Politik kekuasaan tidak dipungkiri biasanya akan selalu melibatkan pragmatisme – acap kali menimbulkan degradasi moral di antara para elite penguasa. Meski begitu, distribusi kekuasaan harus tetap dilandaskan pada etika dan penguatan civil society.
PinterPolitik.com
Menjadi seorang politikus rasanya sungguh menggiurkan. Profesi ini telah merebut hati banyak orang. Mulai dari orang-orang biasa saja, para investor, sampai akademisi pun tak luput dari jerat jaringnya.
Maka tak heran, ketika demokrasi menjadi “panglima” dalam kehidupan bernegara akhir-akhir ini, politikus menjadi euphoria massa. Ketika konstitusi memberi peluang bagi berkembangnya demokrasi dan pesta demokrasi menjadi ajang kontestasi meraih kekuasaan, maka menjadi politikus adalah sebuah keniscayaan.
Boleh jadi, menjadi seorang politikus merupakan pekerjaan yang sesungguhnya mulia. Politikus bisa menjadi apa saja: Presiden/Wakil Presiden, Menteri, Anggota Dewan, Gubernur, Bupati, Walikota, bahkan Mahkamah Agung sekalipun. Artinya, seorang politikus bisa melintasi batas-batas kekuasaan seperti eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.
Kehidupan politikus tentu akan senantiasa dikaitkan dengan perilaku politik yang dilakukannya dalam mengemban tugas sebagai amanah rakyat. Kerap kali, panggung politik yang diperankan oleh para politikus membuat jemu masyarakat.
Mengapa? Perilaku politik yang diusung para politikus seringkali justru melukai hati konstituennya. Di samping janji-janji yang pernah ditepati, perilaku hedonis dan pragmatis tiba-tiba menyeruak ke permukaan tanpa ada rasa malu.
Para politikus yang tak meraih kekuasaan lewat hajatan demokrasi itu mempertontonkan kehidupan serba mewah dan berkelas. Amat kontras dengan kehidupan para jelata yang untuk urusan primer saja tidak mampu untuk memenuhi.Berbagai tindakan tidak “senonoh” yang dipertontonkan oleh elite politik menjadi cemooh tersendiri bagi dunia politik.
Perlombaan untuk mendahulukan kepentingan pribadi atau golongan dengan mengabaikan kepentingan umum atau kepentingan bersama, korupsi yang menggerogoti hampir semua elemen politik, serta berbagai perilaku tidak pantas lainnya yang didukung oleh kekuasaan politik tidak jarang mengundang sinisme yang pada gilirannya akan membuat citra politisi dipandang rendah.
Berbagai perilaku tidak pantas itu seakan menjadi antiklimaks moralitas politik yang ditanamkan oleh para pendiri bangsa (Udjan, 2008). Setiap politikus – baik sebagai elite partai, wakil rakyat, pejabat, maupun pemangku kebijakan publik lainnya – harus menjalankan politik yang santun, beretika, dan berintegritas.
Dalam bukunya yang berjudul Etika Politik, Magnis Suseno (1987 :13) menyatakan bahwa etika berkaitan dengan refleksi moralitas yang berisi sekumpulan norma sebagai pegangan suatu komunitas atau masyarakat sehingga seluruh hidup dan laku tingkah laku manusia tidak merugikan satu sama lain. Oleh karena itu, etika adalah kumpulan nilai-nilai atau asas yang memungkinkan seseorang mengaktualisasikan diri sebagai manusia yang bermartabat dan beradab.
Dengan demikian, perilaku politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara adalah perilaku yang menampilkan kegiatan pelibatan dan keterlibatan dalam proses pengambilan keputusan yang dibuat (oleh dan) bagi kehidupan bangsa dan negara. Terdapat pula pandangan bahwa perilaku politik adalah perilaku yang terdapat pada apa yang kita rumus artikan sebagai dunia politik dengan segala tingkah dan polah yang terjadi di dalamnya.
Distribusi Kekuasaan Dalam Lanskap Demokrasi
Akhir-akhir ini, kita dipertontonkan dengan berbagai pertunjukan dan manuver elite penguasa. Sebagai bagian dari membangun komunikasi politik yang elegan tentu dimungkinkan bagi setiap petinggi partai politik. Oleh karena itu, politik adalah menasbihkan yang namanya power sharing dan koalisi menjadi wahana untuk menentukan sikap dan komitmen “apakah akan bersama-sama dalam satu “perahu” atau akan beralih pada “sampan” yang lain.”
Dan rasanya, gula kekuasaan tetap menjadi rebutan. Elite partai politik saling berhasrat untuk berada dalam lingkaran kekuasaan sebab menjadi bagian dari pemangku kebijakan adalah kesenangan dan kebanggaan dari sebuah partai politik.
Maka dari itu, pada akhirnya, koalisi tak lagi menjadi bagian dari tanggung jawab mereka untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang menghadang di depan mata. Akan tetapi, manuver-manuver ini hanya menjadi ajang pembagian “kue kekuasaan.”
Agregasi dan artikulasi kepentingan kian kuat dipertontonkan. Manuver untuk membentuk “poros” kekuatan tertentu menjadi bagian dari sebuah bargaining power. Kita tidak lagi melihat drama politik yang konstruktif guna memikirkan bagaimana negara ini akan dibangun demi terciptanya bonum comune di zaman yang semakin edan ini. Akan tetapi, politik diumbar hanya sebagai bentuk “dagang sapi”.
Kekuasaan didistribusikan oleh kedaulatan rakyat yang memilih elite politik untuk diberi amanah memimpin dan mengelola kekayaan negara. Namun, kemudian, jika nafsu berkecamuk dan dahaga kekuasaan dipertontonkan melalui sekat-sekat primordialisme, maka jangan harap rakyat dapat memperoleh mimpinya – berupa kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Distribusi kekuasaan semestinya bersandar pada komitmen kebangsaan dan kesejahteraan di atas segalanya. Kesatuan dan persatuan jangan lah hanya menjadi slogan yang hampa.
Walau pada dasarnya demokrasi membuka ruang untuk distribusi kekuasaan, kekuasaan itu sendiri akan cenderung terus bergerak ke arah konsentrasi kekuasaan. Dinamika capaian dan masa depan distribusi kekuasaan sangat lah bergantung pada sejumlah faktor.
Sebagaimana yang disampaikan oleh Antonius Doni Dihen – mantan Ketua Presidium Pengurus Pusat PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Repulik Indonesia), pendistribusian kekuasaan, terjadi harus berlandaskan beberapa faktor.
Di antaranya adalah, pertama, kekuatan civil society yang tetap menjaga kekuatan, independensi, dan kemampuan kontrol kritisnya terhadap jalannya kekuasaan. Jika pilar-pilar civil society mampu menahan diri dari godaan kekuasaan jangka pendek, maka kita dapat melihat ada prospek distribusi kekuasaan.
Faktor kedua adalah aktivis dan politisi idealis yang mengambil realisme masuk ke dalam kekuasaan tetapi tidak membiarkan diri laut dan terhanyut dalam dinamika politik pragmatis. Faktor ini sangat riskan tetapi harapan ke sana tentu saja perlu terus dihidupkan.
Dan faktor ketiga adalah perkembangan kesadaran etis dari kalangan terbatas dilingkungan elite kekuasaan yang membatasi orientasi kekuasaan dan kapitalistiknya untuk tujuan-tujuan kemanunisiaan dan kesejahteraan banyak orang.
Ending dari diskusi penulis dengan Dihen yang berfaedah ini adalah distribusi kekuasaan bukan sesuatu yang niscaya dalam sistem politik demokrasi. Ia membutuhkan kerja-kerja penyadaran dan advokasi yang sangat serius.
Oleh sebab itu, dalam kondisi politik yang tengah “galau” saat ini, kita harus menyelamatkan jantung demokrasi yang tengah sekarat. Penulis menaruh harapan, bahwa yang pertama, ada pada rakyat sebagai manifestasi suara Tuhan untuk tidak terjebak dalam permainan pat gulipat aktor politik.
Kedua, juga terselip dalam kebesaran jiwa agar para pelaku politik untuk tidak membengkokkan yang sudah lurus. Dan, yang ketiga, kehadiran kekuatan civil society yang tak pernah lelah mengawal demokrasi.
Sebab, pada mulanya, politik itu adalah mulia. Baik politik sebagai ilmu, seni, aktivitas maupun institusi.
Tulisan milik Bapthista Mario Y. Sara, Aktivis PMKRI Cabang Kupang St. Fransiskus Xaverius.
“Disclaimer: Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.”
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.