lalu, misalnya, penyelidikan Amnesty International menemukan bahwa hampir setiap unit militer memiliki saham di perusahaan konglomerasi Myanmar Economic Holdings Limited (MEHL), yang memiliki gurita bisnis dan berjejaring global. Karena mengendalikan hampir semua usaha strategis, seperti pertambangan, tembakau, perbankan, transportasi dan manufaktur, militer telah menjadi institusi terkaya di negeri miskin tersebut.
Jenderal Min Aung Hlaing, yang pekan lalu melakukan kudeta, terpilih menjadi panglima tertinggi ketika transisi semi-demokrasi di Myanmar dimulai pada 2011 silam. Jenderal yang sering disebut bertanggung jawab atas pembantaian etnis Rohingya pada tahun 2017 itu, sejak awal sangat mungkin telah membayangkan dirinya akan menjadi Presiden setelah pensiun dari militer tahun ini. Namun, ketika politisi sipil memenangi Pemilu 2015, dan kembali menang pada Pemilu 2020 lalu, ia mungkin melihat jika peluangnya meraih posisi itu melalui jalur demokratis telah tertutup. Sehingga, sebelum parlemen hasil Pemilu 2020 bersidang pada Senin pekan lalu untuk mengesahkan pemerintahan baru, ia menggunakan jurus lama yang dipelajari dari para pendahulunya: kudeta.
Tetapi, kudeta kali ini saya kira akan berbeda ujungnya. Demonstrasi besar-besaran masyarakat sipil yang terjadi di Myanmar pekan ini seharusnya dicatat oleh para jenderal di Naypyidaw sebagai hal baru. Mereka kini bukan lagi menghadapi para pendukung Suu Kyi, tapi tengah menghadapi masyarakat Myanmar yang menginginkan perubahan dan tak ingin mundur kembali ke belakang. Di sisi lain, meskipun reputasi Suu Kyi di panggung internasional telah merosot, menyusul sikap tak simpatiknya ketika terjadi pembantaian etnis Rohingya, namun di dalam negeri ia sedang dalam puncak popularitasnya. Sehingga, jika para jenderal itu bersikeras menutup dialog, saya kira hasilnya tidak akan sepadan buat mereka. Sikap Cina, yang sebelumnya selalu menentang intervensi internasional atas Myanmar, kini juga mulai berubah. Cina sudah mendesak semua pihak yang terlibat konflik untuk “menyelesaikan perbedaan” sesegera mungkin. Ini menunjukkan jika dukungan kepada para jenderal di Myanmar tak akan lagi sama.
Demokrasi yang Merosot
Kudeta militer yang terjadi di Myanmar pekan lalu berlangsung hanya kurang dari seminggu setelah The Economist Intelligence Unit (EIU) merilis data tentang merosotnya Indeks Demokrasi secara global sepanjang tahun 2020 lalu. Menurut IEU, sepanjang tahun lalu skor rata-rata Indeks Demokrasi secara global memang turun menjadi 5,37 (dalam skala 0-10), yang merupakan skor terburuk sejak indeks tersebut pertama kali disusun 14 tahun silam. Dari 167 negara yang disurvei, 116 di antaranya (hampir 70 persen) mengalami penurunan skor. Hanya 38 negara (22,6 persen) yang skornya mengalami perbaikan, sementara 13 lainnya skornya stagnan.
Ada 60 indikator yang digunakan EIU untuk menentukan indeks demokrasi suatu negara. Enam puluh indikator itu dikelompokkan ke dalam lima kategori, yaitu proses pemilu dan pluralisme, fungsi dan kinerja pemerintah, partisipasi politik, budaya politik, dan kebebasan sipil. Berdasarkan skor atas indikator-indikator tadi, EIU akan mengklasifikasikan negara-negara yang disurvei ke dalam empat kategori, yaitu demokrasi penuh (full democracies), demokrasi cacat (flawed democracies), rezim hibrida (hybrid regimes), dan rezim otoriter (authoritarian regimes).
Menurut parameter yang disusun IEU, hampir separuh dari populasi dunia (49,4 persen) hidup di tengah sistem demokrasi, dan lebih dari sepertiga populasi hidup di bawah pemerintahan otoriter. Sesuai dengan indikator kemerosotan skor demokrasi secara global, jumlah negara yang masuk kategori rezim otoriter sepanjang tahun kemarin memang mengalami peningkatan, dari semula 54 (2019) menjadi 57.
Sebenarnya tren global dalam hal kemunduran demokrasi sudah bisa dibaca sejak beberapa tahun sebelumnya. Naiknya tokoh-tokoh iliberal seperti Donald Trump di Amerika Serikat, serta kecenderungan publik di berbagai wilayah untuk menerima kembali kendali militer dan aparat keamanan yang lebih kuat di sejumlah negara, merupakan penandanya. Mengutip The Washington Post, pada tahun 2017 sebuah jajak pendapat di Brasil menunjukkan bahwa 43 persen responden mendukung kebangkitan kembali militer. Sementara, di Filipina, sebuah jajak pendapat terbaru menunjukkan 80 persen masyarakat menyetujui penggunaan kekerasan yang agresif dalam perang melawan narkoba yang dikampanyekan Presiden Duterte. Di Indonesia sendiri, menurut riset Asian Barometer pada tahun 2016, 38 persen orang Indonesia yang disurvei menyatakan “sangat setuju” atau “setuju” bahwa “Angkatan Darat harus datang untuk mengatur negara”. Persentase ini adalah tertinggi kedua setelah Thailand (54 persen). Ekspose atas tokoh-tokoh semacam itu, dengan pendekatan kekuatan represif yang menyertainya, telah memberikan efek demonstratif berupa melemahnya norma-norma mengenai kontrol sipil secara global.
Munculnya pandemi Covid-19, yang kemudian telah melahirkan pembatasan sosial secara global, telah berimplikasi pada kian mundurnya praktik demokrasi di mana-mana. Di sisi lain, karena pandemi ini juga diperlakukan sebagai isu keamanan, maka penanganannya juga telah memberikan potensi lebih lanjut terhadap terbukanya peran militer yang kian luas di wilayah-wilayah sipil.
Pada masa Orde Baru, militer Indonesia juga pernah memiliki peran yang luas dalam urusan politik dan ekonomi, seperti yang kini masih kita lihat di Myanmar dan Thailand. Namun, sesudah Soeharto lengser dan mereformasi sistem ketatanegaraan, kita sudah berhasil memindahkan militer kembali ke peran tradisionalnya. Ketika Jenderal SBY menjadi Presiden Republik Indonesia, ia dikenal sangat egaliter dan tertarik pada isu-isu global serta perdamaian. Hal ini telah ikut membantu mengubah citra militer Indonesia yang pada masa sebelumnya dikenal cenderung inward looking.
Catatan tentang pentingnya supremasi sipil, hidupnya masyarakat sipil, serta terjaminnya kebebasan masyarakat sipil, penting untuk terus-menerus disampaikan di tengah-tengah kemerosotan demokrasi secara global yang kini tengah terjadi. Meminjam Robert Dahl (1989), demokrasi memang membutuhkan dua syarat. Pertama, angkatan bersenjata tunduk pada kontrol sipil. Dan kedua, warga sipil yang mengontrol militer dan polisi juga harus tunduk pada proses demokrasi. Artinya, demokrasi mustahil bisa ditegakkan oleh nilai-nilai atau aktor-aktor yang anti-demokrasi.
Saya kira, dunia sekarang ini sudah cukup berat menanggung pandemi Covid-19, jangan sampai otoritarianisme dan “virus kudeta para jenderal” juga ikut-ikutan menjadi pandemi. Diktumnya jelas. Kalau ingin berkuasa, maka Anda harus berjuang melalui partai. Jika Anda belum punya partai, maka dirikanlah partai, atau masuklah ke dalam partai yang sudah ada melalui cara-cara demokratis.
Begitulah cara kontestasi di alam demokrasi, Jenderal!
Tulisan milik Dipo Alam, Pemerhati Ekonomi-Politik.
Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.