HomePolitikDistribusi Kekuasaan dan Degradasi Moral Elite

Distribusi Kekuasaan dan Degradasi Moral Elite

Oleh Bapthista Mario Y. Sara, Aktivis PMKRI Cabang Kupang St. Fransiskus Xaverius

Kecil Besar

Politik kekuasaan tidak dipungkiri biasanya akan selalu melibatkan pragmatisme โ€“ acap kali menimbulkan degradasi moral di antara para elite penguasa. Meski begitu, distribusi kekuasaan harus tetap dilandaskan pada etika dan penguatan civil society.


PinterPolitik.com

Menjadi seorang politikus rasanya sungguh menggiurkan. Profesi ini telah merebut hati banyak orang. Mulai dari orang-orang biasa saja, para investor, sampai akademisi pun tak luput dari jerat jaringnya.

Maka tak heran, ketika demokrasi menjadi โ€œpanglimaโ€ dalam kehidupan bernegara akhir-akhir ini, politikus menjadi euphoria massa. Ketika konstitusi memberi peluang bagi berkembangnya demokrasi dan pesta demokrasi menjadi ajang kontestasi meraih kekuasaan, maka menjadi politikus adalah sebuah keniscayaan.

Boleh jadi, menjadi seorang politikus merupakan pekerjaan yang sesungguhnya mulia. Politikus bisa menjadi apa saja: Presiden/Wakil Presiden, Menteri, Anggota Dewan, Gubernur, Bupati, Walikota, bahkan Mahkamah Agung sekalipun. Artinya, seorang politikus bisa melintasi batas-batas kekuasaan seperti eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.

Kehidupan politikus tentu akan senantiasa dikaitkan dengan perilaku politik yang dilakukannya dalam mengemban tugas sebagai amanah rakyat. Kerap kali, panggung politik yang diperankan oleh para politikus membuat jemu masyarakat.

Mengapa? Perilaku politik yang diusung para politikus seringkali justru melukai hati konstituennya. Di samping janji-janji yang pernah ditepati, perilaku hedonis dan pragmatis tiba-tiba menyeruak ke permukaan tanpa ada rasa malu.

Para politikus yang tak meraih kekuasaan lewat hajatan demokrasi itu mempertontonkan kehidupan serba mewah dan berkelas. Amat kontras dengan kehidupan para jelata yang untuk urusan primer saja tidak mampu untuk memenuhi.Berbagai tindakan tidak โ€œsenonohโ€ yang dipertontonkan oleh elite politik menjadi cemooh tersendiri bagi dunia politik.

Perlombaan untuk mendahulukan kepentingan pribadi atau golongan dengan mengabaikan kepentingan umum atau kepentingan bersama, korupsi yang menggerogoti hampir semua elemen politik, serta berbagai perilaku tidak pantas lainnya yang didukung oleh kekuasaan politik tidak jarang mengundang sinisme yang pada gilirannya akan membuat citra politisi dipandang rendah.

Berbagai perilaku tidak pantas itu seakan menjadi antiklimaks moralitas politik yang ditanamkan oleh para pendiri bangsa (Udjan, 2008). Setiap politikus โ€“ baik sebagai elite partai, wakil rakyat, pejabat, maupun pemangku kebijakan publik lainnya โ€“ harus menjalankan politik yang santun, beretika, dan berintegritas.

Dalam bukunya yang berjudul Etika Politik, Magnis Suseno (1987 :13) menyatakan bahwa etika berkaitan dengan refleksi moralitas yang berisi sekumpulan norma sebagai pegangan suatu komunitas atau masyarakat sehingga seluruh hidup dan laku tingkah laku manusia tidak merugikan satu sama lain. Oleh karena itu, etika adalah kumpulan nilai-nilai atau asas yang memungkinkan seseorang mengaktualisasikan diri sebagai manusia yang bermartabat dan beradab.

Baca juga :  Country Over Party

Dengan demikian, perilaku politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara adalah perilaku yang menampilkan kegiatan pelibatan dan keterlibatan dalam proses pengambilan keputusan yang dibuat (oleh dan) bagi kehidupan bangsa dan negara. Terdapat pula pandangan bahwa perilaku politik adalah perilaku yang terdapat pada apa yang kita rumus artikan sebagai dunia politik dengan  segala tingkah dan polah yang terjadi di dalamnya.

Distribusi Kekuasaan Dalam Lanskap Demokrasi

Akhir-akhir ini, kita dipertontonkan dengan berbagai pertunjukan dan manuver elite penguasa. Sebagai bagian dari membangun komunikasi politik yang elegan tentu dimungkinkan bagi setiap petinggi partai politik. Oleh karena itu, politik adalah menasbihkan yang namanya power sharing dan koalisi menjadi wahana untuk menentukan sikap dan komitmen โ€œapakah akan bersama-sama dalam satu โ€œperahuโ€ atau akan beralih pada โ€œsampanโ€ yang lain.โ€

Dan rasanya, gula kekuasaan tetap menjadi rebutan. Elite partai politik saling berhasrat untuk berada dalam lingkaran kekuasaan sebab menjadi bagian dari pemangku kebijakan adalah kesenangan dan kebanggaan dari sebuah partai politik.

Maka dari itu, pada akhirnya, koalisi tak lagi menjadi bagian dari tanggung jawab mereka untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang menghadang di depan mata. Akan tetapi, manuver-manuver ini hanya menjadi ajang pembagian โ€œkue kekuasaan.โ€

Agregasi dan artikulasi kepentingan kian kuat dipertontonkan. Manuver untuk membentuk โ€œporosโ€ kekuatan tertentu menjadi bagian dari sebuah bargaining power. Kita tidak lagi melihat drama politik yang konstruktif guna memikirkan bagaimana negara ini akan dibangun demi terciptanya bonum comune di zaman yang semakin edan ini. Akan tetapi, politik diumbar hanya sebagai bentuk โ€œdagang sapiโ€.

Kekuasaan didistribusikan oleh kedaulatan rakyat yang memilih elite politik untuk diberi amanah memimpin dan mengelola kekayaan negara. Namun, kemudian, jika nafsu berkecamuk dan dahaga kekuasaan dipertontonkan melalui sekat-sekat primordialisme, maka jangan harap rakyat dapat memperoleh mimpinya โ€“ berupa kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Distribusi kekuasaan semestinya bersandar pada komitmen kebangsaan dan kesejahteraan di atas segalanya. Kesatuan dan persatuan jangan lah hanya menjadi slogan yang hampa.

Baca juga :  Bahaya Megawati Bangkang Prabowo?

Walau pada dasarnya demokrasi membuka ruang untuk distribusi kekuasaan, kekuasaan itu sendiri akan cenderung terus bergerak ke arah konsentrasi kekuasaan. Dinamika capaian dan masa depan distribusi kekuasaan sangat lah bergantung pada sejumlah faktor.

Sebagaimana yang disampaikan oleh Antonius Doni Dihen โ€“ mantan Ketua Presidium Pengurus Pusat PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Repulik Indonesia), pendistribusian kekuasaan, terjadi harus berlandaskan beberapa faktor.

Di antaranya adalah, pertama, kekuatan civil society yang tetap menjaga kekuatan, independensi, dan kemampuan kontrol kritisnya terhadap jalannya kekuasaan. Jika pilar-pilar civil society mampu menahan diri dari godaan kekuasaan jangka pendek, maka kita dapat melihat ada prospek distribusi kekuasaan.

Faktor kedua adalah aktivis dan politisi idealis yang mengambil realisme masuk ke dalam kekuasaan tetapi tidak membiarkan diri laut dan terhanyut dalam dinamika politik pragmatis. Faktor ini sangat riskan tetapi harapan ke sana tentu saja perlu terus dihidupkan.

Dan faktor ketiga adalah perkembangan kesadaran etis dari kalangan terbatas dilingkungan elite kekuasaan yang membatasi orientasi kekuasaan dan kapitalistiknya untuk tujuan-tujuan kemanunisiaan dan kesejahteraan banyak orang.

Ending dari diskusi penulis dengan Dihen yang berfaedah ini adalah distribusi kekuasaan bukan sesuatu yang niscaya dalam sistem politik demokrasi. Ia membutuhkan kerja-kerja penyadaran dan advokasi yang sangat serius.

Oleh sebab itu, dalam kondisi politik yang tengah โ€œgalauโ€ saat ini, kita harus menyelamatkan jantung demokrasi yang tengah sekarat. Penulis menaruh harapan, bahwa yang pertama, ada pada rakyat sebagai manifestasi suara Tuhan untuk tidak terjebak dalam permainan pat gulipat aktor politik.

Kedua, juga terselip dalam kebesaran jiwa agar para pelaku politik untuk tidak membengkokkan yang sudah lurus. Dan, yang ketiga, kehadiran kekuatan civil society yang tak pernah lelah mengawal demokrasi.

Sebab, pada mulanya, politik itu adalah mulia. Baik politik sebagai ilmu, seni, aktivitas maupun institusi.

Tulisan milik Bapthista Mario Y. Sara, Aktivis PMKRI Cabang Kupang St. Fransiskus Xaverius.

โ€œDisclaimer: Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.โ€

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Apocalypse Now Prabowo: Sritex dan Tritum Konfusianisme

Badai PHK menghantui Indonesia. Setelah Sritex menutup pabriknya dan menyebabkan 10 ribu lebih pekerja kehilangan pekerjaan, ada lagi Yamaha yang disebut akan menutup pabrik piano yang tentu saja akan menyebabkan gelombang pengangguran.

Tiongkok Pesta Thorium, Bisa Pantik โ€œPerangโ€? 

Dunia dihebohkan dengan kabar bahwa Tiongkok berhasil menemukan cadangan thorium yang jumlahnya diprediksi bisa menghidupi kebutuhan energi negara tersebut selama 60 ribu tahun. Kira-kira, apa dampak geopolitik dari hal ini? 

Ini Akhir Cerita Thohir Brothers?

Mega korupsi Pertamina menguak dan mulai terarah ke Menteri BUMN, Erick Thohir, dan sang kakak, Garibaldi atau Boy Thohir. Utamanya, terkait jejaring kepentingan personal dan politik yang bisa saja akan menjadi pertimbangan Presiden Prabowo Subianto kelak atas sebuah keputusan. Benarkah demikian?

Siasat Ahok โ€œBongkarโ€ Korupsi Pertamina

Ahok tiba-tiba angkat bicara soal korupsi Pertamina. Mengacu pada konsep blame avoidance dan UU PT, mungkinkah ini upaya penghindaran?

Open Loker Cawapres 2029, Puan Maharani? 

Puan Maharani belakangan terlihat semakin melunak terhadap pemerintah dan khususnya terhadap Prabowo Subianto. Mungkinkah hal ini berujung pada kolaborasi politik menuju Pemilihan Umum 2029? 

The War: Prabowo vs Mafia Migas

Kasus dugaan korupsi di Pertamina Patra Niaga nyatanya menyimpan pertanyaan besar soal keberadaan para โ€œmafiaโ€ di bisnis migas.

Dari Deng Xiaoping, Sumitro, hingga Danantara

Presiden Prabowo Subianto telah resmikan peluncuran BPI Danantara pada Senin (24/2/2025). Mengapa mimpi Sumitro Djojohadikusumo ini penting?

Bahaya Megawati Bangkang Prabowo?

Megawati Soekarnoputri mengeluarkan arahan resmi untuk para kepala daerah dari PDIP agar menunda kehadiran mereka di acara retreat kepala daerah yang diadakan oleh pemerintahan Prabowo Subianto.

More Stories

Ini Strategi Putin Meraih Stabilisasi?

Oleh: Muhammad Ferdiansyah, Shafanissa Arisanti Prawidya, Yoseph Januar Tedi PinterPolitik.com Dalam dua dekade terakhir, nama Vladimir Putin telah identik dengan perpolitikan di Rusia. Sejak periode awal...

Pesta Demokrasi? Mengkritisi Pandangan Pemilu

Oleh: Noki Dwi Nugroho PinterPolitik.com Sejak kemerdekaannya pada Agustus 1945, pendiri bangsa Indonesia berkonsensus untuk menjadikan wilayah bekas jajahan Kerajaan Belanda yang bernama Hindia Belanda ini...

Menguak Kabinet Obesitas Prabowo-Gibran

Oleh: Bayu Nugroho PinterPolitik.com Hal menarik  ketika adanya pengumuman kabinet pemerintahan Prabowo โ€“ Gibran adalah komposisinya yang sangat jumbo atau lebih tepatnya obesitas. Pemaknaan obesitas tersebut...