HomeRuang PublikGugatan UU Ciptaker Tak Mungkin Menang?

Gugatan UU Ciptaker Tak Mungkin Menang?

Oleh Falis Aga Triatama

Masyarakat sipil berupaya menjegal Undang-Undang Cipta Kerja melalui jalur konstitusional. Beberapa pihak memang mencoba melakukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi. Lalu, seberapa besarkah peluang kemenangan para penggugat ini? Akankah Undang-Undang Cipta Kerja bisa batal secara keseluruhan?


PinterPolitik.com

RUU Cipta Kerja sudah sah menjadi Undang-Undang pada tanggal 5 Oktober 2020 diiringi dengan aksi demonstrasi besar-besaran. Berbagai elemen masyarakat seperti aktivis demokrasi, buruh, mahasiswa dan pelajar meluapakan protes tidak hanya di Jakarta saja, tetapi juga di berbagai daerah. Sikap penolakan dari berbagai elemen masyarakat tersebut masih terus mengalir hingga saat ini.

Adapun alasan penolakan terhadap Undang-Undang Cipta Kerja meliputi 10 isu antara lain:

  1. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
  2. Sanksi pidana bagi perusahaan
  3. Tenaga Kerja Asing (TKA)
  4. Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dan Upah Minimum yang berlaku secara Sektoral di satu provinsi (UMSK)
  5. Pesangon
  6. Karyawan kontrak seumur hidup
  7. Outsourcing seumur hidup
  8. Waktu kerja
  9. Cuti dan hak upah atas cuti
  10. Jaminan Kesehatan dan Jaminan Pensiun bagi pekerja kontrak outsourcing

Keseluruhan isu tersebut dianggap tidak berpihak terhadap rakyat terutama kelompok buruh. Keberadaan Undang-Undang Cipta Kerja ini disebut agar dapat menciptakan lapangan kerja, namun kesejahteraan terhadap pekerjanya sendiri seolah dikesampingkan.

Terkait penolakan dari masyarakat sipil terhadap Undang-Undang Cipta Kerja, pihak pemerintah menanggapinya secara santai. Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM Mahfud MD dan Presiden Joko Widodo menyarankan agar Undang-Undang Cipta Kerja ini dapat digugat di Mahkamah Konstitusi sebagai upaya hukum yang konstitusional. Lalu seperti apa peluang gugatan produk hukum kontroversial ini?

Menggugat Produk Hukum Kontroversial

Upaya hukum melalui mekanisme Judicial Review terhadap Undang-Undang Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi juga direncanakan oleh beberapa lembaga masyarakat dan aktivis. Hal ini dilakukan sebagai sikap penolakan masyarakat sipil dengan adanya Undang-Undang sapu jagat tersebut yang dikhawatirkan akan berdampak buruk di berbagai sektor antara lain ketenagakerjaan hingga lingkungan hidup.

Namun apakah upaya uji materi ini efektif untuk menjegal Undang-Undang Cipta Kerja?

Berdasarkan aturan hukum yang berlaku di Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) tahun 1945 Pasal 24 C ayat (1)  menyebutkan bahwa:

“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar , memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.”

Di dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang merupakan aturan pelaksana dari Pasal 22A UUD 1945 juga disebutkan dalam Pasal 9 ayat (1) bahwa:

“Dalam hal suatu Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi”

Uji materi Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi dapat dilakukan bagi pihak yang merasa hak dan/atau kewenangan konstitusinya dirugikan oleh kehadiran Undang-Undang tersebut. Berdasarkan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi antara lain, pihak yang menggugat bisa:

  1. Perorangan warga negara Indonesia
  2. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang
  3. Badan hukum public atau privat
  4. Lembaga negara

Berlakunya Undang-Undang Cipta Kerja ini memang mencakup berbagai sektor, mulai dari ketenagakerjaan hingga lingkungan. Said Iqbal selaku presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia, Dewi Kartika Sekretaris Jendral Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), kelompok agama Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) dan Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah  merupakan beberapa elemen masyarakat yang berencana akan melakukan Judicial Review terhadap Undang-Undang Omnibus Law tersebut.

Lalu, berapa banyak pasal yang akan di uji di Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan Undang-Undang Cipta Kerja?

Setiap pasal yang terkandung di dalam Undang-Undang Cipta Kerja memang dapat diuji. Namun, Mahkamah Konstitusi hanya dapat mengabulkan uji materi terhadap pasal-pasal yang diuji saja, sedangkan untuk pasal yang tidak diuji tetap akan berlaku.

Adapun objek Judicial Review Mahkamah Konstitusi terbagi menjadi 2 (dua), yaitu pertama uji Formil (objek yang berupa prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan) dan kedua uji materil (objek yang berupa pasal-pasal dari sebuah peraturan perundang-undangan).

Menurut Sri Soemantri terdapat perbedaan antara uji formil dengan uji materiil. Menurutnya, uji formil merupakan suatu wewenang untuk menilai, apakah suatu produk legislatif seperti Undang-Undang terbentuk melalui cara-cara (procedure) sebagaimana telah ditentukan diatur di dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Sedangkan uji materiil merupakan suatu wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu peraturan perundang-undangan, apakah isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu.

Apabila dalam gugatan Undang-Undang Cipta Kerja ini diajukan uji formil dan uji materil, maka yang harus dibuktikan oleh majelis hakim semestinya adalah objek formilnya terlebih dahulu. Hal ini dikarenakan apabila pembentukan sebuah peraturan perundang-undangan cacat hukum atau bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi, maka secara otomatis seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan (termasuk objek materil) tersebut dianggap telah bertentangan dengan peraturan hukum yang lebih tinggi.

Seperti Apa Kemungkinan Hasilnya?

Banyak anggapan bahwa perancangan Undang-Undang Cipta Kerja ini tidak sesuai dengan syarat prosedural yang ada, seperti tidak transparan, tidak akuntabel, minim partisipasi publik terdampak hingga diskriminasi pada saat Sidang Paripurna DPR dengan mematikan microphone anggota dewan yang ingin mengajukan interupsi. Serta secara materil isi dari pasal-pasal di dalam Undang-Undang Cipta Kerja juga tidak berpihak kepada rakyat dan alam.

Apabila para penggugat akan melakukan uji formil terhadap UU Cipta Kerja ini dan permohonan uji formil tersebut kemudian dimenangkan oleh pihak penggugat, secara otomatis Undang-Undang Cipta Kerja akan batal secara keseluruhan.

Namun, berdasarkan sejarah yang ada, sejak didirkannya Mahkamah Konstitusi pada tahun 2003, lembaga tersebut tidak pernah mengabulkan gugatan uji formil terhadap suatu undang-undang.

Sedangkan apabila mengajukan uji materil, maka pasal yang dapat dibatalkan hanya pasal yang diujikan saja. Dalam Undang-Undang Cipta Kerja ini terdapat banyak pasal di berbagai sektor dan hal ini berarti dibutuhkan tenaga ekstra apabila ingin membatalkan Undang-Undang Cipta Kerja tersebut.

Di sisi lain, apabila uji materil dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi, putusan tersebut belum tentu dipatuhi jika kepentingan politik tidak ada, mengingat Pasal 59 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi telah dihapuskan oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Mahkamah Konstitusi .

Konteks ini juga dapat terjadimengingat Undang-Undang Cipta Kerja ini merupakan inisiatif pemerintahan Joko Widodo untuk menciptakan lapangan kerja. Selain itu, proses gugatan di Mahkamah Konstitusi membutuhkan waktu yang cukup lama, sehingga pada saat proses gugatan berlangsung Undang-Undang Cipta Kerja sudah berlaku sebagaimana mestinya.

Pada akhirnya, publik tentu akan menanti akan seperti apa gugatan hukum ini diproses oleh Mahkamah Konstitusi. Yang jelas, melakukan Judicial Review di Mahkamah Konstitusi merupakan jalur konstitusional yang dapat dilakukan oleh masyarakat sipil dalam penolakan atas suatu undang-undang serta menunjukan bahwa Indonesia merupakan negara hukum.


Tulisan milik Falis Aga Triatama, Praktisi Hukum di Winrow Veritas Law Firm.


“Disclaimer: Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.”

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Banner Ruang Publik
spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Menyingkap Sportwashing dalam Laga Indonesia-Bahrain

Kontroversi ini perpanjang daftar kritik terhadap wasit dari Timur Tengah, di tengah dugaan bias dan pengaturan skor sepak bola internasional.

Unlike Jokowi, Prabowo Will Be His Own Man

More assertive foreign policy and democratic backsliding are most likely on the horizon as Prabowo Subianto becomes the next Indonesian president.

Fenomena Gunung Es “Fake Review”

Fenomena fake review kini banyak terjadi di jual-beli daring (online). Siapakah yang dirugikan? Konsumen, reviewer, atau pelaku usahakah yang terkena dampaknya? PinterPolitik.com Sejak berlangsungnya proliferasi internet...