Site icon PinterPolitik.com

Hari Bumi: Refleksi Politik Lingkungan Indonesia

Hari Bumi Refleksi Politik Lingkungan Indonesia

Presiden Jokowi ketika meninjau penangana kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang terjadi di Pelalawan, Riau, pada September 2019 lalu. (Foto: Antara)

Selama setengah abad, Hari Bumi telah diperingati di berbagai negara, termasuk Indonesia. Bagaimana kira-kira refleksi politik lingkungan di Indonesia selama ini?


PinterPolitik.com

Hari Bumi tahun ini diperingati dengan keheningan. Tidak ada aksi long march atau pun aksi serupa lainnya yang mengumpulkan massa. Padahal, di tahun-tahun sebelumnya, aksi protes terhadap kerusakan lingkungan menjadi agenda rutin Hari Bumi yang mungkin tidak perlu disuarakan dulu di tahun ini.

Bumi sedang berduka dengan kehilangan ribuan korban jiwa akibat pandemi Corona. kondisi ekonomi pun turut terpukul dengan virus yang mulai menyebar sejak Januari lalu. Namun, di balik kabar buruk, ada kabar baik.

Berbagai media memberitakan bahwa kondisi lingkungan membaik semenjak penerapan social distancing maupun lockdown di berbagai negara. Polusi udara di New York turun 50%, emisi karbon di China turun 25%, dan langit Jakarta tampak biru cerah dalam satu bulan ini.

Hari Bumi merupakan momen bagi masyarakat dunia untuk mengapresiasi planet yang kita tempati ini. Sejarah Hari Bumi tidak lepas dari peran senator Amerika Serikat yang bernama Gaylord Nelson.

Berawal dari keprihatinan Nelson atas kejadian tumpahan minyak besar-besaran di Santa Barbara (California) yang mengakibatkan kerusakan lingkungan, Nelson kemudian melakukan aksi protes yang puncaknya pada tanggal 22 April 1970. Majalah TIME mencatat sekitar 20 juta orang terlibat dalam aksi demonstrasi di Fifth Avenue New York.

Tidak hanya kasus tumpahan minyak di Santa Barbara, demonstrasi ini mengusung berbagai tema kerusakan lingkungan.  Aksi protes ini ternyata berhasil menekan Pemerintah AS untuk mengeluarkan kebijakan yang “pro lingkungan’.

UU Pendidikan Lingkungan Nasional, UU Air Bersih, UU Perlindungan Spesies yang Terancam Punah, UU Insektisida dan Fungisida lahir setelah aksi protes ini. Keberhasilan aksi protes ini merupakan tonggak penting dalam sejarah aktivisme lingkungan dan sejak saat itu tanggal 22 April ditetapkan sebagai “Hari Bumi”.

Kabar ini menyebar ke seluruh penjuru dunia. Tahun-tahun berikutnya, negara-negara di benua Asia, Amerika, Australia, Afrika, Eropa secara serentak melakukan aksi protes terhadap kerusakan lingkungan. Indonesia juga termasuk negara yang mengikuti tren global tersebut.

Indonesia merupakan negara yang terkenal akan potensi sumber daya alam yang melimpah. Hutan hujan tropis yang terbentang luas dengan keanekaragaman hayati yang tinggi serta kekayaan alam bawah laut yang melimpah merupakan anugerah yang tak ternilai harganya. Kekayaan sumber dalam alam ini menjadi sumber daya strategis bagi pembangunan negara, namun kerap dipolitisasi oleh berbagai aktor.

Akibatnya kekayaan alam ini berbanding lurus dengan tingginya kasus kerusakan lingkungan di Indonesia. Kebakaran hutan, pembalakan liar, perdagangan kayu ilegal, korupsi di sektor sumber daya alam, perdagangan ilegal satwa liar, konflik tenurial lahan hutan, pencemaran laut, tingginya emisi karbon merupakan deretan permasalahan lingkungan yang sudah ada sejak dulu kala.

Bagaimana sumber daya alam dipolitisasi? Pada peringatan Setengah Abad Hari Bumi ini, mari kita tengok kembali perjalanan politik lingkungan di Indonesia melalui diskursus lingkungan yang berkembang. Setidaknya terdapat tiga diskursus lingkungan yang berkembang di Indonesia, yaitu diskursus modernisasi ekonomi, pembangunan berkelenjutan, dan civic environmentalism.

Diskursus Modernisasi Ekonomi  

Bas Arts dalam tulisannya yang berjudul Discourse, Actor, and Insturments in International Forest Governance mengungkapkan bahwa diskursus modernisasi ekonomi dicirikan dengan industralisasi dan privatisasi sumber daya alam oleh negaara.

Diskursus ini berkembang pada pertengahan abad 20. Modernisasi ekonomi didorong karena hancurnya perekonomian dunia pasca Perang Dunia II. Di Indonesia, diskursus ini berkembang pada era kepemimpinan Presiden Soeharto.

Di awal era Orde Baru, Soeharto mengusung paradigma pembangunan ekonomi sebagai landasan kebijakan nasional. Kekayaan sumber daya alam Indonesia dijadikan sebagai tumpuan utama devisa negara.

Soeharto memberikan izin konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH) melalui Undang-Undang Kehutanan No. 5/1967 dan Peraturan Pemerintah No. 21/1970. Akibatnya, keran investasi mengucur deras dan sektor kehutanan menjadi penyumbang devisa negara terbesar kedua pada saat itu.

Pada tahun 1979, Indonesia menjadi negara pengekspor kayu bulat yang lebih besar dari seluruh negara di Afrika dan Amerika Latin (WRI, 2000). Namun, pertumbuhan ekonomi yang pesat berimplikasi pada rusaknya hutan Indonesia.

Eksploitasi hutan telah melebihi batas wajarnya. Stereotip “hutan merupakan sumber daya yang dapat diperbaharui” membuat pemerintah lupa kalau memperbaharui hutan membutuhkan waktu yang lama.

Pemerintah Indonesia secara resmi melarang ekspor kayu bulat pada tahun 1985. Kebijakan larangan ekspor kayu bulat memaksa pengusaha hutan untuk mengembangkan industri pengolahan kayu untuk dapat mengubah kayu bulat menjadi produk yang dapat diekspor.

Pada saat itu, produk kayu lapis menjadi komoditas yang dipilih oleh pengusaha, terutama karena proses pengolahannya yang sederhana. Namun, industri pengolahan kayu ini sangat monopolistik.

Monopoli industri kehutanan ini akhirnya menimbulkan masalah baru, seperti  konflik tenurial, kemiskinan masyarakat desa sekitar hutan, dan korupsi di sektor kehutanan. Permasalahan ini pun diwariskan Seoharto ke era Reformasi.

Diskursus Pembangunan Berkelanjutan

Diskursus pembangunan berkelanjutan mulai populer setelah publikasi tulisan yang berjudul “Our Common Future”. Pembangunan berkelanjutan dibahas dalam KTT Bumi di Rio de Janeiro pada tahun 1992.

Pembangunan berkelanjutan merupakan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya untuk memenuhi kebutuhan saat ini, tanpa mengurangi kebutuhan yang diperlukan oleh generasi yang akan datang. Brunlant (1987) menjelaskan terdapat tiga aspek penting dalam pembangunan berkelanjutan yaitu aspek lingkungan, ekonomi, dan, sosial.

Tujuan utama pembangunan berkelanjutan adalah mengurangi kemiskinan, mengurangi kesenjangan melalui pemerataan ekonomi, dan mengatasi pemanasan global. Partisipasi publik, kesetaraan global, dan transfer teknologi dari negara maju ke negara berkembang menjadi ciri khas dalam diskursus pembangunan berkelanjutan.

Di Indonesia, telah terjadi pergeseran paradigma pengelolaan hutan oleh negara ke arah pengelolaan hutan bersama masyarakaat. Kebijakan kehutanan sosial/perhutanan sosial telah berkembang di Indonesia sejak 1972 tetapi konsep sosial yang dikembangkan lebih dekat kepada menyelematkan kepentingan aset sumberdaya hutan dari kehancuran dan kerusakan, bukan atas dasar model-model egalitarian dan partnership yang berkeadilan (Awang, 2019).

Kebijakan ini terus berkembang, hingga Presiden Jokowi juga menggunakan Perhutanan Sosial sebagai salah satu prioritas kebijakan di sektor kehutanan pada awal masa kepemimpinannya. Pada era Jokowi ini, prinsip egalitarian dan partnership mulai diperhatikan.

Kebijakan Perhutanan Sosial bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan yang sering termarginalkan, sekaligus untuk menjaga fungsi lingkungan hutan. Kebijakan perhutanan sosial diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 83 Tahun 2016.

Tidak tanggung-tanggung, Pemerintah Indonesia berkomitmen meningkatkan luas lahan hutan yang dikelola masyarakat sebesar 12,7 juta hektar dalam rentang 5 tahun (2014-2019). Namun hingga April 2019, baru 2,5 juta hektar lahan hutan yang diberikan kepada masyarakat.

Diskursus Civic Environmentalism

Diskursus ini dicirikan dengan gerakan akar rumput, pendekatan bottom-up, dan pembentukan NGO lingkungan. Berbagai NGO lingkungan baik NGO internasional maupun NGO domestik mulai terbentuk di Indonesia. Emil Salim (mantan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup) mendirikan KEHATI pada tahun 1994 sebagai NGO lingkungan yang bertujuan untuk pelestarian keanekaragaman hayati secara berkelanjutan di Indonesia. Berbagai program lingkungan telah dikerjakan KEHATI seperti restorasi dan rehabilitasi, pengelolaan sampah, pelestarian satwa (gajah sumatra dan badak kalimantan), dan progam rehabilitasi mangrove.

Nama-nama besar NGO lingkungan internasional pun turut melebarkan sayapnya ke Indonesia, seperti World Wildlife Fund (WWF). Pada tahun 1996, WWF resmi menjadi entitas legal yang berbadan hukum sesuai ketentuan di Indonesia.

Telah banyak program lingkungan yang dikerjakan WWF dengan Pemerintah Indonesia. WWF turut berkontribusi atas dikeluarkannya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 13 Tahun 2012 Tentang Tata Ruang Pulau Sumatra yang mengedepankan prinsip-prinsip berkelanjutan, Deklarasi Bersama Kepulauan Kei Kecil sebagai kawasan perlindungan laut, penyusunan Rencana Aksi dan Strategi Nasional Konservasi Orangutan, Badak, dan Harimau Sumatera, dan masih banyak lagi. Namun sayangnya, Pemerintah Indonesia secara resmi memutus kerja sama dengan Yayasan WWF Indonesia sejak bulan Januari 2020.

Politik lingkungan tidak dapat dipisahkan dari tanggung jawab negara dan masyarakat. Agenda lingkungan perlu mendapatkan prioritas khusus dalam kebijakan nasional.

Perlahan Indonesia telah memperhatikan aspek partisipasi, kesetaraan, dan pendekatan bottom-up dalam kebijakan lingkungan. Namun demikian, agenda lingkungan ini tumbuh dan dihdapkan pada aneka tuntutan baru yang kesemuanya bermuara pada segala hal yang sensitif terhadap lingkungan.

Tulisan milik Muhammad Haidar Daulay, S. Hut., Asisten Peneliti di Sebijak Institute (Sejarah dan Kebijakan Kehutanan) Fakultas Kehutanan UGM.

“Disclaimer: Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.”

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version