Oleh Nino Nafan Hudzaifi, Asisten Pengacara di Kantor Hukum Ali Budiardjo, Nugroho, Reksodiputro/ABNR Counsellors at Law
PinterPolitik.com
Ekspor pasir laut menjadi topik yang kembali hangat untuk diperbincangkan akhir-akhir ini. Kegiatan yang telah dilarang selama 20 tahun ini tertuang kembali di Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 (PP No. 26 Tahun 2023) tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut, tepatnya Pasal 9 ayat (2) huruf d.
Pemerintah memiliki beberapa alasan untuk melakukan pengerukan sedimentasi laut, seperti pendalaman alur laut dan kebutuhan reklamasi beberapa tempat, mencegah adanya kerugian, serta menjaga alur pelayaran.
Sementara itu, beberapa masyarakat dan Koalisi LSM Lingkungan secara blak-blakan menolak karena merusak ekosistem pesisir dan laut, serta sarat akan kepentingan pejabat.
Penolakan juga berasal dari mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, yang meminta pemerintah untuk segera membatalkan PP tersebut karena merusak ekosistem kelautan.
Berkaca dari pro kontra tersebut, apakah kebijakan ekspor pasir laut sudah tepat untuk membantu pembangunan Indonesia? Atau malah menjadi ancaman bagi keberlanjutan kawasan laut dan pesisir? Lalu, siapa yang sebenarnya diuntungkan?
Ekspor Pasir Laut dan Jual-Beli Pulau
Sejarah dilarangnya ekspor pasir laut di Indonesia mencakup berbagai peristiwa penting. Diawali atas meningkatnya kesadaran atas pentingnya perlindungan dan pengelolaan lingkungan, pemerintah Indonesia yang dipimpin oleh Presiden Megawati Soekarnoputri melarang ekspor pasir laut.
Tahun 2003, Presiden Megawati menghentikan kegiatan ekspor pasir laut yang berada di bawah otoritas Rini Soemarno, selaku Menteri Perindustrian dan Perdagangan kala itu, melalui penerbitan Kepmenperindag 117/2003. Alasannya sederhana, karena kegiatan ekspor pasir laut berpotensi mengakibatkan pencemaran dan kerusakan lingkungan.
Kegiatan ekspor pasir laut ini ibarat stop kontak yang dapat dihidup dan matikan sesuka hati. Ada kalanya ekspor pasir laut dilarang, ada kalanya ekspor pasir laut diperbolehkan dan diakui oleh pemerintah, seperti yang tercantum dalam Pasal 24 ayat (2) huruf j PP No 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko yang mengkategorikan ekspor pasir laut ke dalam kegiatan berusaha di sektor kelautan dan perikanan subsektor pengelolaan ruang laut.
Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan ekspor pasir laut telah diakui keberadaannya dan memiliki legitimasi yang kuat untuk diterapkan.
Keputusan untuk mengizinkan kembali ekspor pasir laut tidak hanya memicu perbincangan tentang pilar-pilar ekonomi dan pelestarian lingkungan, namun juga potensi dampak politik.
Dalam konteks ini, penting bagi kita untuk merenungkan bahwa izin ekspor pasir laut dapat menghasilkan efek gelombang yang lebih luas, seperti membuka peluang terjadinya peristiwa jual-beli tanah.
Telah ada preseden di masa lalu di mana izin serupa mengarah pada aksi-aksi yang merugikan, diantaranya seperti spekulasi pulau dan pengubahan kepemilikan lahan yang tidak menguntungkan masyarakat Indonesia.
Jika ekspor pasir laut dimungkinkan dalam jumlah besar tanpa mempertimbangkan dampak lingkungan dan keberlanjutan, maka dapat menciptakan permintaan yang tinggi untuk pasir di pasar internasional.
Dampaknya, pulau-pulau yang pasir lautnya dapat dikomersialkan rentan berujung untuk dieksploitasi. Ditakutkan, nantinya tanah pulau-pulau tersebut beralih kepemilikannya kepada individu, perusahaan, atau entitas lain yang tertarik untuk mengambil keuntungan dari pasir tersebut.
Salah satu fenomena penting terjadi pada tahun 2007 silam. Freddy Numberi selaku mantan Menteri Kelautan dan Perikanan mengatakan bahwa kegiatan ekspor pasir selama periode 1997-2002 telah menghilangkan dua pulau milik Indonesia, yaitu Pulau Nipah dan Sebatik, yang hasil ekstrasinya dikeruk untuk dijual ke Singapura.
Potensi Dampak Ekonomi
Sebagai negara dengan garis pesisir terpanjang kedua di dunia, Indonesia memiliki potensi besar pemanfaatan pasir laut untuk memenuhi permintaan domestik dan ekspor, seperti untuk keperluan industri konstruksi, rekayasa sipil, manufaktur, dan industri lainnya.
Tak hanya itu, pasir laut juga dapat digunakan sebagai bahan reklamasi atau perluasan wilayah suatu pulau seperti yang dilakukan oleh Singapura. Potensi ini yang menjadikan ekspor pasir laut menjadi hal yang menggiurkan untuk digalakkan, mengingat Singapura, Malaysia, dan negara-negara di Timur Tengah memiliki permintaan yang tinggi terhadap pemanfaatan pasir laut untuk proyek pembangunan dan reklamasi.
Potensi Dampak Lingkungan
Meskipun dibukanya keran ekspor pasir laut bertujuan untuk mendongkrak perekonomian nasional, nyatanya hal ini belum sepenuhnya benar. Menurut Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Nailul Huda, nilai hasil ekspor pasir laut hanya berkontribusi sedikit terhadap negara, yaitu Rp74 miliar dari total potensinya sebesar Rp733 miliar.
Nailul Huda berpendapat bahwasanya kegiatan tersebut cenderung memberikan keuntungan yang besar bagi pengusaha, bukan negara. Hal ini yang kemudian memicu kembali diskursus mengenai seberapa penting sebenarnya kegiatan ekspor pasir laut untuk digalakkan kembali. Potensi ekonomi yang tidak signifikan tersebut juga berbanding terbalik dengan potensi kerusakan lingkungan yang harus dimitigasi ketika kebijakan ini berjalan.
Lebih lanjut, berbicara mengenai kerusakan lingkungan, kegiatan penambangan pasir berpotensi merusak kawasan ekosistem pesisir dengan abrasi pantai, pencemaran air, menyusutnya garis pantai, hingga ancaman terganggunya eksistensi keanekaragaman hayati.
Dampak ekspor pasir laut dari aspek ekologis ini kemudian berdampak pada sosial masyarakat pesisir.
Menurut Zainal Arifin, Koordinator Penelitian Pencemaran Laut Pusat Penelitian Oseanografi (P2O) LIPI, kegiatan penambangan pasir laut dapat menyebabkan nelayan dan masyarakat pesisir mengalami penurunan produktivitas budidaya perikanan.
Hal ini tentu saja harus menjadi perhatian mengingat kepentingan negara tidak seharusnya mencederai keberlangsungan masyarakat.
Oleh karena itu, guna menghadapi risiko dari kegiatan semacam ini, kita tidak bisa hanya berfokus pada implikasi ekonominya saja, tetapi juga mempertimbangkan betapa krusialnya aspek politik dan lingkungan dalam konteks ini.
Tantangan nyata untuk calon pemimpin bangsa kedepannya adalah memastikan bahwa kebijakan ekspor pasir laut ini, apabila tetap diperbolehkan, tidak hanya memberikan manfaat jangka pendek semata, melainkan juga dapat menguntungkan negara dalam jangka panjang.
Salah satu caranya ialah dengan menutup ruang penyalahgunaan kekuasaan dalam kegiatan ekspor pasir laut dan jual-beli tanah di pulau yang dapat merugikan serta berpeluang melukai hati rakyat Indonesia.
Opini adalah kiriman dari Nino Nafan Hudzaifi. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.