Invasi Rusia ke Ukraina yang terjadi sejak 24 Februari 2022 belum juga berakhir. Dalam menghadapi invasi ini, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky melancarkan apa yang disebut sebagai emosi politik.
Pada 24 Februari 2022 lalu, Rusia melalui perintah Vladimir Putin melancarkan invasi ke wilayah Negara Ukraina. Peristiwa tersebut menjadi babak baru – dan eskalasi yang lebih besar – dari konflik antara Rusia dan Ukraina yang telah berlangsung semenjak tahun 2014. Sayangnya, hingga sekarang konflik ini masih berlanjut dan belum ada upaya konkret untuk mengakhirinya.
Selama ini, Presiden Ukraina Volodimir Zelensky, telah berulang kali menyampaikan pesan kepada publik. Pesan tersebut ditujukan baik itu kepada penduduk Ukraina, negara-negara Eropa, dunia internasional, dan termasuk Rusia, untuk mendorong penghentian invasi.
Emily VanDerWerff seorang penulis sekaligus jurnalis menyatakan bahwa bakat Zelensky sebagai aktor telah memberikan daya tarik emosional bagi penduduk dunia untuk memperhatikan isu ini. Presiden Zelensky sebagai pemimpin Ukraina melakukan apa yang disebut Martha Nussbaum dalam bukunya Political Emotions (2013) sebagai political emotions atau emosi politik. Nussbaum meyakini setiap masyarakat memiliki emosi, maka dari itu pemimpin politik di suatu masyarakat akan berusaha untuk mengatur emosi publik demi kepentingan tertentu.
Prior dan van Hoef dalam tulisannya “Interdisciplinary Approaches to Studying Emotions within Politics and International Relations” menyebutkan bahwa konsep yang ditawarkan Nussbaum juga dapat digunakan untuk mendorong hubungan diplomatik melalui emosi positif tertentu seperti kasih sayang (compassion), memaafkan (forgiveness), dan simpati, serta menentang emosi negatif seperti amarah (anger), kemuakan (disgust), dan ketakutan (fear).
Tulisan ini akan berusaha menganalisis bentuk emosi politik apa saja yang diberikan oleh Zelensky melalui pidato dan pernyataan resminya sebagai Presiden Ukraina selama invasi berlangsung hingga saat ini. Secara khusus tulisan ini menggunakan perspektif emosi politik, untuk melihat fenomena strategi politik pemimpin dalam keadaan konflik.
Respons Zelensky atas Invasi Rusia
Beberapa jam sebelum invasi dilakukan, Zelensky memberikan pidato kenegaraan menggunakan bahasa Ukraina dan Rusia (23/02), yang tentu ditujukan kepada penduduk di kedua negara. Pesan yang paling krusial disampaikan dalam pidato tersebut adalah memohon rakyat Rusia untuk menolak rencana invasi yang dilakukan oleh pemerintahan Rusia, karena Ukraina hanya menginginkan perdamaian.
Di saat yang bersamaan, Zelensky juga meyakinkan bahwa tidak mungkin dia telah melakukan genosida pada etnis Rusia di wilayah timur Ukraina karena dia memiliki banyak kerabat yang bermukim di wilayah tersebut, Zelensky juga menyinggung bagaimana perjuangan kakeknya bersama-sama orang Rusia – sebagai bagian dari tentara Uni Soviet – melawan Nazi Jerman pada Perang Dunia II. Dalam pidato tersebut, Zelensky juga meyakini bahwa sesungguhnya mayoritas penduduk Rusia tidak menginginkan perang, apalagi dengan negara tetangga.
Meskipun invasi Rusia tetap berlangsung, beberapa hari setelah pesan tersebut disampaikan, salah satu demontrasi terbesar penolakan invasi Rusia ke Ukraina terjadi (26/02). Zelensky kemudian langsung merespons peristiwa ini dengan ucapan terima kasih kepada demonstran.
Secara berangsur-angsur penduduk Rusia dari berbagai kalangan seperti aktivis, seniman, hingga akademisi mulai menunjukkan ketidaksetujuan mereka terhadap invasi. Sayangnya, pemerintah Rusia merespons demonstrasi tersebut secara represif, tercatat polisi menahan lebih dari 3.000 demonstran anti perang. Bahkan, intimidasi juga dilakukan kepada orang-orang yang menolak perang.
Emosi politik yang dilakukan Zelensky juga menjadi narasi perlawanan dari propaganda yang dilancarkan pemerintah Russia dan media-media yang dimiliki jaringan oligarki Vladimir Putin. Propaganda kepada warga Rusia tersebut biasanya menebarkan kebencian dengan menggambarkan Ukraina sedang dikuasai oleh kelompok neo-Nazi yang mengancam bukan hanya keamanan Rusia, akan tetapi juga seluruh daratan Eropa.
Seakan putus asa dengan kebebalan pemerintah Rusia yang masih melangsungkan invasi, Zelensky akhirnya mulai memainkan narasi emosi amarah. Hal tersebut dapat tergambarkan dengan Zelensky yang mulai menyebut Rusia bukan hanya sebagai penjajah (invader) tetapi juga penjahat bahkan teroris.
Secara lebih intens Zelensky mulai memainkan narasi bahwa rakyat Ukraina sedang menghadapi “kejahatan” (evil) yang merepresentasikan Rusia. Bahkan pada pidatonya di 7 Maret yang bertepatan dengan Hari Minggu Pengampunan, Zelensky memberikan narasi keagamaan berupa “Tuhan tidak akan mengampuni (Rusia -red), tidak di hari ini maupun besok. Bukannya pengampunan, Tuhan akan memberikan Hari Pembalasan”.
Sebagai respon banyaknya warga sipil termasuk anak-anak yang menjadi korban invasi Rusia, Zelensky bahkan mulai menggunakan hinaan yang ditujukan kepada tentara Rusia. Sebagaimana yang tergambar dalam pidatonya pada 8 Maret yang mengancam akan menghukum setiap “bajingan” (bastards) yang menyerang rakyat Ukraina.
Di minggu ketiga hingga satu bulan setelah berlangsungnya invasi, Zelensky mulai menyamakan Rusia dengan agresor atau penjajah lainnya dalam sejarah Eropa. Pada sebuah video yang dirilis oleh Kementerian Pertahanan Ukraina (12/03), Zelensky melalui ilustrasi pengeboman kota Paris memberikan pesan kepada penonton untuk membayangkan bagaimana jika pengeboman yang terjadi di Ukraina terjadi juga di ibukota negara Eropa lainnya. Pesan ini disampaikan sebagai bagian dari permintaan Zelensky agar NATO maupun negara-negara Eropa menetapkan no-fly zone di Ukraina serta membantu mereka dengan kekuatan pertempuran udara.
Beberapa saat kemudian dalam video yang dirilis Zelensky pada 25 Maret, ditampilkan potongan-potongan dokumentasi yang membandingkan invasi Rusia dengan invasi yang dilakukan Nazi Jerman ke negara-negara di Eropa selama Perang Dunia II. Dalam video tersebut, Rusia juga disebut sebagai “fasis”, hal ini sangat menarik mengingat selama ini tuduhan fasis maupun neo-Nazi justru diberikan Rusia kepada Ukraina.
Dalam pagelaran Grammy Awards ke-64 pada 4 April yang lalu, Zelensky yang diberikan kesempatan untuk menampilkan rekaman pidatonya. Berusaha memengaruhi penonton acara tersebut dengan emosi simpati kepada penduduk Ukraina melalui pesan ” melalui pesan “…Saya bermimpi mereka (penduduk Ukraina -red) dapat hidup, dan bebas seperti anda di panggung Grammy“. Pesan ini menggambarkan bagaimana invasi Rusia telah memakan banyak korban dan merenggut kebebasan bermusik penduduk Ukraina.
Pada perayaan Hari Paskah pada 24 April. Zelensky menyampaikan pesan “Hari besar ini memberi kita harapan dan keyakinan yang besar dan tak tergoyahkan, bahwa terang akan mengalahkan kegelapan, kebaikan akan mengalahkan kejahatan, kehidupan akan mengalahkan kematian, dan karena itu Ukraina pasti akan menang!” yang terlihat berusaha menampilan dua kontras untuk menggambarkan secara implisit Ukraina sebagai kebaikan dan Russia sebaliknya. Hal ini tidak dapat dilepaskan dengan kenyataan bahwa pada beberapa hari sebelumnya, Rusia menolak tawaran gencatan yang diminta Ukraina dalam rangka menyambut Hari Paskah.
Emosi Politik ala Zelensky
Apabila kita melihat secara kronologis, Zelensky pada awalnya berusaha memberikan emosi positif seperti kasih sayang dan simpati kepada publik (penduduk negaranya maupun negara lain). Di awal invasi, Zelensky masih percaya bahwa solusi perdamaian masih dapat dicapai.
Apalagi, dia juga meyakini bahwa penduduk Rusia – yang memang memiliki keterikatan kultural dan sejarah yang kuat dengan Ukraina– sebenarnya tidak menyetujui tindakan pemerintahan mereka. Keyakinan tersebut terbukti benar, tetapi pemerintahan Rusia justru meresponnya dengan tindakan represif kepada penduduknya sendiri.
Seiring berjalannya waktu, fakta bahwa invasi yang terus berlangsung disertai korban jiwa yang terus berjatuhan, Zelensky akhirnya memilih untuk menggunakan juga emosi negatif seperti amarah dan ketakutan. Kita tentunya perlu mengingat bahwa dalam nasionalisme, mengutip yang dikatakan Anderson dalam Immagined Communities (2006) amarah dan kebencian seringkali digunakan untuk membangkitkan semangat pengorbanan untuk bangsa dan negara bahkan hingga ke tingkat mengorbankan nyawa sendiri.
Dalam keadaan perang, sudut pandang “us vs them” juga tidak bisa dihindari. Zelensky mencoba untuk menampilkan bahwa peperangan ini merupakan perang antara Ukraina sebagai representasi “kemanusiaan” (humanity) melawan Rusia sebagai “kejahatan”.
Menampilkan musuh dalam perang sebagai sesuatu yang jahat menurut Hoggett dan Thompson di buku Politics and the Emotions: The Affective Turn in Contemporary Political Studies (2012) merupakan sesuatu yang biasa terjadi, terutama bertujuan untuk mendapatkan dukungan dari penduduk negara sendiri maupun negara lain. Menampilkan Rusia sebagai “kejahatan” dan menyamakannya dengan Nazi Jerman akan mengarahkan emosi publik menuju amarah dan kemuakan, sehingga Rusia juga akan dianggap sebagai musuh bersama. Zelensky juga memperkuatnya dengan menebar emosi negatif yaitu ketakutan kepada penduduk Eropa, yang memang memiliki memori buruk ketika menjadi korban invasi Nazi Jerman.
Emosi negatif dalam emosi politik Zelensky juga dapat terlihat dari ditolaknya emosi positif yaitu memaafkan kepada Rusia. Secara tersirat maupun tersurat, Zelensky justru menginginkan pembalasan dan hukuman atas apa yang telah Rusia lakukan kepada negara dan rakyatnya.
Perubahan sifat Zelensky tersebut dapat diartikan sebagai keputusasaan tetapi juga semangat yang semakin berkobar. Keputusasaan bisa jadi dominan kepada harapan jalan damai yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan konflik ini, sedangkan semangat berakar dari keyakinan Zelensky dan penduduk Ukraina lainnya yang terbukti berhasil bertahan dari invasi melebihi dari perkiraan Rusia.
Emosi amarah tampaknya semakin dilihat oleh Zelensky sebagai cara untuk mengobarkan semangat penduduk Ukraina untuk terus melakukan perjuangan mempertahankan negaranya dari Rusia. Apalagi mengingat tidak adanya dukungan militer yang signifikan kepada Ukraina, maka mengharuskan mereka melanjutkan perjuangan “sendirian”.
Dalam pandangan Nussbaum, emosi politik harus menggunakan emosi-emosi positif untuk menciptakan keadilan dan perdamaian di dunia ini. Meskipun terkesan normatif, emosi positif dapat memengaruhi proses terciptanya kesepakatan damai yang bertahan lama antara dua pihak yang berkonflik.
Kita dapat melihat bahwa terjadi pergeseran emosi politik Zelensky dari emosi positif menjadi negatif, sebagai konsekuensi keadaan yang semakin mendesak Ukraina. Akan tetapi, emosi positif tetap harus digunakan terutama dalam usaha penyelesaian konflik di kemudian hari. Kebencian, dendam, dan pembalasan kepada negara Rusia hanya akan menghasilkan repetisi konflik yang tidak berujung.
Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.