HomeRuang PublikInilah Problem Megawati

Inilah Problem Megawati

Oleh Muchyar Yara

Akhir-akhir ini, pernyataan Ketua Umum (Ketum) PDIP Megawati Soekarnoputri banyak menuai kontroversi – mulai dari lelucon-lelucon yang dilontarkan saat pidato HUT ke-50 PDIP hingga komentarnya terhadap ibu-ibu pengajian. Apa sebenarnya problem Megawati?


PinterPolitik.com

Selama beberapa waktu terakhir ini, pernyataan, komentar dan sikap Ibu Ketua Umum (Ketum) PDIP Megawati Soekarnoputri banyak menjadi trending topic di media sosial, seperti  komentar tentang minyak goreng, menerima gelar profesor kehormatan, berbagai guyonan di peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-50 PDIP, dan, terakhir, kritiknya soal ibu-ibu yang gemar ikut acara pengajian. Sebagian masyarakat menganggap pernyataan, komentar, kritik, dan sikap Megawati adalah nyeleneh (sinis dan menyebalkan).

Tanpa bermaksud mengesankan bahwa penulis mengenal pribadi Megawati, pada awal Reformasi, penulis sempat berinteraksi secara dekat dengan beliau dan, bahkan, pernah beberapa kali mendapatkan tugas dari beliau untuk melakukan urusan-urusan politik tertentu.

Sebagai pribadi sesungguhnya, Megawati merupakan figur yang tidak senang banyak bicara (bahkan cenderung pendiam). Diapun tidak menyukai orang yang banyak bicara. Orang-orang seperti ini dijulukinya “talkative” (senang bicara).

Selama menjadi anggota DPR di masa Orde Baru. Megawati sangat jarang – bahkan mungkin tidak pernah – berkomentar. Demikian juga ketika terjadi Peristiwa 27 Juli 1976, Megawati sama sekali tidak berkomentar. 

Selain itu, Megawati merupakan figur yang tertutup. Hal ini disebabkan pengalaman pribadinya sebagai anak Presiden pertama RI Ir. Soekarno (Bung Karno) yang telah berusia remaja pasca-tahun 1965.

Sebagai remaja, Megawati mulai berkegiatan dalam berbagai aktivitas kemasyarakatan. Bersama kakaknya, Guntur Soekarnoputera, Megawati senantiasa diawasi oleh aparat intelijen Orde Baru. 

Megawati selalu berusaha menghindari pengawasan intelijen tersebut layaknya bermain kucing-kucingan. Lama-kelamaan, Megawati sangat paham tentang cara kerja dan cara berpikir intelijen. Hal ini tanpa disadarinya mempengaruhi juga caranya berpikir dan bertindak.

Ketika masa Orde Baru, jika Megawati akan mengadakan pertemuan dengan seseorang di suatu tempat – yang mana biasanya dirahasiakan, maka dia akan pergi ke tempat pertemuan itu dengan berganti-ganti mobil sampai dua atau tiga kali agar tidak bisa diikuti oleh aparat intelijen.

Karena dipengaruhi cara berpikir intelijen ini, Megawati cenderung berhati-hati – kalau tidak bisa dikatakan “curiga” – kepada setiap orang yang tidak dikenalnya sehingga dia tidak akan pernah sepenuhnya terbuka kepada orang lain, bahkan terhadap orang-orang terdekatnya agar tidak mengetahui keseluruhan apa yang dilakukannya. 

Demikian juga terhadap pengurus partainya, hal mana bukan bermaksud negatif. Cara ini semata-mata untuk menjaga agar apa yang sedang dilakukannya tidak tersebar dan diketahui pihak-pihak yang tidak berkepentingan sehingga setiap ucapan atau tindakan Megawati perlu dipahami dari pengaruh cara berpikir dan bertindak intelijen.

Jadi, komentar dan ucapan-ucapan Megawati di atas yang dinilai nyeleneh harus dipahami di antara dua makna, yaitu (1) memang sebagai ungkapan pemikirannya asli atau (2) sebagai taktik untuk mengalihkan perhatian dari persoalan sesungguhnya.

Penulis menduga sikap nyeleneh Megawati tersebut sebenarnya untuk menutupi dua persoalan besar yang sedang dihadapinya. 

Baca juga :  Ke Mana Jokowi Akan Berlabuh?

Persoalan pertama adalah Megawati harus dapat segera menetapkan calon presiden (capres) dari kader-kader partainya. Capres ini sangat diharapkan untuk terpilih menjadi presiden karena kandidat ini besar kemungkinannya akan menjabat selama dua periode (lima tahun).

Persoalan kedua adalah Megawati sadar betul bahwa, dalam waktu dekat ke depan, dia harus melepaskan jabatannya sebagai Ketum PDIP – mengingat faktor usia. Untuk itu, dia harus dapat menentukan siapa yang tepat untuk menggantikannya sebagai Ketum yang mampu menjaga integritas dan keutuhan partainya serta melindungi partai dari upaya cawecawe pihak luar – khususnya pihak pemerintah yang terpilih pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 nanti. 

Kedua persoalan di atas saling berkaitan satu dan lainnya. Bilamana salah di dalam memilih penggantinya sebagai Ketum PDIP, bukannya mustahil akan berakibat fatal terhadap partai yang didirikan dan dibangunnya itu.

Siapapun yang terpilih menjadi presiden akan tergoda untuk berupaya “menjinakkan” PDIP guna mengamankan dan melancarkan jalannya kekuasaannya – mengingat sebagai partai besar PDIP tentunya mempunyai anggota DPR yang juga banyak yang mana dapat mempengaruhi pelaksanaan kekuasaannya.

Untuk itu presiden yang bersangkutan akan tergoda untuk “cawecawe” atau “mengobok-obok” dan, jika mungkin, membawa PDIP ke dalam pengaruhnya atau, lebih jauh lagi, jika mungkin, “mengambil alih” kepemimpinan PDIP jika kepemimpinan partai yang ada tidak mau diajak bekerja sama mendukung pemerintahannya. 

Oleh karena itu, untuk kepentingan PDIP, hal paling ideal adalah jika presidennya berasal dari kadernya sendiri. Itupun dengan catatan kader sendiri itu harus setia kepada ajaran Bung Karno dan trah Soekarno.

Guna mencegah dan menangkal obokobok dari pihak pemerintah atau presiden inilah, diperlukan Ketum (pengganti Megawati) yang kuat dan didukung penuh oleh segenap warga PDIP. Di sinilah keterkaitan antara dua persoalan di atas. 

Masalahnya adalah justru bagaimana Megawati sangat kesulitan untuk mengatasi kedua persoalan tersebut. Mengapa demikian?

Megawati mengalami kesulitan untuk menentukan capres dari kader partainya sendiri. Saat ini, ada dua capres potensial yang menonjol dari kader partainya, yaitu Gubernur Jawa Tengah (Jateng) Ganjar Pranowo dan, putrinya sendiri, Puan Maharani. Namun, keduanya memiliki kelemahan masing-masing.

Ganjar dinilai kurang loyal dan kurang menghargai nilai-nilai kepatutan yang berlaku di kalangan PDIP. Sebelum mendapat “restu” dari Ketum, Ganjar dinilai sudah mengambil langkah-langkah persiapan sebagai capres – padahal berdasarkan AD/ART PDI-P hak dan wewenang menetapkan capres berada di tangan Ketum. 

Bahkan, muncul juga dugaan kuat bahwa Ganjar justru mendapat dukungan dan restu dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) – yang mana tentunya membuat Megawati sangat tidak berkenan sekalipun elektabilitas Ganjar lumayan tinggi.

Sementara, Puan juga sudah melakukan langkah konkret dan nyata guna mempersiapkan dirinya sebagai capres dari PDIP meskipun belum ada juga restu dari ibunya. Namun, semua tahu bahwa, jika Puan berkehendak, semua pun harus mengikuti – termasuk oleh ibunya sendiri. Meskipun elektabilitasnya sangat rendah dan sulit diharapkan akan memenangkan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, dia tetap bersikukuh mau maju sebagai capres.

Baca juga :  Dompet Berjalan Presiden RI? #PART2

Dari pengalaman di masa lalu, maka diperkirakan, dalam hal penetapan capres ini, Megawati  akan mengakomodir keinginan Puan menjadi capres dari PDIP karena, jika tidak, akan berisiko rusaknya hubungan antara dia dan putrinya itu.

Di samping itu dengan ditetapkannya Puan sebagai capres, Megawati berharap Puan akan melepaskan keinginannya menjadi Ketum PDIP sehingga, bagi Megawati, akan lebih mudah memilih atau menetapkan Ketum pengganti yang kuat dan yang akan mampu menangkal obokobok dari pemerintah yang akan datang meskipun akan kehilangan kursi presiden. 

Dengan pertimbangan ini, bagi Megawati, keutuhan PDIP lebih penting ketimbang kursi presiden. Selain itu, mengingat usia Puan juga masih sangat muda dan masih mempunyai kesempatan untuk maju sebagai capres sepuluh tahun yang akan datang, Puan bisa meningkatkan kemampuan dan pengalaman – termasuk meningkatkan elektabilitasnya – yang mana akan diupayakan agar Puan menduduki jabatan strategis di negara ini, seperti melanjutkan jabatannya saat ini sebagai Ketua DPR RI atau posisi menteri pada pemerintahan yang akan datang.

Sementara itu, dapat diperkirakan Puan tidak akan sanggup memimpin PDIP yang mana secara eksternal dia harus mampu menangkal upaya “intervensi” dari pemerintahan yang akan datang, serta secara internal menjaga keutuhan partai dari gangguan perpecahan di antara para anggotanya yang akan dipicu oleh para kader PDIP pendukung Ganjar atau munculnya kembali sentimen “fusi” oleh kader-kader yang berasal dari partai-partai yang tergabung di dalam PDIP (Fusi). 

Namun, secara genealogis, Puan tidak dapat dianggap sebagai trah Sukarno – mengingat di Indonesia dianut prinsip patrilineal (garis ayah) sehingga lebih cocok jika Puan dikatakan sebagai trah Taufik Kiemas.

Jika Puan tidak menjadi Ketum PDIP menggantikan Megawati, lalu, siapakah yang akan dipilih oleh Megawati sebagai penggantinya? Pertanyaan ini akan sulit dijawab sekarang, apalagi mengingat Megawati merupakan figur yang tertutup sehingga jawabannya hanya Megawati-lah yang akan bisa menjawabnya. 

Namun, sebagai ancang-ancang kiranya dapat dikemukakan kriteria calon Ketum PDIP pasca-Megawati, yaitu sebagai berikut:

  1. Calon tersebut harus dikenal baik dan dekat dengan Megawati dan akan diterima pula oleh Puan Maharani. Artinya, Puan tidak berkeberatan jika calon yang bersangkutan diangkat menjadi Ketum PDIP menggantikan Megawati.
  2. Calon tersebut menpunyai cukup pengalaman dengan praktik kehidupan kenegaraan dan pemerintahan, serta mempunyai jaringan politik yang luas.
  3. Calon tersebut sudah cukup mengenal seluk beluk PDIP.

Nah, dari kriteria-kriteria ini, siapakah kira-kira calon tersebut? 

Berdasarkan kriteria di atas, sebenarnya penulis dapat menduga-duga siapakah kira-kira figur yang akan dipilih untuk menggantikan Megawati sebagai Ketum PDIP. Namun, tampaknya tidak etis jika nama figur tersebut penulis sebutkan di sini. 

Sebaiknya, kita tunggu saja dari Ibu Megawati. Sekian dan terima kasih.



Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Menyingkap Sportwashing dalam Laga Indonesia-Bahrain

Kontroversi ini perpanjang daftar kritik terhadap wasit dari Timur Tengah, di tengah dugaan bias dan pengaturan skor sepak bola internasional.

Unlike Jokowi, Prabowo Will Be His Own Man

More assertive foreign policy and democratic backsliding are most likely on the horizon as Prabowo Subianto becomes the next Indonesian president.

Fenomena Gunung Es “Fake Review”

Fenomena fake review kini banyak terjadi di jual-beli daring (online). Siapakah yang dirugikan? Konsumen, reviewer, atau pelaku usahakah yang terkena dampaknya? PinterPolitik.com Sejak berlangsungnya proliferasi internet...