HomeRuang PublikDi Balik Pelik RUU Penyiaran vs Digitalisasi

Di Balik Pelik RUU Penyiaran vs Digitalisasi


Oleh: Muhammad Azhar Zidane

PinterPolitik.com

Konteks penyiaran saat ini menjadi salah satu topik isu menarik untuk dibahas, terlebih saat perumusan RUU Penyiaran mulai ramai kembali di publik yang merupakan rancangan untuk mengganti dari landasan penyiaran sebelumnya yaitu UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang dianggap kurang relevan saat ini.

RUU Penyiaran pada awalnya lahir dengan semangat untuk menggantikan sistem pada orde baru dengan adanya Departemen Penerangan yang dibentuk oleh Presiden Soeharto.

Namun, pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid atau yang kerap disapa “Gus Dur” dibubarkan dan dibentuklah Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dengan landasan hukum yaitu UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang penyiaran.

Pada era Orde Lama dan Orde Baru, Departemen Penerangan banyak mengatur dan membina pers, media massa, televisi, film, radio, grafika, percetakan, dan penerangan umum.

Ketika Orde Baru, Departemen Penerangan digunakan untuk membatasi pergerakan media massa atau pers. Hal itu dibuktikan dengan dicabutnya izin beberapa media massa, seperti Harian Kompas, Tempo, dan Majalah Monitor. Namun, setelah Orde Baru runtuh dan Gus Dur naik menjadi Presiden Indonesia, Departemen Penerangan dihapus dari kabinet.

Saat ini, Komisi Penyiaran Indonesia menjadi lembaga independen negara untuk mengatur regulasi mengenai siaran televisi dan radio di Indonesia walaupun di tahun 2004 terdapat penyempitan kewenangan dari KPI dengan adanya keputusan dari Mahkamah Konstitusi (MK) atas Judicial Review yang diajukan dengan hasil KPI tak lagi sebagai pihak bersama pemerintah untuk membuat peraturan pemerintah sebagai aturan pelaksanaan Undang-Undang Penyiaran.

Berdasarkan UU Penyiaran, kewenangan KPI terbatas pada menyusun aturan, mengawasi, dan memberikan sanksi namun jika kita lihat secara lebih komprehensif pada masa saat ini dimana era globalisasi dan digitalisasi meluas KPI selayaknya tak hanya berfokus pada penyiaran konvensional yang ada, namun beriringan dengan perkembangan zaman dan konten dalam platform digital yang ada. 

Globalisasi menjadi pengaruh utama dalam kemajuan teknologi saat ini, dampaknya dirasakan oleh setiap lapisan masyarakat tak terkecuali bagi industri penyiaran. Penyiaran saat ini dalam status quo-nya telah bergeser dinamika dengan sebelumnya banyak orang terfokuskan pada penyiaran konvensional seperti televisi dan radio namun saat ini dengan perkembangan zaman dan lahirnya media sosial nampaknya penyiaran konvensional sedikit demi sedikit tergerus eksistensinya.

Baca juga :  Politik Dinasti dan Human Rights: Menakar Penilaian Secara Holistik

Konten televisi yang dapat diakses juga melalui gawai yang ada menjadi salah satu persoalan saat ini walaupun penyiaran konvensional masih memiliki eksistensinya namun tak seperti dahulu. Berangkat dari hal tersebut muncullah banyaknya suara dari masyarakat dengan adanya peraturan legal dalam hal konten digital namun ada sebaliknya yang menolak hal tersebut.

Perdebatan tersebut muncul karena dalil hak privasi seorang individu yang tak mungkin perlu diatur sedalam itu dengan diaturnya juga dengan konten sosial media apa yang akan di tayangkan atau di unggah hingga pembatasan terhadap hak privasi bagi individu.

Namun disisi lain, pemerintah perlu hadir sebagai penetralisir keberadaan hal-hal yang dirasa akan berpengaruh buruk pada negara nya dengan sangat terbuka lebar keran arus informasi dapat dirasakan tak hanya memiliki dampak positif namun dampak negatif pun sama besarnya juga.

Tentu hal tersebut menjadi dilematika dalam perumusan RUU Penyiaran saat ini sebagai salah satu urgensi pembaharuan dari UU Penyiaran yang dirasa telah usang dari tahun 2002 dengan kondisi zaman saat ini. 

Dalam Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) KPI tahun 2015 di Makassar. Secara umum, KPI memberikan usul atas revisi undang-undang terkait tiga hal.

Pertama, penguatan kelembagaan internal KPI yang terdiri atas KPI Pusat dan KPI Daerah dalam rangka optimalisasi kerja pengawasan konten siaran yang jumlahnya semakin berlipat sejak pelaksanaan ASO. 

Kedua, membangun rasa keadilan bagi ekosistem penyiaran melalui usulan pengawasan konten di platform digital.

Ketiga, mengusulkan audit rating demi menghindari adanya tafsir tunggal atas kualitas program siaran di televisi. 

Poin kedua menjadi afirmasi positif dengan diberikannya keadilan ekosistem penyiaran dengan adanya pengawasan konten di platform digital yang ada. RUU Penyiaran dirasa perlu untuk dapat mengakomodir secara objektif semua kebutuhan masyarakat namun tak menyampingkan juga persoalan hak asasi manusia khususnya hak atas privasi bagi tiap individu.

Peran negara penting disini sebagai garda terdepan bagi penyaring dan pencegah hal-hal negatif yang berpotensi negatif bagi keberlangsungan bangsa dan juga keberlangsungan generasi muda bangsa.

Baca juga :  Gus Dur, Pejuang HAM yang Dirindukan

Langkah pengaturan ruang digital di Indonesia menjadi semakin penting ketika melihat kondisi dan permasalahan saat ini, seperti pertumbuhan pengguna internet yang cepat namun tidak diimbangi dengan peningkatan kualitas konten.

Selain itu, tantangan literasi digital yang masih relevan menjadi fokus, termasuk peran penting platform digital dalam menegakkan standar konten yang bermutu.

Revisi UU Penyiaran harus mempertimbangkan perubahan dalam ekosistem media digital tanpa terburu-buru dan tetap menghormati prinsip-prinsip kebebasan berekspresi yang mendasar.

Selain itu, revisi tersebut harus merupakan kolaborasi yang mencerminkan kepentingan bersama, bukan hanya untuk kelompok tertentu. Pengawasan konten dalam ruang digital perlu untuk dibatasi namun tak membatasi secara substansi namun secara regulasi demi kebaikan bersama.

Revisi UU Penyiaran harus mampu menanggapi tantangan kompleks dalam ruang digital sambil menjaga keseimbangan antara perlindungan publik dan kebebasan berekspresi. Sementara itu, penting untuk mengambil langkah-langkah dengan hati-hati mengingat dinamika terus berkembang dalam media digital.

Kritis terhadap proses revisi ini adalah penting untuk mengantisipasi kemungkinan masalah baru dalam penegakan sanksi di masa mendatang.

Harapannya perkembangan zaman tak dijadikan dan dipandang sebagai sebuah permasalahan namun dapat dipandang sebagai suatu hal yang dapat berjalan beriringan dengan konstelasi produk hukum suatu negara.

RUU Penyiaran diharapkan bisa mengakomodir kepentingan rakyat bersama dengan seobjektif mungkin dalam artian tak menjadi alat bagi kepentingan suatu pihak semata namun dapat menjawab permasalahan yang ada saat ini.

Namun, untuk mewujudkan penyiaran yang baik tentu hal tersebut bukan hanya tugas bagi 1 orang atau satu pihak saja namun perlu turut andil oleh semua pihak pun masyarakat Indonesia sebagai aspek konsumen dalam penyiaran dan konten digital yang ada perlu kooperatif dan dapat memahami serta menaati aturan yang ada, karena sebuah transformasi perlu kebersamaan. 


Artikel ini ditulis oleh Muhammad Azhar Zidane

Muhammad Azhar Zidane adalah Mahasiswa Ilmu Politik, Universitas Brawijaya


Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Mustahil Menkominfo Budi Arie Mundur?

Seiring lumpuhnya berbagai layanan publik akibat peretasan Pusat Data Nasional (PDN), muncul desakan agar Menkominfo Budi Arie Setiadi mundur.

Timur Tengah Perang Abadi, Salah Siapa?

Perang selalu ada di kawasan Timur Tengah, mengapa bisa demikian dan siapa yang bisa disalahkan?

Pedas ke Anies, PAN Gelagapan?

Elite PAN Saleh Partaonan Daulay memberi kritik pedas kepada Anies Baswedan atas ambisinya di Pilkada 2024 pasca gagal di ajang Pilpres mengingat dirinya tak memiliki kendaraan politik. Kendati Anies membuktikan sosok non-partai dapat berkontribusi dalam demokrasi, esensi yang disampaikan Saleh kiranya memiliki relevansinya tersendiri.

Sohibul Iman, Ahmad Heryawan 2.0? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) jadi sorotan jelang Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jakarta 2024 karena secara sepihak mengusung Sohibul Iman sebagai pendamping Anies. Kira-kira apa motifnya? 

Pilpres-Pilkada 2024, PDIP Sangat Rungkat?

Selain political confidence yang tampak terkikis, PDIP dianggap kehilangan momentum di Pilkada “tanah Jawa”. Tak terkecuali di Jawa Tengah yang selama ini menjadi basis kekuatan mereka. Lalu, benarkah tren kemunduran PDIP tengah terjadi?

Ridwan Kamil, Kunci Golkar 2029?

Golkar masih menimbang-nimbang soal kemungkinan Ridwan Kamil (RK) alias Kang Emil untuk maju di Pilkada Jakarta atau Pilkada Jawa Barat.

Royal Rumble Pilkada: Jokowi vs Mega vs Prabowo

Pilkada 2024 akan makin menarik karena melibatkan pertarungan perebutan pengaruh para elite. Ini penting karena kekuasaan di level daerah nyatanya bisa menentukan siapa yang paling berpengaruh di level elite.

Mengapa Risma Bisa Saingi Khofifah?

Nama Tri Rismaharini (Risma) diwacanakan untuk jadi penantang bagi Khofifah Indar Parawansa di Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jawa Timur 2024.

More Stories

Mengurangi Polarisasi Agama, Berkaca dari Pemilu 2024

Oleh: Muhammad Iqbal Saputra Pada Pemilihan Umum 2024 (Pemilu 2024), isu politisasi agama kembali mengemuka. Politisasi agama merupakan penggunaan simbol dan retorika agama untuk meraih...

Gus Dur, Pejuang HAM yang Dirindukan

Oleh: Raihan Muhammad PinterPolitik.com Sosok Abdurrahman Wahid atau akrab dipanggil Gus Dur (Presiden ke-4 RI), sang pejuang hak asasi manusia (HAM) yang telah tiada, kembali dirindukan....

Politik Dinasti dan Human Rights: Menakar Penilaian Secara Holistik

Podcast Total Politik bersama bintang stand-up comedy Pandji Pragiwaksono pada 5 Juni 2024 lalu tengah memantik kontroversi. Semua bermula ketika host Arie Putra dan Budi Adiputro bertanya pada Pandji mengapa ia begitu sensitif terhadap isu dinasti politik, sebuah isu yang saat ini tengah gencar disoroti pada keluarga Presiden Joko Widodo (Jokowi).