Site icon PinterPolitik.com

Gejala Goyahnya Koalisi “Kiri” Global (Bagian I)

gejala goyahnya koalisi kiri global bagian i

Presiden Rusia Vladimir Putin. (Foto: Sputnix)

Dunia sedang tidak baik-baik saja, mungkin kata itu yang tepat menggambarkan keadaan dunia dan politik internasional saat ini. Berbagai macam krisis kini melanda dunia, setelah Pandemi COVID-19 selesai, kini dunia dihadapkan krisis keamanan dan politik.


PinterPolitik.com

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pun memprediksi bahwa tahun 2023 akan menjadi tahun yang “gelap” bagi dunia. Tanda-tanda yang mengarah kesana pun kini mulai terlihat.

Tidak terkecuali bagi negara kuat koalisi ‘kiri’ seperti Rusia, Tiongkok, dan Iran. Negara-negara tersebut kini sedang sibuk dengan krisis dalam negeri mereka sendiri. Harus diperhatikan, negara-negara tersebut adalah negara yang berpengaruh dalam politik internasional.

Bahkan, Tiongkok dan Rusia merupakan pemegang hak veto dalam Dewan Keamanan PBB. Sementara itu, seperti yang kita ketahui Iran adalah negara Islam penghasil minyak dunia dengan pengaruh besar di kawasan timur tengah. Jika, negara-negara tersebut sedang menghadapi eskalasi maka itu tampaknya akan sangat terasa pengaruhnya di kawasan maupun secara global.

Persoalan dalam negeri yang dihadapi rezim Rusia, Tiongkok, dan Iran akan membuat negara-negara barat seperti Amerika Serikat (AS) dan sekutunya akan ‘tersenyum’. Apalagi jika rezim mereka runtuh. Hal ini akan menegaskan ‘kemenangan’ bagi AS dan sekutunya. Benarkah demikian?

Perang yang Tak Kunjung Usai

Baru-baru ini Presiden Rusia Vladimir Putin meminta tiga ribu pasukan cadangan dari tentara Rusia ikut berperang di Ukraina dan mewajibkan warga negara Rusia dengan usia produktif untuk melakukan wajib militer dengan dalih membela kedaulatan Rusia.

Itu adalah mobilisasi militer terbesar yang dilakukan Rusia (dulu Uni Soviet) sejak perang Dunia II. Permintaan Putin ini bukan tanpa masalah, banyak rakyat Rusia yang menolak untuk melakukan wajib militer karena menganggap ini bukan demi kedaulatan negara tapi hanya demi ego Putin sendiri. Rakyat Rusia menilai bahwa kondisi perang di Ukraina saat ini bukan seperti Perang Dunia II.

Setelah Putin mengeluarkan aturan wajib militer dan berperang demi negara di Ukraina, rakyat Rusia berbondong-bondong banyak yang meninggalkan negara mereka. Perbatasan Rusia-Georgia dipenuhi antrian untuk melewati batas negara dan penerbangan ke luar negeri padat penumpang.

Rakyat yang tetap tinggal di Rusia bukan justru setuju dengan perintah Putin tersebut. Mereka yang tetap tinggal di dalam negeri banyak yang melakukan demo dan menentang wajib militer untuk perang di Ukraina.

Ada kesaksian dari rakyat yang melakukan protes menolak wajib militer, mereka kini dihadapkan pada pilihan menuruti perintah wajib militer atau akan dipenjara dengan tuduhan melawan pemerintah.

Putin yang sebelumnya sangat dihormati rakyatnya kini banyak ditentang oleh rakyatnya sendiri. Ini bukan suatu tanda yang baik bagi sebuah rezim pemerintahan suatu negara. Rakyat yang dulu setia kepada pemimpin mereka, kini justru menentang. Bukan tidak mungkin ini adalah tanda awal dari kejatuhan rezim yang dipimpin Vladimir Putin.

Rusia yang diatas kertas harusnya bisa dengan mudah menguasai Ukraina dengan segala macam alutsista canggih dan kemampuan militer yang merupakan salah satu terbaik di dunia, kini seolah kalah karena perlawanan alot dari Ukraina karena kecerdikan Zelensky dan bantuan persenjataan dari AS.

Meskipun kemudian pada 30 September 2022 ada empat daerah Ukraina yaitu Donetsk, Luhansk, Zaporizhzhia, dan Kherson yang berhasil dibuat bergabung ke Rusia melalui referendum. Hal ini tidak membuat puas Putin yang memang tujuan awalnya adalah menjatuhkan pemerintahan Volodymyr Zelensky di Ukraina karena dianggap mengancam Rusia jika bergabung dengan NATO. Walaupun pada akhirnya Ukraina secara resmi mengajukan diri sebagai anggota NATO setelah empat daerah Ukraina bergabung dengan Rusia.

Tindakan Putin ini menurut perspektif realisme terjadi karena bukan sifat negara yg mendorong perilaku, tetapi sistem internasional yg anarkis yg menimbulkan kecemburuan, iri, dengki, ketakutan, ketidakamanan. Hal ini lah yang melandasi Putin untuk menyerang Ukraina.

Menurut Hans J. Morgenthau, perilaku negara dalam hubungan internasional adalah untuk menjaga agar elemen-elemen “kekuatan” yang dimiliki negara tetap dapat menjamin kedaulatannya di antara negara lain dan, sebagai konsekuensinya, menjaga konstelasi kekuatan politik di tingkat internasional tetap seimbang.

Putin memang ingin Rusia kembali mendapatkan hegemoni seperti kala Rusia masih berbentuk Uni Soviet. Hegemoni dalam perspektif realis hubungan internasional adalah kemampuan suatu negara untuk memasukkan negara lain yang lemah ke dalam pengaruhnya dan kemampuan tersebut bersumber pada kekuatan militer, ekonomi, politik, institusi, dan ideologi yang dimiliki. Hal ini kemudian yang dilihat oleh rakyat Rusia dan dunia internasional sebagai keegoisan dan bentuk kepanikan Putin sebagai pemimpin dengan mengorbankan rakyatnya.

Maka dari itu banyak rakyat Rusia yang sebelumnya mendukung kemudian menentang perang di Ukraina ini. Belum lagi masalah sanksi internasional yang diberlakukan oleh negara-negara barat akan mengancam stabilitas ekonomi Rusia. Para konglomerat asal Rusia yang menjadi kepanjangan tangan rezim oligarki Putin asetnya banyak yang dibekukan oleh negara-negara aliansi NATO.

Meskipun Rusia memiliki cadangan gas alam yang melimpah dan menjadi sumber pemasukan negara namun jika harus pendapatan itu untuk mendanai perang maka akan menimbulkan ketidakstabilan bagi ekonomi Rusia dan kemudian akan menjadi boomerang bagi rezim Putin itu sendiri karena berkurangnya dukungan dari rakyatnya.

Ancaman Sekularisme Negara Agamis?

Kematian Mahsa Amini pada 16 September 2022 merupakan pemicu awal dari gelombang demonstrasi besar-besaran di seluruh penjuru Iran. Mahsa Amini diduga meninggal dianiaya saat ditahan oleh polisi moral Iran karena tuduhan memakai hijab yang tidak sesuai syariat Islam. Mahsa Amini merupakan wanita asal Saqaz, Provinsi Kurdistan, Iran. Dia beserta keluarga sedang berlibur ke Ibukota Iran, Teheran pada 13 September 2022.

Dalam rekaman CCTV terlihat bagaimana Mahsa Amini dibawa oleh polisi moral Iran karena dituduh memakai jilbab yang tidak sesuai syariat sehingga rambut masih terlihat. Rambut adalah simbol kecantikan wanita Iran yang harus disembunyikan karena termasuk aurat.

Dalam keterangan pihak keluarga Mahsa Amini dibawa dalam keadaan sehat dan tidak mempunyai riwayat sakit jantung seperti yang disebutkan sebagai penyebab kematiannya oleh pemerintah Iran. Berbagai saksi mengatakan mereka melihat Mahsa Amini dianiaya oleh polisi moral Iran. Hal ini kemudian dibantah oleh pihak pemerintah Iran dengan mengeluarkan rekaman CCTV saat dikantor polisi.

Dalam rekaman tersebut terlihat Mahsa Amini tiba-tiba terjatuh. Ini yang kemudian menjadi dasar pemerintah Iran menyatakan Mahsa Amini meninggal karena serangan jantung. Publik Iran lantas marah dan menuduh bahwa rekaman CCTV itu telah direkayasa oleh pihak kepolisian.

Demonstrasi kemudian merebak di seluruh penjuru Iran dan mengakibatkan puluhan orang meninggal. Dalam demo yang mayoritas dilakukan wanita Iran, mereka melakukan aksi-aksi simbolis seperti memotong rambut dan menaruh jilbab mereka ke bara api. Ini dilakukan sebagai bentuk kepedihan, kemarahan dan duka cita.

Demonstrasi ini juga merupakan bentuk protes terhadap aturan-aturan agamis pemerintah Iran. Pemerintah Iran dianggap tidak memperdulikan dan mengakomodir hak-hak perempuan Iran. Di Iran hak-hak perempuan memang dibatasi sesuai dengan ajaran agama Islam, contohnya adalah perempuan dilarang datang menonton acara olahraga.

Isu ini juga sempat mencuat ketika pada 2018 sekelompok wanita menyamar menjadi laki-laki untuk bisa datang ke stadion dan menonton sepakbola. Bagi Iran yang notabene-nya adalah negara Islam, isu-isu sekuler dianggap dapat mengancam negara.

Iran memang terkenal negara Islam yang masih konservatif. Nilai-nilai Islam masih dijunjung tinggi dalam sosial, budaya, dan hukum di Iran. Berbeda dengan Arab Saudi yang mulai terbuka dengan nilai-nilai sekuler. Arab Saudi kini mengarah ke Islam yang lebih moderat semenjak Mohammed bin Salman (MbS) naik menjadi putra mahkota kerajaan Arab Saudi pada 2017.

Sejak menggantikan sepupunya, Muhammad bin Nayef sebagai putra mahkota Saudi, MbS membuat sejumlah terobosan dengan menerapkan kebijakan yang membuat wajah Arab Saudi terlihat lebih moderat.

Beberapa kebijakan itu antara lain membuka arena olahraga untuk perempuan, mengizinkan bioskop beroperasi, menggelar konser atau festival di ruang publik, mengizinkan pemakaian bikini di pantai tertentu, sampai membolehkan turis bukan muhrim menginap sekamar di hotel.

Selain itu, Saudi juga mengizinkan kaum laki-laki dan perempuan bercampur saat menonton konser dan turnamen olahraga. Pemerintahan Arab Saudi juga mengizinkan perempuan mengemudi, masuk militer, dan mengizinkan perempuan bepergian sampai tinggal sendiri tanpa wali laki-laki.

Kebijakan pemerintah Saudi ini jelas menuai kontroversi di kalangan Islam konservatif. Mereka menilai Saudi tidak mencerminkan sebagai negara kiblatnya umat muslim dengan tidak menerapkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan masyarakatnya.

Namun, MbS menilai kebijakan ini adalah salah satu cara Saudi untuk menjadi negara yang lebih maju. Saudi juga ingin mengurangi ketergantungan pendapatan negara dari sektor Migas dengan cara meningkatkan pendapatan dari sektor pariwisata dll.

Dalam dokumen yang didapat The Wall Street Journal (WSJ), Saudi berencana mengizinkan penjualan dan konsumsi wine, cocktails, hingga sampanye di sebuah resor yang terdapat di ‘kota futuristik’ Neom. Kota Neom merupakan bagian dari mega proyek Saudi yang kini tengah diperluas pembangunannya ke Pulau Sindalah di Laut Merah barat laut negara itu.

Jika terkonfirmasi, ini akan menjadi aturan terbaru yang diterapkan pemerintah kerajaan yang membuat Saudi, negara konservatif yang masih menerapkan hukum syariat Islam, menjadi semakin moderat. Pasalnya, selama ini, Saudi melarang penjualan dan konsumsi minuman alkohol di seluruh negeri.

Selain membuka bar, Saudi juga bakal mengizinkan toko-toko retail menjual wine secara terbuka di kota, menurut dokumen pemerintah Saudi yang dirilis Januari 2022 itu.

Lalu, apakah pergeseran perspektif sosiopolitik Arab Saudi menjadi moderat akan diikuti oleh Iran? (Bersambung ke Bagian II)


Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.


Exit mobile version