Site icon PinterPolitik.com

Dilema RTH dalam Kontestasi Tripartit Jakarta

Dilema RTH dalam Kontestasi Tripartit Jakarta

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan ketika meninjau Taman Tebet pada Januari 2019 silam. (Foto: Twitter/@aniesbaswedan)

Ruang Terbuka Hijau (RTH) disebut dapat menjadi solusi bagi persoalan banjir yang selama ini membayangi Jakarta. Meski begitu, solusi ini dapat memunculkan dilema dengan adanya kontestasi tripartit (lingkungan, ekonomi-bisnis, dan kelompok marginal) yang menyertainya.


PinterPolitik.com

Awal tahun 2021 ini Jakarta kembali mengalami banjir besar dengan dampak yang cukup signifikan. Beberapa daerah harus terendam air yang kedalamannya berkisaran 30 hingga 75 meter. Namun, apapun itu laporannya, narasi yang dibentuk dan bahkan diucapkan oleh seorang pemimpin negara pun mengatakan bahwa banjir ini diakibatkan oleh curah hujan yang tinggi. Hal tersebut seakan-akan menyalahkan alam sebagai pusat dari bencana yang jelas-jelas diakibatkan oleh manusia.

Salah satu akar permasalahan yang dapat ditinjau ketika melihat peristiwa banjir adalah keberadaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang minim. Berdasarkan data WALHI (2020), jumlah RTH di Jakarta baru mencapai 9.98%. Padahal, dalam UU No. 26 Tahun 2007 pasal 29 tentang Penataan Ruang, telah disebutkan keberadaan RTH di kota setidaknya mencapai 30% dengan 20%-nya merupakan RTH publik.

Fungsi RTH pula tercantum dalam Permen/05/PRT/M Tahun 2008, yakni sebagai kawasan konservasi untuk kelestarian ekologis dan kawasan pengendalian air. Selain itu, RTH dapat menyerap air yang kemudian dapat meningkatkan cadangan air tanah serta menghemat biaya yang harus ditanggung oleh kota dalam menanggulangi banjir (Mbarep & Herdiansyah, 2019).

Dalam studi yang dilakukan oleh Sarbidi (2012) juga ditemukan bahwasanya sub-reservoir yang ada pada RTH dapat mencegah kemungkinan banjir hingga 84% (apabila RTH tersebut mencapai 30%). Dengan kondisi RTH yang tidak mencapai 10% tersebut, peluang banjir yang dapat ditanggulangi hanya sebesar 48%.

Keberadaan RTH tidak hanya menguntungkan secara ekologis. Secara ekonomi pun RTH dapat meminimalisir kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh banjir; sebagaimana dampak banjir dapat menghentikan kegiatan ekonomi untuk sementara waktu.

Namun, hal ini menimbulkan pertanyaan seraya anggaran RTH terus mengalami problematika. Seperti pada tahun 2019 lalu, pemerintah dan DPRD Jakarta sepakat memotong anggaran RTH 2020 dari Rp 1,08 triliun menjadi Rp 700 miliar.

Berjalannya 2020 pun diwarnai oleh Pandemi Covid-19 yang hingga akhirnya ketua DPRD Jakarta, dalam dalih ‘prioritas pencegahan Corona’, menilai anggaran RTH yang masih eksis sangat konsumtif. Optimalisasi persentase RTH sedari awal mungkin berpeluang untuk meminimalisir pengeluaran penanggulangan banjir, yang menurut KUA-PPAS dan RAPBD 2021 dana yang dialokasikan tersebut mencapai Rp4,05 triliun.

Sejalan dengan kepentingan mencegah dampak negatif Covid-19 terhadap ekonomi, tahun 2021 ini Gubernur DKI Jakarta menetapkan Peraturan Gubernur Nomor 118 Tahun 2020 tentang Izin Pemanfaatan Ruang untuk mempercepat perizinan pembangunan gedung dan mendorong sektor properti. Peraturan yang menyederhanakan perizinan dari 365 hari menjadi 57 hari kerja ini dipercaya dapat mendongkrak pemulihan ekonomi seiring terbukanya lapangan pekerjaan, meningkatkan pendapatan daerah, dan menarik para investor.

Warisan Sejarah

Sebelum tiba pada penjelasan tentang mengapa RTH relatif sulit digalakkan di Jakarta, kita perlu melihat konteks historis kecenderungan arah pembangunan kota megapolis tersebut. Sejak zaman kolonial, penanggulangan banjir di Batavia cenderung berorientasi pada solusi infrastruktur, seperti pembuatan kanal.

Studi yang dilakukan oleh Octavianti dan Charles (2019) telah menganalisis kebijakan penanggulangan banjir sejak masa kolonial, hingga reformasi. Pada masa kolonial, pembangunan didominasi oleh investasi untuk infrastruktur dan teknologi informasi. Pun, pada masa ini penurunan lahan di Jakarta sudah terjadi.

Memasuki era Sukarno, pembangunan kota Jakarta diarahkan untuk menjadi ‘kota internasional modern’ yang memiliki struktur bangunan yang megah. Orientasi pembangunan kota tersebut sedari awal telah memperkeruh banjir di Grogol, Rawamangun, dan Kebayoran Baru. Hal ini dikarenakan ketiga wilayah tersebut merupakan daerah yang memiliki daya serap rendah (rawa kering).

Pada masa Suharto, Jakarta tetap mengalami pertumbuhan yang cepat diiringi dengan pembangunan kota-kota baru serta superblok. Memasuki era reformasi, tepat pada tahun 2008 dalam kepemimpinan Gubernur Fauzi Bowo, pemimpin Jakarta tersebut mengatakan bahwasanya menyingkirkan bangunan dari lahan hijau merupakan tindakan yang tidak praktis.

Dengan semangat yang sama, Gubernur Ahok menyatakan bahwa bangunan komersial yang menempati area hijau merupakan hal yang wajar atau legal. Warisan kolonial yang mendiktekan kompleksitas dari modernisasi sebagai upaya menanggulangi lingkungan tersebut akhirnya terus berlanjut hingga hari ini. Ketimbang memanfaatkan lahan kosong menjadi lahan hijau, para aktor secara turun temurun menyukai infrastruktur dan bangunan modern untuk kota yang telah lama terancam tenggelam.

Transformasi alam di perkotaan ini terbentuk dalam berbagai rangkaian sosial, politik, budaya, dan ekonomi yang terikat dalam cakupan geografis. Dengan kata lain, pembentukan alam, termasuk di kota, tidak lain merupakan sebuah proses interaksi yang bersifat politis, dengan aktor-aktor berkuasa di dalamnya memainkan peranan sentral.

Sejalan dengan itu, Henry Lefebvre berpendapat bahwasanya lingkungan perkotaan merupakan produksi sosial yang membuka jalan bagi perpaduan kompleks antara proses ekonomi politik dan sosial yang terus membentuk kembali lanskap perkotaan. Pemikir politik perkotaan barangkali melihat ‘ruang’ sebagai arena politis, di mana masing-masing kepentingan bergulat di dalamnya.

Swyngedouw (2003) juga melihat bahwa lingkungan sudah menjadi hal yang politis, dan dalam artian lain, lingkungan turut andil sebagai sebuah kepentingan. Akan tetapi, persaingan spasial tersebut tidak jarang dimenangkan oleh akumulator modal. Penjelasan ini barangkali cukup mendeskripsikan bagaimana pembangunan RTH, sebagai infrastruktur ekologis, memiliki peluang yang minim untuk terimplementasi ketimbang konstruksi lainnya yang dinilai lebih menguntungkan secara ekonomis.

Dilema RTH

Setelah berkutat dengan persaingan antara gagasan lingkungan dan ekonomi, konteks ruang kembali memunculkan rivalitas antara lingkungan dengan kelompok ‘pinggiran kota’. Dalam melihat kasus ini, politik ekologi perkotaan pula meninjau adanya kondisi material yang membentuk lingkungan perkotaan, yang dikontrol untuk melayani kepentingan elite dengan mengorbankan kelompok marginal.

Tidak menutup kemungkinan, kelompok pinggiran kota menjadi pihak yang paling rentan untuk mengalami segala permasalahan kota. Baik itu sengketa lahan, daya dukung lingkungan, atau pada titik ekstrimnya adalah daya dukung lingkungan yang menyebabkan sengketa lahan.

Guna memenuhi batas minim RTH di lahan yang sudah penuh akan pembangunan, perenggutan lahan kelompok pinggiran kota menjadi hal yang setidaknya harus dilakukan. Hal ini seolah-olah menutup realita bahwa lahan di ibu kota tidak dihabiskan oleh para elit bisnis.

Belum lagi dengan pernyataan yang dilontarkan oleh Direktur Jenderal Cipta Karya Kementerian PUPR yang mengatakan bahwa terhambatnya RTH disebabkan oleh lahan dan dana yang minim, serta permasalahan harga lahan. Padahal, aktor sekelasnya juga menjadi pihak yang memberikan izin pembangunan di lahan yang sudah benar-benar sempit.

Permasalahan kelompok marginal juga tercermin dalam manajemen kota terhadap banjir. Beberapa ahli geografi kritis melihat pembangunan di kota-kota besar secara sengaja menempatkan penduduk miskin di daerah yang rentan terhadap banjir, seperti di pinggiran sungai. 

Dalam kasus Indonesia, rezim Soeharto cukup merefleksikan pembangunan tersebut dan menjadi warisan yang tak terhentikan hingga hari ini. Selain itu, atas nama perlindungan dari banjir, kawasan perumahan pinggiran dan ruang hijau diubah menjadi blok super komersial di tengah kota (Batubara & Kooy, 2018).

Diferensiasi wilayah juga terjadi sebagaimana di ibu kota terdapat daerah ‘kampung’ yang secara tak kasat mata, wilayah tersebut menjadi pelindung bagi pusat kota yang umumnya dihuni oleh kelas menengah ke atas. Hal ini apa yang Neil Smith sebut sebagai ‘risiko tidak setara’ yang mana, risiko dan kerentanan banjir di kota secara sosial dan spasial dikonfigurasi untuk menciptakan ruang perlindungan bagi kelompok tertentu, dan secara bersamaan mengorbankan ruang dan kelompok lainnya.  

Pada akhirnya, RTH di ibu kota akan menjadi bahasan yang dilematis. Persaingan tripartit antara lingkungan, ekonomi-bisnis, dan kelompok marginal menjadi hal yang relatif sulit dipisahkan. Pun, apa yang terjadi hari ini ketiganya tidak bersaing sebagai entitas mandiri, melainkan saling mengendalikan secara vertikal.

Dalam dalih ‘lahan yang sempit’ namun di satu sisi membutuhkan ruang hijau, lahan kelompok marginal berkemungkinan harus dikorbankan. Skenario ini semakin memperkeruh kepentingan lingkungan di mata publik, ketika posisi sesungguhnya adalah sebagai pelindung kepentingan bisnis.


Tulisan milik Rizzah Aulifia, Mahasiswa Sarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia.


Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version