Site icon PinterPolitik.com

Hagia Sophia dan Kebangkitan Nasionalis-Religius di Turki (Bagian II)

Hagia Sophia dan Kebangkitan Nasionalis-Religius di Turki

Presiden Turki Recep Tayyip Erdoğan mengunjungi Hagia Sophia yang statusnya diubah menjadi masjid. (Foto: Liputan 6)

Pada 10 Juli lalu, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan secara resmi mengumumkan bahwa Hagia Sophia di Istanbul akan kembali dibuka sebagai masjid untuk umat Islam. Keputusan itu sontak memancing reaksi dan polemik di seluruh dunia. Sayangnya, para pengamat politik umumnya menilai keputusan tersebut melalui kacamata tunggal saja: semua itu hanya demi kepentingan politik Erdogan menghadapi pemilu 2023. Padahal, dalam kasus Hagia Sophia, menurut saya Erdogan sedang bermain di panggung yang jauh lebih besar.


PinterPolitik.com

Teokrasi atau Nasionalis-Religius?

Meskipun Hagia Sophia adalah simbol terkemuka dari sejarah Ottoman, yang merupakan sebuah kesultanan Islam, namunrekonstruksi Hagia Sophia yang kini berlangsung saya kira tidak terutama menjadi cermin dari kebangkitan “Islamisme” di Turki, sebagaimana yang melekat pada figur Erdogan, melainkan lebih merupakan cermin kebangkitan semangat nasionalis-religius. Ini adalah salah satu momen puncak arus  desekularisasi di Turki.

Secara   politik,   dengan   langkah   kuda   ini   Erdogan   bukan   hanya   bisa mengkonsolidasi  dukungan  dari  kaum konservatif  Turki—yang sejak  lama menginginkan masuk ke Hagia Sophia tidak dengan tiket, melainkan dengan airwudhu; ia juga akan mendapatkan dukungan dari kelompok nasionalis dan  romantis  pan-Turkisme.  Ini  juga  yang menjelaskan  kenapa  banyak kelompok oposan Erdogan cenderung diam dalam menyikapi isu ini, padahal sebelumnyamereka banyak menentang langkah itu. Sebab, isu Hagia Sophia ini memang bukan lagi soal Erdogan, melainkan soalsemangat kebangsaan bangsa  Turki  secara  umum. Dalam  pidatonya 10  Juli  lalu, Erdogan  sendiri memang  tidak meletakkan  perubahan  status  Hagia  Sophia  itu  di  jalan Islamisme, melainkan sebagai jalan spiritual bagi bangsaTurki.

Orang Kristen dan Islam di Turki mungkin memiliki imajinasi berbeda mengenai Hagia Sophia, namun pengembalian status tempat ibadah bagi bangunan yang telah berumur hampir seribu lima ratus tahun itu adalah jalan yang butuh dilalui bangsa Turki untuk terhubung kembali pada masa lalunya. Lagi pula, perubahan status sebagai masjid itu secara praktis memang tidak mengambil apa pun Hagia Sophia dari posisinya sebagai warisan budaya dunia. Seperti yang disampaikan pemerintah Turki, situs bersejarah itu akan terus dilestarikan dan dilindungi, dan akan tetap terbuka untuk umum dengan cara yang sama seperti Masjid Biru dibuka untuk seluruh pengunjung, dari semua bangsa dan agama.

Perubahan status Hagia Sophia sebagai masjid kembali memang penuh makna simbolik bagi bangsa Turki. Apalagi,ibadah pertama di Masjid Hagia Sophia direncanakan baru akan dimulai pada 24 Juli nanti. Tanggal itu adalah tanggalbersejarah bagi Turki, yaitu hari peringatan Perjanjian Lausanne.

Pada tanggal 24 Juli 1923, di Lausanne, Swiss, Turki harus menandatangani perjanjian damai dengan Sekutu.Perjanjian tersebut secara resmi menyudahi konflik yang terjadi antara Kesultanan Ottoman dan Sekutu sejak permulaan Perang  Dunia  I,  yang  sekaligus  membuat  Ottoman  harus  menyerahkan sebagian  besar  wilayah  kekuasaannya kepada  Inggris  dan  Italia.  Dengan memilih  tanggal  24  Juli,  Erdogan  seperti  hendak  berbicara  kepada  dunia Barat bahwa  Turki   yang  dulu  kalah   kini   tengah   bangkit  mereklamasi kedaulatannya.

Jadi, menurut saya, terlalu berlebihan memang jika menganggap pengembalian Hagia Sophia adalah simbol kebangkitan teokrasi di Turki. Lebih tepat jika dikatakan bahwa kembalinya Masjid Agung Hagia Sophia adalah simbol kebangkitan semangat nasionalis-religius bangsa Turki.

Santapan-Batin

Dalam konteks politik domestik, banyak yang menyebut jika perubahan status Hagia Sophia adalah cara Erdoganmengalihkan perhatian masyarakat dari resesi ekonomi yang tengah melanda negaranya. Meski relevan, namun kritik ini menurut saya sangat lemah.

Akibat Covid-19, dengan jumlah kasus mencapai 215 ribu orang pada 15 Juli, ekonomi Turki memang telah menderitatekanan besar. IMF memperkirakan Covid-19  akan  membuat  ekonomi  Turki  anjlok  lima  persen,  inflasi  naik menjadi 12 persen, dan pengangguran naik menjadi 17,2 persen. Ini adalah skenario   optimis,  sebab   dalam   skenario pesimis   tingkat  pengangguran diperkirakan bisa mencapai 30 persen.

Sebelumnya, dalam dua tahun terakhir isu ekonomi memang telah menjadi kelemahan Partai Keadilan dan Pembangunan (Adalet ve Kalkınma Partisi/AKP) yang dipimpin Erdogan. Ambruknya lira dan lonjakan inflasi hingga 25 persen telah membuat AKP menelan kekalahan di beberapa kota besar dalam pemilu lokal tahun lalu. Tak heran,banyak pengamat menyebut pemilu lokal tahun lalu sebagai referendum terhadap Erdogan dalam menghadapi krisis. Untuk keluar dari sentimen negatif itu, Erdogan disebut menggunakan isu Hagia Sophia sebagai alat untuk mendongkrakpopularitas.

Seandainyapun Erdogan melakukan itu—dan tak ada yang keliru jika dia benar-benar melakukannya, semua itu terlalu lemah untuk menyangkal dampak perubahan status Hagia Sophia bagi bangsa Turki secara keseluruhan. Apa yangdilakukan Erdogan dengan Hagia Sophia, meminjam istilah Bung Karno, adalah seperti sedang memberi “santapan-batin” bagi bangsa Turki.

Ya, santapan-batin.

Dr. Dipo Alam mewakili Presiden RI SBY menghadiri Pelantikan Presiden Recep Tayyip Erdogan di Istana Çankaya, Ankara, Turki, pada 28 Agustus 2014.

Suatu kali, dikisahkan seorang wartawan asing bertanya kepada Presiden Soekarno, kenapa dia ngotot membikin proyek-proyek mercusuar, padahal anggaran poyek-proyek itu bisa digunakan untuk mengatasi kemiskinan rakyat Indonesia. Dengan berwibawa Soekarno kurang lebih menjawab,

Saya adalah pemimpin. Dan sebagai pemimpin saya bukan hanya berkewajiban memenuhi kebutuhan biologis rakyat saya, tapi juga memenuhi kebutuhan batin mereka. Sebagai bangsa mereka butuh kebanggaan, butuh kehormatan, dan hal-hal semacam itu tak kalah pentingnya dibanding mengatasi perut yang keroncongan. Tanpa kebanggaan dan kehormatan, mereka bisa kehilangan alasan untuk melakukan hal-hal lain.

Itu adalah jawaban Soekarno. Saya kira, meski di satu sisi bisa dianggap apologetik, namun di sisi yang lain jawaban itu mengandung kebenaran. Begitulah seharusnya memang tugas seorang pemimpin.

Saya melihat, apa yang dilakukan oleh Erdogan dengan Hagia Sophia, di luar konteks krisis ekonomi yang tengah dialami Turki, tak ubahnya sedang memberi makanan-batin yang bergizi untuk bangsanya. Apalagi, tak ada seorangpun kepalanegara lain yang juga lolos dari krisis ini. Jadi, lepas dari soal suka atau tidak suka pada langgam politik Erdogan selama ini, keputusan beraninya tadi harus diakui telah menempatkan Erdogan sebagai salah satu pemimpin besar dalam sejarahTurki.

Melalui serambi Masjid Agung Hagia Sophia, ia telah mengembalikan semangat nasionalis-religius ke hati orang Turki, semangatyang sebelumnya telah dimuseumkan oleh rezim nasionalis-sekular Atatürk.

Jakarta, 15 Juli 2020

Tulisan milik Dipo Alam, Ph.D., Sekretaris Jenderal D-8 Organization for Economic Cooperation (D-8), berkantor di Istanbul, Turki (2007-2010).

“Disclaimer: Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.”

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version