Di tengah pandemi Covid-19, isu dinasti politik kembali ramai di publik dengan majunya Gibran Rakabuming Raka – putra Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Pilkada Solo 2020. Bagaimana sebenarnya perkembangan dinasti politik di Indonesia?
Pasca bergulirnya reformasi 1998, khususnya dengan terbitmya UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah serta peraturan-peraturan pemerintah yang mendahuluinya, dunia perpolitikan lokal di Indonesia bergerak ke arah yang lebih dinamis.
Di banyak negara pascakolonial yang sedang membangun dan memperbaiki diri, sistem politik demokrasi adalah pilihan terbaik untuk menyelenggarakan pemerintahan sesuai dengan tujuan negara. Meski begitu, walaupun menyandang gelar negara demokrasi dan berhasil mengubur dalam-dalam sistem pemerintahan tradisional (kerajaan), faktor kedekatan atau kekerabatan masih lekat memengaruhi kehidupan berpolitik.
Dalam sebulan terakhir, ada dua diskursus politik lawas yang kemudian kembali menghangat dan seksi untuk dibahas yakni, oligarki dan dinasti politik. Sebelum lanjut, saya akan menegaskan bahwa pada artikel ini penggunaan istilah “dinasti politik” mirip dengan pengertian dinasti dalam konteks politik tradisional. Para pemangku jabatan berupaya meletakkan keluarga, saudara, dan kerabatnya pada jabatan-jabatan strategis dengan tujuan supaya “saling menjaga” dan kekal dalam kekuasaan.
Senada dengan pernyataan saya, beberapa sarjana antara lain – seperti Robert Springborg, James A Bill, Linda Lewin, CD Lande, dan Stella Lowder – telah mengkaji bahwa kepentingan keluarga erat kehadirannya dalam ranah politik dan ekonomi, baik dalam arus lokal maupun nasional. Hasil temuan mereka pun bermuara pada satu kesepakatan bahwasanya politik keluarga yang berdiaspora menjadi dinasti politik cenderung mengkhianati amanah rakyat (Leo Agustino, 2010: 106-107).
“Mereka seolah-olah bekerja seperti yang diinginkan rakyat dan berlaku demi kepentingan masyarakat luas, tetapi pada kenyataannya mereka berjuang keras meraih kejayaan dan kepentingan hanya untuk kelompok mereka sendiri.”
Mengutip potongan hasil wawancara dengan Gibran Rakabuming Raka yang dipublikasikan oleh Antara pada 24 Juli 2020, “…pilkada ini kan kontestasi bukan penunjukkan. Jadi, kalau yang namanya dinasti politik, di mana dinasti politiknya? Saya juga bingung kalau orang bertanya seperti itu.”
Pada artikel ini, penulis mengajak pembaca untuk bernostalgia singkat dengan beberapa dinasti yang pernah berdiri di Indonesia, yang erat dan mesra dengan pemimpin negara masa itu.
Nostalgia Dinasti Politik
Sebagaimana awam tahu, Soeharto menjabat Presiden RI selama 32 tahun, dalam masa yang tidak sebentar itu pula dia dengan terang-terangan pernah menunjuk putri sulungnya Siti Hardiyanti Rukmana – yang kerap dipanggil Mbak Tutut sebagai Menteri Sosial. Bahkan, lebih luasnya lagi, ia mengajak rekanannya di ABRI untuk memangku jabatan sipil hingga tingkat DPR RI.
Setelah ia melepas jabatan presidennya bertahun kemudian pun muncul jargon “piye kabare, isih penak zamanku,” serta munculnya wajah-wajah lama keturunannya di gelanggang perpolitikan Indonesia sekarang menunjukkan bahwa bayang-bayang Soeharto serta oligarki ABG (ABRI, Birokrasi, dan Golkar) belum sepenuhnya hilang. Seolah rakyat menafikan apa yang pernah terjadi sebelumnya, pendirian Partai Berkarya yang diusut Tommy disambut hangat oleh beberapa tangan yang “rindu” masa kejayaan Keluarga Cendana.
Selain keluarga Cendana, Megawati yang merupakan anak dari Soekarno juga menjadi representasi dari mandeknya kaderisasi Partai Banteng. Ia menjabat sebagai Ketua Umum PDI-P bertahun-tahun. Selain itu, dia dengan jelas menempatkan putrinya – Puan Maharani – sebagai salah satu menteri di periode lalu dan saat ini menjadi Ketua DPR-RI.
Penunjukan Puan menuai banyak kritik. Kebanyakan dilayangkan padanya karena semasa menjabat di Kementerian Sosial tindakannya nir-prestasi, pula tak merepresentasikan perjuangan perempuan dengan tak memperjuangkan nasib perempuan dalam RUU PKS maupun revisi RKUHP.
Kini, dinasti baru menjadi sorotan belakangan dengan wacana naiknya putra dan menantu Jokowi sebagai kandidat potensial di Pilkada 2020. Diketahui, Gibran Rakabuming telah mendaftar sebagai kader PDI-P dan bertekad menjadi Wali Kota Solo pada Pilkada Serentak 2020. Sementara, menantunya, Bobby Nasution juga mengisyaratkan akan berlaga dalam Pilkada Kota Medan 2020. Restu dari Jokowi, akunya, telah dikantongi.
Senada, rekan duet Jokowi, Ma’ruf Amin juga merestui langkah putrinya Siti Nur Azizah, untuk maju dalam pemilihan Wali Kota Tangerang Selatan 2020-2025. Siti Nur Azizah bahkan disebut mulai aktif mendaftar penjaringan sejumlah partai untuk bakal calon wali kota Tangerang Selatan. Ia mulai mendaftar ke PDI-P, Gerindra, PPP, PKB, hingga Hanura (Ayu Rizky P, 2020).
Local Strongmen
Dalam memandang dampak buruk dari tindakan ini, Jose Veos Abueva – seorang sarjana administrasi publik dari Filipina – menyatakan bahwa dalam mengupas tindakan KKN perlu diberlakukan dua nilai berbeda. Menurut pandangannya, nepotisme, spoils, dan korupsi memberi sumbangan seperti, perkembangan politik, penyatuan politik, partisipasi dalam pelaporan, dan lain-lain.
Pada kasus Pilkada serempak kali ini, beberapa pemimpin negara dan/atau wakil rakyat berlomba-lomba menebar jaring pesonanya guna memperkuat jaringan politik mereka. Ketika keadaan negara melemah (weak state) akibat penanganan covid-19 yang tak kunjung menemukan titik terang, elite-elite lokal berkompetisi untuk mencari posisi mereka di golongan akar rumput demi mengkekalkan kekuatan politiknya.
Sejalan dengan teori local strongmen yang diungkapkan Joel S. Migdal, bukan karena posisi tertinggi secara administrasi negara mereka datang mengais suara, melainkan dengan pengaruh atau modal sosial yang secara tak sadar datang sebagai rasa penghormatan. Bisa saja datang dari kalangan, tuan tanah, tengkulak, pengusaha, ulama, dan sebagainya.
Modal sosial termanifestasikan melalui hubungan-hubungan dan jaringan yang merupakan sumber daya berguna dalam penentuan dan reproduksi dan kedudukan-kedudukan sosial. Modal sosial atau jaringan sosial ini dimiliki pelaku (individu atau kelompok) dalam hubungannya dengan pihak lain atau kuasa.
Pada kasus Gibran Rakabuming Raka dan Siti Nur Azizah, mereka tidak memulai perannya sebagai strongmen sedari awal melainkan melanjutkan apa yang sudah orang tua mereka lakukan (patronase dan klientilisme), dengan pengaruh dari kedua orang tua mereka─Jokowi yang dikenal warga Solo sebagai pengusaha mebel dan Ma’ruf Amin yang dikenal sebagai ulama di lingkarannya.
Di Mana Dinasti Politiknya?
Praktik mementingkan keluarga dan kerabaT di banyak negara biasanya berujung pada pembangunan dinasti politik yang kian memecut nepotisme terjadi. Tak dapat dinafikan, di negara demokrasi meskipun pemilu adalah sebuah ajang kontestasi, itu tidak dapat dipandang sebagai sekadar kontestasi belaka sebab cara terbaik membangun dinasti politik di negara demokratis ialah melalui tahapan tersebut.
Mengutip ucapan Novel Baswedan, “saya belum pernah lihat koruptor yang keluarganya bahagia…” bilamana dipisahkan gejala dan fenomenanya, politik keluarga yang berdiaspora menjadi dinasti politik hanya akan meninggalkan ciri hakikinya yaitu pengkhianatan. Amanah sebagai pengayom harus rela masuk ke gudang demi kepentingan keluarga.
Tulisan milik Muhammad Husni, mahasiswa Ilmu Sejarah di Universitas Indonesia.
“Disclaimer: Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.”
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.