Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mengesahkan Undang-Undang Cipta Kerja yang disebut-sebut bertujuan untuk menciptakan lapangan-lapangan pekerjaan baru untuk masyarakat. Namun, di baliknya, ternyata terdapat dimensi kekuasaan ketiga yang berdampak pada nasib perempuan dan isu sawit.
Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) yang hingga pasca pengesahannya terus mengalami dinamika, memiliki beragam catatan kritis dari berbagai pihak, tidak terkecuali dari kelompok lingkungan dan perempuan. Bukanlah bahasan yang asing lagi jikalau undang-undang ini merupakan ‘pemangkas jitu’ berbagai peraturan lingkungan pendahulunya.
Dalam satu artikel, Menteri Lingkungan Hidup RI Siti Nurbaya Bakar membeberkan argumen yang ringkasnya menjelaskan keberpihakan UU Ciptaker terhadap lingkungan dan rakyat. Namun, rasanya hal itu patut diragukan untuk menteri yang memiliki rekam jejak dalam memberikan izin pembangunan jalan angkut di salah satu kawasan hutan lindung.
Sebagai UU yang memiliki tendensi terhadap pertumbuhan ekonomi, maka pembahasan mengenai korelasinya dengan ekspansi lahan sawit seharusnya bukan hal yang asing; mengingat industri sawit telah menjadi penyumbang utama PDB Indonesia, yakni sebesar 3.52%. Perlu diakui pula bahwa usaha sawit telah menjadi kontributor dalam mengentaskan kemiskinan bagi 10 juta orang.
Namun, angka tersebut tidak pasti menjamin bahwa pihak yang mengalami peningkatan standar hidup adalah ‘warga yang tinggal di sekitar lahan sawit’. Selain itu, angka tersebut tidak dapat meninjau dampak lebih lanjutnya terhadap kelompok marginal, seperti perempuan, karena tinjauan ekonomi sering kali tidak melihat ‘dimensi kekuasaan ketiga’ dan marginalisasi dibalik peningkatan.
Dimensi kekuasaan ketiga dalam Lukes (2003) menjelaskan adanya bentuk kekuasaan untuk mengamankan kepatuhan kelompok subordinat terhadap dominasi. Salah satu upaya pengamanan tersebut adalah melalui ‘dominasi identitas’ di mana terdapat pengakuan yang tidak dikehendaki oleh kelompok subordinat; individu ditekan untuk menyesuaikan diri dengan identitas tertentu.
Selain itu, kelompok pengidentifikasi adalah kelompok yang menginternalisasikan sebuah kecacatan logis kepada kelompok subordinatnya dalam rangka membentuk persepsi yang sejalan dengan kepentingannya. Dengan begitu, pihak subordinat secara sadar atau tidak sadar membatasi kepentingannya dan barangkali, kepentingannya tidak akan pernah mendapat perhatian oleh para ‘pengidentifikasi’. Dalam konteks industri sawit, perlu diulas bagaimana perempuan sering kali menjadi pihak yang tersubordinasi dalam dimensi kekuasaan ketiga, ditambah lagi dengan pemberlakuan UU Ciptaker.
Di balik kesuksesan industri kelapa sawit, terdapat 18 juta buruh yang sebagian besarnya adalah buruh harian lepas perempuan dan telah bekerja selama dua hingga berbelas-belas tahun. Dibandingkan laki-laki, pekerjaan yang diemban oleh perempuan di lahan sawit relatif lebih berisiko, seperti menebas gulma, memupuk, dan menyemprot pestisida yang berpeluang untuk terpapar zat kimia lebih besar.
Namun, di satu sisi pekerjaan yang dilakukan perempuan dianggap tidak signifikan. Hal ini dikarenakan adanya anggapan bahwa cakupan pekerjaan perempuan terbatas pada pekerjaan reproduktif dan aktivitas pertanian skala rendah.
Selain itu, pengklasifikasian beban kerja tersebut tidak lain merupakan dampak dari dualisme lingkungan sosial, yakni domestik dan publik. Domestifikasi perempuan tersebut merupakan wujud identitas yang tidak begitu diinginkan oleh perempuan; melihat implikasinya adalah perempuan, dengan kesibukannya di rumah, dilabeli secara inheren memiliki beban kerja dan kinerja yang relatif minim di kebun sawit. Hasil akhirnya adalah diskriminasi upah.
Dalam beberapa artikel dan studi seperti oleh Miranda Morgan (2020) telah ditinjau bahwa banyak perempuan yang merupakan pemilik lahan di daerah pedesaan. Hal yang mengganjal adalah nama suami selalu dicantumkan dalam sertifikat kepemilikan lahan sehingga pada kesempatan negosiasi bersama para cukong, perempuan sering kali tidak dilibatkan karena cukong hanya melihat nama yang tertera.
Minimnya perspektif perempuan dalam negosiasi tersebut dapat menjadi salah satu alasan mengapa ekspansi lahan sawit terjadi. Dalam tinjauan ekofeminisme, terdapat kedekatan dan rasa pengertian antara perempuan dengan lahan hutan dikarenakan mayoritas aktivitas perempuan di daerah pedalaman berada di kawasan tersebut.
Aktivitasnya seperti dan sebatas mengekstraksi hasil hutan untuk memenuhi konsumsi rumah tangga. Pun, dalam menarik keuntungan perempuan hanya menjual komoditi dalam jumlah terbatas atau berdasarkan permintaan tertentu.
Ekspansi lahan untuk perkebunan sawit tentu menjadi ancaman bagi perempuan. Kurangnya diversifikasi tanaman di kebun sawit sebagai akibat penanaman monokultur akan berdampak pada kerawanan pangan. Selain itu, penguasaan lahan oleh para pengusaha akan mengubah identitas perempuan sebagai petani, yang memiliki kuasa terhadap tenaga kerja dan lahannya sendiri, menjadi buruh upahan yang tunduk pada regulasi perusahaan.
UU Ciptaker yang memasukkan pembahasan regulasi upah dan lingkungan barangkali menjadi mimpi buruk bagi perempuan di daerah lahan subur. Pemangkasan pasal yang mengatur perizinan lingkungan seperti dalam Undang-Undang No.18 Tahun 2013 dan Undang-Undang No.32 Tahun 2009 berpeluang untuk mengundang para pengusaha sawit melakukan ekspansi lahan.
Hal pertama yang perlu ditinjau dalam pemangkasan pasal ini adalah banyaknya pemusatan perizinan pada pemerintah pusat. Dalam ulasan politik, sudah ada studi yang meninjau bagaimana pemerintah pusat memiliki peranan dominan sehingga mempengaruhi jalannya pemerintah lokal.
Hal ini tentu merupakan penyimpangan dari otonomi daerah dalam tataran normatif. Belum lagi pemerintah pusat memiliki otonomi relatif tertentu terhadap kepentingan ekonomi yang pada praktiknya, sering dijumpai pelunturan nilai-nilai demokrasi.
Aspek kedua, seperti dalam studi politik lokal Peterson (1981) ialah pemerintah lokal memiliki minim pengaruh dalam mengatur aspek kesejahteraan warga, yang di dalamnya mencakup lingkungan dan pekerja. Kombinasi dari kedua aspek politik tersebut berpeluang menimbulkan perampasan hak-hak kesejahteraan warga setempat atas tujuan ekonomi dan perempuan menerima dampak berganda seiring minimnya pemerintah daerah menghasilkan dan menegakkan regulasi yang melindungi perempuan di lingkungan publik.
Padahal, berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014, pemerintah daerah memiliki urusan pemerintahan wajib dalam non-pelayanan jasa – di antaranya adalah tenaga kerja, pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, serta lingkungan hidup.
Hal kedua ialah, UU yang dianggap berpihak pada lingkungan dan rakyat ini pun, secara stagnan, tidak menunjukkan pasal-pasal yang mendorong keterlibatan lebih dari masyarakat terhadap perizinan lingkungan. Sama seperti UU pendahulunya, peran masyarakat masihlah sebatas pemberi saran dan tanggapan dalam rencana kegiatan lingkungan.
Dimensi kekuasaan ketiga, di mana adanya hegemoni pemerintah bersama jajarannya dalam menginfiltrasi pemahaman tertentu kepada masyarakat, cukup menjelaskan realitas bagaimana suara rakyat merupakan refleksi kepentingan elite dalam dalih ‘pertumbuhan ekonomi’. Hal ini tercermin dengan banyaknya masyarakat desa berlomba-lomba untuk mengubah lahannya menjadi kebun sawit.
Pula, dengan konteks masyarakat tradisional yang patriarkis, peluang perempuan dalam menyuarakan pendapatnya akan semakin mengecil. Minimnya suara perempuan tampaknya semakin diperkuat dalam Pasal 25 huruf c UU No. 32 Tahun 2009 dalam UU Ciptaker yang berbunyi, “…saran masukan serta tanggapan masyarakat terkena dampak langsung yang relevan terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan.” Diksi ‘relevan’ yang menimbulkan multi-tafsir dalam menentukan batas relevan atau tidaknya, cukup memberikan peluang bagi para ‘pengidentifikasi’ untuk menilai kepentingan perempuan sebagai hal yang tidak relevan dalam isu lahan dan lingkungan.
Terakhir, perhatian penulis ada pada UU Ciptaker yang ditujukan untuk ‘kemudahan kegiatan ekonomi’ justru akan membuka kesempatan seluas-luasnya terhadap privatisasi lahan demi keberlangsungan industri sawit. Hal ini menjadikan perempuan di daerah tersebut sebagai buruh sawit yang sedari awal telah mengalami diskriminasi upah meskipun masih dalam payung UU Ketenagakerjaan 2003 yang lebih rinci dalam menjabarkan regulasi upah dibandingkan UU Ciptaker.
Konsekuensi dari ekspansi sawit dengan iming-iming perluasan lapangan pekerjaan juga tidak mampu menjamin kesejahteraan perempuan sebagai anggota keluarga yang sebagian besar kegiatannya adalah memanfaatkan lahan guna mencukupi kebutuhan konsumsi. Perempuan dalam hal ini akan saling berkompetisi demi memperoleh lahan untuk ditanami tanaman pangan.
Kalaupun tanaman pangan masih dapat ditanami bersama sawit dalam lahan yang sama, tidak ada yang dapat menjamin baik tanaman pangan maupun perempuan itu sendiri tidak akan terpapar zat kimia berbahaya. Pada akhirnya, UU yang dinilai sebagai ‘penyederhanaan’ malah memberikan kompleksitas berlebih bagi buruh perempuan di kebun sawit dan mungkin di lahan-lahan lainnya.
Tulisan milik Rizzah Aulifia, Mahasiswa Sarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia.
Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.