HomeRuang PublikDigitalisasi Birokrasi: Antara Peluang dan Tantangan

Digitalisasi Birokrasi: Antara Peluang dan Tantangan

Oleh Ali Roziqin

Kecil Besar

Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) beberapa kali mendorong digitalisasi birokrasi. Apakah peluang dan tantangan yang perlu dihadapi oleh pemerintah?


PinterPolitik.com

Sejarah panjang birokrasi pemerintahan Indonesia telah terbentuk mengikuti lahirnya bangsa Indonesia. Birokrasi dari masa ke masa telah memberikan kontribusi positif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Meskipun demikian, sistem birokrasi kita tidak lepas dari kritik. Selama ini jika kita mendengar dan berinteraksi secara langsung dengan birokrasi, sebagian besar masyarakat akan memberikan tanggapan miring. Mulai dari menghabiskan waktu yang cukup lama, perilaku koruptif pegawainya, berbelit-belit dan lain sebagainya.

Ambil contoh tindakan korupsi yang dilaporkan oleh ICW (Indonesian Corruption Watch) bahwa ASN (Aparatur Sipil Negara) menempati urutan paling banyak oknum yang tertangkap dari kepolisian, kejaksaan maupun KPK, dengan nilai kerugian mencapai Rp 805 Miliar. Kondisi ini menuntut upaya perbaikan secara transformatif terkait dengan mekanisme birokrasi pemerintahan.

Mengutip apa yang disampaikan oleh โ€œBapak Birokrasiโ€ Max Weber, birokrasi adalah โ€œmachine of countryโ€. Artinya, birokrasi mempunyai peranan penting dalam rangka untuk mencapai tujuan bangsa.

Namun, seperti yang terjadi di negara-negara berkembang lainnya, terkadang birokrasi justru menjadi suatu akar permasalahan. Menurut laporan Bank Dunia terkait dengan indeks Ease of Doing Business (EoDB) Indonesia tahun 2020 adalah peringkat 73 dari 190 negara.

Sementara, posisi Indonesia dibandingkan dengan negara lain di ASEAN, peringkat Indonesia adalah nomor 6 setelah Singapura, Malaysia, Thailand, Brunei Darussalam, dan Vietnam. Salah satu faktor pentingnya adalah inefisiensi birokrasi.

Saat ini, birokrasi pemerintahan Indonesia memiliki strutur yang cukup gemuk. Menurut data BPS (Badan Pusat Statistik) per Juni tahun 2020 jumlah ASN berstatus aktif mencapai 4.121.176. Dari jumlah tersebut, sekitar 77 % adalah PNS di instansi daerah. Meskipun secara tren jumlah ini mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya. Hal tersebut dikarenakan pemerintah menetapkan moratorium pada tahun 2015 dan 2016.

Namun, sebagaimana yang dilaporkan oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu) per Juni tahun 2020, realisasi belanja pegawai mencapai Rp321.136.238.020,00. Angka ini cukup besar mengingat kondisi keuangan negara yang sedang mengalami resesi. Kondisi ini semestinya bisa diminimalisir jika sejak jauh hari pemerintah secara serius mengembangkan digitalisasi birokrasi.

Perubahan global yang saat ini terjadi menuntut transformasi birokrasi pemerintahan yang lebih cepat dan efisien. Salah satu caranya adalah dengan proses digitalisasi. Digitalisasi dilihat sebagai perubahan paradigma dan terkadang disebut sebagai revolusi teknologi (Mergel, Edelmann, dan Haug, 2019; Perez, 2010).

Baca juga :  Prabowoโ€™s Midas Touch: Hilirisasi

Pada waktu yang bersamaan birokrasi pemerintahan semakin sadar akan tuntutan masyarakat dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas layanan. Pemerintah harus memahami bahwa digitalisasi tidak lagi menjadi pilihan, melainkan sebuah keharusan.

Digitalisasi birokrasi tidak hanya akan menghemat pengeluaran negara atas belanja operasional pegawai. Akan tetapi juga dapat meningkatkan efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan.

Hal itu bisa kita lihat bagaimana mekanisme birokrasi tidak berjalan dengan baik pada masa pandemi. Pelayanan yang biasanya dilakukan secara konvensional tatap muka terpaksa tidak bisa dilakukan karena mengikuti protokol kesehatan dan penguncian wilayah (lockdown). Situasi ini tentu berdampak negatif bagi masyarakat yang membutuhkan pelayanan.

Peluang

Sebagai negara besar yang berambisi menjadi negara maju pada tahun 2030, digitalisasi birokrasi pemerintahan Indonesia adalah satu solusi strategis. Digitalisasi sektor publik menjadi ujung tombak dalam mempercepat laju pemulihan ekonomi dan penyelenggaraan pemerintahan.

Hal itu diperkuat dengan posisi Indonesia pada United Nations (UN) e-Government Survey tahun 2020 pada urutan 88 dari 193 negara atau naik 19 peringkat dari peringkat tahun 2018 yang berada di urutan 107.

Berdasarkan hasil survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada November 2019 mencatat, jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 196,7 juta jiwa. Jumlah ini meningkat 23,5 juta atau 8,9 % dibandingkan pada tahun 2018. Jumlah tersebut bisa jadi terus meningkat seiring perkembangan yang ada di masyarakat.

Berikutnya, melihat situasi yang demikian, pada tahun 2020 Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi juga mengalokasikan anggaran Rp 55 miliar untuk mendorong digitalisasi birokrasi, dan 40 miliar diantaranya digunakan untuk mengembangkan kecerdasan buatan (Artificial Inttelligence). Di sisi lain, beberapa kota besar di Indonesia juga telah perlahan mengembangkan Smart City seperti Jakarta, Surabaya, Semarang, dan Makassar, Bandung, Palembang, dan beberapa wilayah lain di Indonesia.

OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) menjelaskan terdapat 6 dimensi yang perlu diperhatikan menuju digitalisasi birokrasi, yaitu: Digital by design; Organisasi publik berbasis data; Open dataCitizen oriented (fokus pada kepuasan masyarakat); Co-creation atau membangun ekosistem digital; dan Proaktif.

Tantangan

Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kesuksesan maupun kegagalan dalam digitalisasi birokrasi. Menurut Kaba dan Said dalam artikel yang berjudul โ€Bridging the Digital Divide Through ICT: A Comparative Study of Countries of the Gulf Cooperation Council, ASEAN, and Other Arab Countriesโ€ faktor tersebut di antaranya adalah faktor ekonomi dan infrastruktur; politik dan regulasi, kesiapan pemerintah dan individu untuk digitalisasi; dan penggunaan ICT oleh pemerintah, bisnis dan individu.

Baca juga :  Dedi Mulyadi Bukan Jokowi?

Selain itu dari beberapa fase digitalisasi yang dikutip dari Lau, Wang dan Atkin (2008) bahwa fase digitalisasi birokrasi (e-government) mempunyai empat tahapan yaitu diseminasi informasi, interaksi, tranksaksi dan layanan digital tanpa batas. Meskipun pemerintah RI telah mengupayakan praktik e-government melalui Peraturan Presiden Nomor 95 tahun 2018 tentang Sistem Penyelenggaran Pemerintah Berbasis Elektronik, serta beberapa peraturan pendukung lainnya, namun sebagian besar sifatnya masih dalam bentuk diseminasi informasi, artinya pemerintah hanya memberikan suatu informasi ke masyarakat tanpa ada bentuk interaksi atau bahkan transaksi yang intens.

Saat ini, birokrasi pemerintahan Indonesia memiliki struktur yang cukup gemuk. Menurut data BPS (Badan Pusat Statistik) per Juni tahun 2020 jumlah ASN berstatus aktif mencapai 4.121.176. Dari jumlah tersebut, sekitar 77 % adalah PNS di instansi daerah.

Penguasaan literasi digital dari para ASN daerah yang kurang merata tentu akan menjadi tantangan besar dari proses digitalisasi. Terutama di beberapa wilayah Indonesia bagian timur, yang mana jaringan dan infrastruktur yang kurang memadai.

Permasalahan infrastruktur ICT adalah hal utama yang sering kita temui di wilayah Negara yang sangat luas. Ketersediaan infrastruktur akan menghambat digitalisasi birokrasi secara utuh. Contohnya adalah satu daerah telah mengembangkan konsep e-government bahkan Smart City, daerah lain justru internet saja belum ada โ€“ terlebih lagi kondisi literasi di masyarakat terhadap produk-produk layanan digital pemerintahan. Kondisi ini tentu memprihatinkan dengan semangat digitalisasi yang tengah diupayakan oleh pemerintah.

Adanya proses digitalisasi dan berkembangnya teknologi informasi yang semakin pesat juga dapat berdampak kompetensi sumber daya manusia masa depan. Aparatur Sipil Negara (ASN) perlu melakukan adaptasi dengan kompleksitas kerja yang berbeda dengan sebelumnya. Maksudnya adalah jika ASN tidak bisa meningkatkan skill dan proses adaptasinya maka akan tersisih. Kondisi tersebut jika tidak diantisipasi dari awal akan mengganggu stabilitas birokrasi publik.


Tulisan milik Ali Roziqin, Mata Garuda Laboratory/Dosen Ilmu Pemerintahan, Universitas Muhammadiyah Malang.


Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.

Banner Ruang Publik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Ebook Promo Web Banner
Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Prabowo & Trump Alami โ€œWarisanโ€ yang Sama?

Kebijakan tarif perdagangan Amerika Serikat (AS) jadi sorotan dunia. Mungkinkah ada intrik mendalam yang akhirnya membuat AS terpaksa ambil langkah ini?

Didit The Peace Ambassador?

Safari putra Presiden Prabowo Subianto, Ragowo Hediprasetyo Djojohadikusumo atau Didit, ke tiga presiden RI terdahulu sangat menarik dalam dinamika politik terkini. Terlebih, dalam konteks yang akan sangat menentukan relasi Presiden Prabowo, Joko Widodo (Jokowi), dan Megawati Soekarnoputri. Mengapa demikian?

Prabowo Lost in Translation

Komunikasi pemerintahan Prabowo dinilai kacau dan amburadul. Baik Prabowo maupun para pembantunya dianggap tak cermat dalam melemparkan tanggapan dan jawaban atas isu tertentu kepada publik, sehingga gampang dipelintir dan dijadikan bahan kritik.

2029 Anies Fade Away atau Menyala?

Ekspektasi terhadap Anies Baswedan tampak masih eksis, terlebih dalam konteks respons, telaah, dan positioning kebijakan pemerintah. Respons dan manuver Anies pun bukan tidak mungkin menjadi kepingan yang akan membentuk skenario menuju pencalonannya di Pilpres 2029.

The Pig Head in Tempo

Teror kepala babi dan bangkai tikus jadi bentuk ancaman kepada kerja-kerja jurnalisme. Sebagai pilar ke-4 demokrasi, sudah selayaknya jurnalisme beroperasi dalam kondisi yang bebas dari tekanan.

PDIP Terpaksa โ€œTundukโ€ Kepada Jokowi?

PDIP melalui Puan Maharani dan Joko Widodo (Jokowi) tampak menunjukan relasi yang baik-baik saja setelah bertemu di agenda Ramadan Partai NasDem kemarin (21/3). Intrik elite PDIP seperti Deddy Sitorus, dengan Jokowi sebelumnya seolah seperti drama semata saat berkaca pada manuver PDIP yang diharapkan menjadi penyeimbang pemerintah tetapi justru bersikap sebaliknya. Lalu, kemana sebenarnya arah politik PDIP? Apakah akhirnya secara tak langsung PDIP akan โ€œtundukโ€ kepada Jokowi?

The Irreplaceable Luhut B. Pandjaitan? 

Di era kepresidenan Joko Widodo (Jokowi), Luhut Binsar Pandjaitan terlihat jadi orang yang diandalkan untuk jadi komunikator setiap kali ada isu genting. Mungkinkah Presiden Prabowo Subianto juga memerlukan sosok seperti Luhut? 

The Danger Lies in Sri Mulyani?

IHSG anjlok. Sementara APBN defisit hingga Rp31 triliun di awal tahun.

More Stories

Ini Strategi Putin Meraih Stabilisasi?

Oleh: Muhammad Ferdiansyah, Shafanissa Arisanti Prawidya, Yoseph Januar Tedi PinterPolitik.com Dalam dua dekade terakhir, nama Vladimir Putin telah identik dengan perpolitikan di Rusia. Sejak periode awal...

Pesta Demokrasi? Mengkritisi Pandangan Pemilu

Oleh: Noki Dwi Nugroho PinterPolitik.com Sejak kemerdekaannya pada Agustus 1945, pendiri bangsa Indonesia berkonsensus untuk menjadikan wilayah bekas jajahan Kerajaan Belanda yang bernama Hindia Belanda ini...

Menguak Kabinet Obesitas Prabowo-Gibran

Oleh: Bayu Nugroho PinterPolitik.com Hal menarik  ketika adanya pengumuman kabinet pemerintahan Prabowo โ€“ Gibran adalah komposisinya yang sangat jumbo atau lebih tepatnya obesitas. Pemaknaan obesitas tersebut...