Oleh: Muhammad Ferdiansyah, Shafanissa Arisanti Prawidya, Yoseph Januar Tedi
Dalam dua dekade terakhir, nama Vladimir Putin telah identik dengan perpolitikan di Rusia. Sejak periode awal kepemimpinannya di tahun 1999 sampai hari ini, dapat dikatakan bahwa Putin berhasil menciptakan sistem kepemimpinan stabil dan dominan, yang biasa disebut dengan demokrasi terpimpin atau managed democracy.
Sistem ini pada dasarnya tetap mempertahankan mekanisme demokrasi formal seperti pemilu, namun pelaksanaannya diimplementasikan dengan kontrol ketat, guna memastikan hasil yang menguntungkan dan sesuai keinginan rezim penguasa.
Melalui berbagai strategi yang meliputi kontrol institusi, dominasi media, hingga manipulasi hukum dan sistem pemilu, Putin berhasil mencitrakan dirinya sebagai sosok pemimpin yang kuat dan dibutuhkan Rusia. Namun, terlepas dari stabilitas politik yang berhasil diwujudkan pada periode kepimimpinannya, terdapat beberapa hal yang harus dikorbankan, seperti degradasi kebebasan politik, minimnya partisipasi oposisi, hingga proses pemilu yang cenderung tidak sehat. Oleh karena itu, artikel ini berupaya untuk mendalami strategi dan manuver Putin dan lingkarannya untuk mendominasi perpolitikan hingga mewujudkan stabilisasi di dalamnya, khususnya pada periode Pemilu Presiden Rusia 2018 dan 2024.
Transisi Politik Pasca-Soviet: Awal dari Era Putin
Runtuhnya Uni Soviet di tahun 1991, membawa Rusia masuk ke dalam periode transisi yang penuh gejolak. Fragmentasi partai politik, melemahnya institusi negara, hingga krisis ekonomi, menciptakan ketidakstabilan luar biasa kala itu. Hal ini, kian diperparah dengan elit-elit politik Rusia kala itu yang berupaya memanfaatkan kondisi untuk meningkatkan posisi dan pengaruhnya, di mana sering kali mengorbankan aspirasi masyarakat untuk demokrasi sesungguhnya.
Ketika Putin mengambil alih tampuk kepemimpinan Rusia sebagai Presiden di tahun 1999, ia memanfaatkan kondisi ini dengan sangat baik untuk mencitrakan diri sebagai pemimpin yang kuat dan mampu membawa stabilitas. Melalui berbagai pidatonya, Putin sering kali menekankan pentingnya negara yang kuat untuk menghadapi berbagai tantangan di tingkat domestik maupun internasional. Hebatnya, Putin berhasil memainkan narasi ini dengan sangat baik, sehingga menarik bagi masyarakat yang lelah dengan ketidakpastian, serta menjadikannya sebagai figur pemimpin yang dihormati di tengah fragmentasi politik di Rusia.
Kompetisi yang Tidak Seimbang dalam Pemilu 2018
Pemilu presiden 2018 menjadi salah satu contoh nyata bagaimana Putin menggunakan demokrasi terpimpin untuk memperkuat kekuasaannya. Alexei Navalny yang berperan sebagai oposisi utama Putin mendapat larangan untuk mencalonkan diri dengan alasan hukum. Central Election Commission (CEC) menolak pencalonannya, dengan dalih kasus pidana yang dianggap oleh banyak pihak bermotif politik. Tanpa Navalny, kompetisi pemilu presiden menjadi begitu timpang. Beberapa kandidat lain seperti Pavel Grudinin dari Partai Komunis dan Ksenia Sobchak sebagai jurnalis, tidak memiliki sumber daya atau pengaruh yang cukup kuat untuk menyaingi Putin. Meskipun Grudinin sendiri memiliki basis yang berasal dari Partai Komunis, dirinya hanyalah dianggap sebagai kandidat pelengkap dalam menciptakan ilusi pluralisme politik.
Melalui media yang dikontrol negara, Putin berhasil memposisikan dirinya sebagai simbol stabilitas dan kekuatan nasional. Putin bahkan menggunakan strateginya untuk tidak menghadiri debat publik dengan tujuan memperkuat citra bahwa dirinya adalah pemimpin yang sibuk mengurus negara, bukan seorang politisi yang berfokus dalam meraih jabatan dalam sebuah kontestasi pemilu. Kampanye Putin tersebut dirancang untuk mencapai target “70/70,” yaitu partisipasi pemilih sebesar 70% dan dukungan suara sebesar 70%. Pada akhirnya, hasil pemilu menunjukkan kemenangan mutlak oleh Putin yang berhasil memperoleh 77,53% suara.
Kontrol Media dan Manipulasi Sistem Pemilu
Salah satu strategi utama yang mendukung dominasi Putin di Rusia adalah kontrolnya yang ketat terhadap media. Di bawah pemerintahannya, lanskap media Rusia telah berubah menjadi alat propaganda yang efektif untuk mempertahankan legitimasi kekuasaan. Media pro-pemerintah yang mencakup jaringan televisi nasional terbesar dan sebagian besar surat kabar utama secara konsisten mempromosikan narasi yang mendukung Putin. Sementara itu, kandidat oposisi hanya mendapatkan liputan yang sangat terbatas di media arus utama Rusia. Ketika diberitakan, mereka sering kali digambarkan secara negatif atau tidak relevan, sehingga sulit bagi masyarakat untuk mengenal atau mendukung kandidat alternatif. Praktik tersebut menciptakan monopoli informasi di mana masyarakat hanya terpapar satu perspektif dominan, yaitu narasi pemerintah.
Selain kontrol media, proses verifikasi pencalonan presiden di Rusia kerap dimanipulasi dengan tujuan mendiskualifikasi kandidat oposisi yang dianggap memiliki peluang besar menantang Putin. Berbagai alasan teknis sering kali dijadikan dasar untuk menolak pencalonan kandidat tersebut. Misalnya, ketidaklengkapan dokumen atau dugaan pelanggaran administratif dijadikan sebagai tuduhan yang menghalangi seorang kandidat dalam mencalonkan diri. Strategi tersebut tidak hanya membatasi jumlah kandidat yang dapat bersaing, melainkan juga mengirim pesan kepada oposisi bahwa tantangan terhadap rezim akan menghadapi hambatan yang hampir tidak mungkin diatasi. Akibatnya, medan kompetisi politik di Rusia menjadi tidak adil.
Dinamika Perang dengan Ukraina dan Pemilu Rusia 2024
Invasi Rusia ke Ukraina di tahun 2022, membawa tantangan tersendiri bagi Presiden Putin sendiri. Satu sisi, konflik ini memperburuk sanksi ekonomi dan isolasi internasional yang dijatuhkan pada Rusia. Namun di sisi lain, Pemerintah Rusia melalui lingkaran Kremlin, memandang konflik ini sebagai ‘kesempatan’ untuk menggalang dan memobilisasi dukungan di tingkat domestik. Hal ini, tercermin melalui narasi nasionalisme yang terus digaungkan, khususnya dengan penekanan retorika bahwa Rusia sedang mengahadapi ancaman eksternal dari negara-negara Barat.
Pemilu Presiden Rusia 2024 menjadi salah satu ujian terbesar bagi Putin, khususnya terkait dengan upaya mempertahankan kekuasaannya di tengah tantangan yang ada. Guna mewujudkannya, Salah satu menuver yang diupayakan adalah amandemen konstitusi di tahun 2020 mengingat hal ini memungkinkan Putin untuk berkuasa hingga 2036. Selain itu, Pemilu Presiden Rusia 2024 juga memperkenalkan metode baru, yakni pemungutan suara elektronik (e-voting) yang dilaksanakan di banyak wilayah. Meskipun diklaim meningkatkan aksesibilitas, banyak pihak skeptis dan mengkhawatirkan potensi manipulasi melalui penggunaan metode ini, mengingat kurangnya transparansi dalam proses penghitungan suaranya.
Pemilu di Wilayah Pendudukan Rusia sebagai Ilusi Demokrasi
Pemilu di wilayah pendudukan Rusia seperti Donetsk dan Luhansk menarik perhatian dunia karena dilaksanakan di bawah situasi yang penuh ketegangan dan darurat militer. Meski secara formal disebut sebagai upaya menjalankan proses demokrasi, realitas di lapangan kerap menunjukkan cerita yang berbeda. Salah satu metode yang paling kontroversial adalah pemungutan suara melalui kunjungan rumah ke rumah. Dalam kondisi ideal, metode ini bertujuan untuk memfasilitasi warga yang mungkin tidak bisa datang ke tempat pemungutan suara karena alasan tertentu seperti keterbatasan fisik atau kendala logistik. Namun, di wilayah yang sedang berada dalam konflik, metode ini justru menciptakan situasi yang sangat rentan terhadap manipulasi dan tekanan.
Pemilu di Donetsk dan Luhansk memiliki dimensi simbolis yang penting bagi pihak berwenang. Dengan melaksanakan pemilu, mereka berusaha menunjukkan legitimasi politik di mata warga lokal dan komunitas internasional. Namun, ketika proses tersebut dilaksanakan dalam suasana ancaman dan intimidasi, legitimasi yang mereka klaim menjadi sangat diragukan. Dalam konteks yang lebih luas, pemilu di wilayah pendudukan ini mencerminkan tantangan serius bagi demokrasi di tengah konflik bersenjata. Ketika suara rakyat tidak dapat diungkapkan dengan bebas, pemilu kehilangan maknanya sebagai ekspresi dari kehendak masyarakat. Sebaliknya, justru menjadi sebuah alat untuk memperkuat kontrol kekuasaan di bawah kedok demokrasi.
Analisis Teori: Demokrasi Terpimpin dan Dominasi Politik Putin
Keadaan pemilu seperti ini dapat dijelaskan melalui teori demokrasi terpimpin, yang dicetuskan oleh Vladislav Surkov. Teori ini menjelaskan bagaimana proses demokrasi yang berjalan dapat dikendalikan oleh elit kekuasaan untuk menjaga stabilitas politik. Namun pada kenyataanya, sistem ini lebih banyak digunakan untuk mempertahankan rezim yang berkuasa, seperti yang diterapkan Rusia di bawah Vladimir Putin. Hal seperti pemilu, kebebasan berbicara, dan konstitusi yang merupakan syarat demokrasi tetap ada secara formal, namun dimodifikasi dan diatur sedemikian rupa untuk menghasilkan sistem yang terkontrol untuk tujuan rezim penguasa.
Hal ini dicapai oleh rezim Putin melalui manipulasi pemilu, penghapusan kandidat oposisi seperti Alexei Navalny pada 2018, dan perubahan konstitusi 2020 yang memungkinkan Vladimir Putin berkuasa hingga 2036. Terlebih lagi, Adanya penggunaan retorika nasionalisme dan narasi ancaman Barat selama invasi Ukraina turut digunakan oleh rezim untuk melegitimasi kepemimpinan kuat, sementara kontrol media dan sistem e-voting memperkuat dominasi dengan membatasi transparansi informasi, terutama dapat mendelegitimasi kekuasaan Putin di masyarakat. Dengan demikian, dominasi politik yang ada akan terus dipertahankan untuk memastikan kekuasaan tetap di tangan rezim yang berkuasa saat ini.
Kesimpulan: Dominasi yang Berkelanjutan
Dominasi politik Vladimir Putin di Rusia adalah hasil dari strategi politik yang terencana dan dibangun dari awal kepemimpinan Putin di tahun 2000. Strategi ini melibatkan kontrol atas institusi, media, dan narasi nasional. Sistem demokrasi terpimpin memungkinkan Putin untuk menciptakan stabilitas di tengah tantangan domestik dan internasional, Namun dengan bayaran berupa kebebasan politik dan kompetisi politik yang sehat.
Pemilu 2018 dan 2024 memperlihatkan bagaimana sistem politik ini bekerja untuk memperkuat kekuasaan rezim yang ada. Rezim memastikan bahwa Putin tetap menjadi figur sentral dalam politik Rusia. Dengan Putin sebagai figur sentral, maka rezim bisa dengan mudah memperoleh keuntungan politik di bawah pemerintahannya. Dengan demikian, Selama Putin tetap memegang kendali pemerintahan, Maka masa depan demokrasi di Rusia akan terus berada di bawah bayang-bayang kendali otoritarian.
Artikel ini ditulis oleh Muhammad Ferdiansyah, Shafanissa Arisanti Prawidya, dan Yoseph Januar Tedi.
Muhammad Ferdiansyah, Shafanissa Arisanti Prawidya, Yoseph Januar Tedi adalah Mahasiswa Universitas Indonesia jurusan Ilmu Politik.
Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.