HomeRuang PublikGlobalisasi dan Komersialisasi Pendidikan

Globalisasi dan Komersialisasi Pendidikan

Oleh Aan Afriangga

Masuknya sektor pendidikan dalam Undang-Undang Cipta Kerja (Ciptaker) atau omnibus law – tepatnya di klaster Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) – dapat membuat pendidikan kita (semakin) terkomersialisasi.


PinterPolitik.com

Belakangan, jelang penghujung tahun 2020, tepatnya pada 2 November silam. Warga Indonesia mendapatkan kejutan istimewa: yakni, UU Cipta Kerja atau Omnibus Law—istilah familiar, yang biasa kita dengar. Adalah hal istimewa (bagi segelintir orang, terutama kalangan pebisnis/koorporasi), karena yang melakukan gebrakan luar biasa tersebut, ialah Presiden kita sendiri, yakni Pak Jokowi.

Kita ketahui bersama, bahwa Presiden kita saat ini, adalah ‘pihak yang terpapar secara politik’ (politically exposed persons) dalam sektor bisnis batu bara, yang digarap oleh Menteri Koordinator bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan (merupakan seseorang yang membawahi sektor pertambangan dan energi PT Toba Sejahtra). Maka jelas, kalangan pebisnis/kooporasi, tampak senang dengan adanya legislasi tersebut.

Kesenangan mereka, selain menguntungkan bisnisnya. Karena Pak Jokowi, juga terlibat dalam pusaran bisnis tersebut. Tak lupa, lantaran mengemban posisi strategis sebagai orang pertama di Indonesia, hal itu tentunya akan semakin memudahkan kepentingan mereka. Dengan begitu, apakah sudah layak, bahwa akronim NKRI—yang sebelumnya Negara Kesatuan Republik Indonesia—dapat kita sepakati menjadi: Negara Kesatuan Republik Investor? Silakan beranggapan masing-masing.

Gebrakan yang dilakukan olehnya, singkat kata, supaya keran investasi di Indonesia kian terbuka lebar, sehingga lapangan kerja akan banyak tercipta. Seperti nama UU tersebut: Cipta Kerja (menciptakan lapangan kerja, itu pun baru ‘katanya’). Lantas, menyikapi semringah semu ini. Penulis hendak meminjam ungkapan familiar Filsuf asal Prancis, Rene Descartes: de omnibus dubitandum—segala sesuatu harus diragukan.

Mengingat, proses penyusunan legislasi tersebut tersiar kabar cacat formil, juga materiil. Hal umum dinilai baik saja, perlu kita ragukan sepenuhnya. Apalagi mengenai legislasi tersebut, yang dalam proses penyusunannya saja, banyak kedapatan protes dan tuntutan dari berbagai kalangan agar dicabut secepat mungkin. Bagaimana? Sangat ironis, bukan? Untuk itu, segala sesuatu harus diragukan!

Baca juga :  Menyingkap Sportwashing dalam Laga Indonesia-Bahrain

Dalam draft final RUU Cipta Kerja yang disepakati beberapa waktu lalu (05/10/2020). Sektor pendidikan masuk ke dalam klaster Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Ia dapat dilihat dalam paragraf 12 tentang Pendidikan dan Kebudayaan pasal 65. Pada pasal 65 ayat (1), berbunyi: “pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan dapat dilakukan melalui perizinan berusaha sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini.”

Dalam UU Cipta Kerja, perizinan berusaha adalah legalitas yang diberikan kepada pelaku usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan/atau kegiatannya. Definisi itu dimuat dalam pasal (1). Sementara dalam pasal 65 ayat (2), hanya menyebutkan: “ketentuan lebih lanjut pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP).”

Artinya, keberadaan pasal pendidikan dalam UU Cipta Kerja, ditujukan untuk menempatkan marwah pendidikan sebagai komoditas yang diperdagangkan. Barangkali, faktor ketidakmampuan negara dalam memenuhi permintaan pendidikan tinggi di dalam negeri, menjadi salah satu alasan pemerintah Indonesia, agar terlibat dalam hal perdagangan pendidikan.

Pasalnya, data pendidikan global UNESCO pada (2011), mahasiswa Indonesia yang belajar di Australia mencapai 10.205 orang, di Amerika Serikat 7.386 orang, di Malaysia 7.325 orang, di Jepang 1.788 orang, dan terakhir, di Jerman 1.546 orang. Maka dari itu, wajar kalau negara asing melihat potensi pasar yang menguntungkan, bila lembaga pendidikannya—bisa menancapkan benderanya di Indonesia.

Melihat Kembali (Secara Ringkas) Perjanjian GATS

Penulis mengakui, pengesahan UU Cipta Kerja tersebut. Barangkali tak lepas dari historis panjang Indonesia, yang beberapa waktu lalu, sempat meleburkan diri ke dalam World Organization Trade (WTO) atau Organisasi Perdagangan Dunia, setelah meratifikasi perjanjian dagang multilateral, atau yang biasa kita sebut dengan nama ‘General Agreement on Trade Service’ (GATS). Hal itu juga, menjadi dasar pembentukan UU Nomor 7 tahun 1994 tentang pengesahan Agreement Estabilishing The World Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) di masa Orde Baru silam. Karena, perjanjian tersebut, mengatur terkait tata perdagangan barang, jasa, dan hak atas kepemilikan properti.

Baca juga :  Menyingkap Sportwashing dalam Laga Indonesia-Bahrain

Dalam kajian hukum yang dilakukan oleh Anggiat P. Simamora dkk pada (2014), mereka mengatakan, bahwa GATS sebagai satu-satunya perjanjian internasional dalam bidang perdagangan jasa multilateral, memasukkan pendidikan sebagai salah satu sub-sektor jasa perdagangan. Dengan kata lain, perjanjian tersebut, memperlakukan pendidikan sebagai komoditas yang diperdagangkan atau diperjualbelikan, dan secara yuridis, Indonesia sudah mengakui konsep tersebut melalui UU No. 7 tahun 1994.

Robohnya Definisi Pendidikan dalam Pembukaan UUD 1945

Apakah definisi pendidikan (sudah) tidak bernafas lagi seperti Pembukaan UUD 1945? Yang menyatakan, bahwa salah satu tujuan kehadiran negara, ialah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Atau mungkin, apakah esensi pendidikan kita sudah jauh panggang dari api—ketika ia dihadapkan pada globalisasi? Karena, globalisasi yang dipengaruhi oleh kepentingan pasar, menyebabkan pendidikan tidak sepenuhnya dipandang sebagai upaya mencerdaskan bangsa dan proses pemerdekaan manusia. Tetapi, ia mulai bergeser menuju pendidikan yang hanya dijadikan sebagai komoditas (Saksono, 2010).

Maka itu, sebagai ungkapan terakhir. Ketika melihat ‘sektor pendidikan’ diselundupkan dalam klaster Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Barangkali, dapat kita lihat secara bersama, bahwa seperti inilah, ‘wujud nyata kapitalisme kognitif’ kita.


Tulisan milik Aan Afriangga,Mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi di Universitas Mpu Tantular, Jakarta.


Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Banner Ruang Publik
spot_imgspot_img

#Trending Article

Kok Megawati Gak Turun Gunung?

Ketua Umum (Ketum) PDIP, Megawati Soekarnoputri hingga kini belum terlihat ikut langsung dalam kampanye Pilkada. Kira-kira apa alasannya? 

Berani Prabowo Buka Pandora Papers Airlangga?

Ramai-ramai bicara soal kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen yang disertai dengan protes di media sosial, tiba-tiba juga ramai pula banyak akun men-share kembali kasus lama soal nama dua pejabat publik – Airlangga Hartarto dan Luhut Pandjaitan – yang di tahun 2021 lalu disebut dalam Pandora Papers.

“Sekolam” Ahok, Kesaktian Anies Luntur?

Keputusan Anies Baswedan meng-endorse Pramono Anung-Rano Karno di Pilkada Jakarta 2024 memantik interpretasi akan implikasi politiknya. Utamanya karena Anies pada akhirnya satu gerbong dengan eks rivalnya di 2017 yakni Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan PDIP serta tendensi politik dinasti di dalamnya, termasuk yang terjadi pada Pramono.

Siasat Prabowo Akui Sengketa LCS

Pemerintahan Prabowo disorot karena ‘akui’ klaim tumpang tindih LCS dalam joint statement Tiongkok. Mungkinkah ada siasat strategis di baliknya?

Rahasia Triumvirat Teddy, AHY, dan Hegseth?

Terdapat kesamaan administrasi Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump dengan Presiden Prabowo Subianto, yakni mempercayakan posisi strategis kepada sosok berpangkat mayor. Kiranya, terdapat rahasia tertentu di balik kesamaan itu yang dapat mendukung support dalam dimensi tertentu ke pemerintahan masing-masing. Mengapa demikian?

Anies Di-summon PKS!

Ahmad Syaikhu in a battle against Dedi be like, “I summon Anies Baswedan!”  #Anies #AniesBaswedan #PilkadaJawaBarat #AhmadSyaikhu #IlhamHabibie #PKS #pinterpolitik #infografis #politikindonesia #beritapolitik #beritapolitikterkini

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

More Stories

Menyingkap Sportwashing dalam Laga Indonesia-Bahrain

Kontroversi ini perpanjang daftar kritik terhadap wasit dari Timur Tengah, di tengah dugaan bias dan pengaturan skor sepak bola internasional.

Unlike Jokowi, Prabowo Will Be His Own Man

More assertive foreign policy and democratic backsliding are most likely on the horizon as Prabowo Subianto becomes the next Indonesian president.

Fenomena Gunung Es “Fake Review”

Fenomena fake review kini banyak terjadi di jual-beli daring (online). Siapakah yang dirugikan? Konsumen, reviewer, atau pelaku usahakah yang terkena dampaknya? PinterPolitik.com Sejak berlangsungnya proliferasi internet...