Meninggalnya Helmud Hontong meninggalkan semangat perlindungan lingkungan hidup di Kepulauan Sangihe, di mana sebelumnya Helmud Hontong menolak aktivitas tambang emas di Kepulauan Sangihe dan masyarakat Sangihe melakukan gugatan atas diterbitkannya izin PT Tambang Mas Sangihe yang dikeluarkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Republik Indonesia (RI).
Indonesia dengan potensi sumber kekayaan alam yang dimilikinya menjadi pisau bermata dua, di satu sisi industri tambang dapat meningkatkan ekonomi pendapatan negara, namun disisi lain kerusakan lingkungan dalam jangka panjang juga kerap kali menjadi masalah yang justru merugikan perekonomian negara dalam jangka panjang.
Tambang dan perlindungan lingkungan hidup bagaikan air dan minyak yang tidak dapat disatukan hal ini dikarenakan dampak tambang itu selalu akan berdampak buruk terhadap lingkungan hidup. Walaupun saat ini teknologi “ramah lingkungan” terus dikembangkan dan digunakan dalam aktivitas penambangan.
Penggunaan teknologi yang “ramah lingkungan” dan pengelolaan tambang sesuai dengan kaidah tambang yang baik (good mining) tentunya hal tersebut tidak menggunakan biaya yang sedikit. Dan hal tersebut cenderung akan merugikan perusahaan dalam segi ekonomi dan penghasilan tambangnya.
Ancaman kerusakan lingkungan akibat aktivitas tambang sepertinya sudah disadari oleh Wakil Bupati Kepulauan Sangihe Helmud Hontong, Helmud menolak adanya aktivitas tambang yang dilakukan oleh PT Tambang Mas Sangihe di wilayah Kepulauan Sangihe karena berpotensi mencemar lingkungan di wilayah yang dia cintai.
Berita meninggalnya Helmud Hontong di dalam Pesawat Lion Air JT 740 rute Denpasar-Makassar pada 9 Juni 2021 mengejutkan banyak pihak. Bahkan, banyak pihak yang menuding kematian Helmud dikarenakan atas penolakan tambang emas di Kepulauan Sangihe tersebut.
Namun, meninggalnya Helmud Hontong tidak menghentikan upaya penolakan aktivitas tambang di wilayah Kepulauan Sangihe. Sejumlah masyarakat Sangihe melakukan upaya gugatan kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) atas penerbitan izin operasi PT Tambang Mas Sangihe ke PTUN Jakarta.
Boleh jadi, Helmud selaku pemimpin telah mencapai tujuannya. Sebagaimana yang disampaikan oleh Sweeney dan McFarlin, kepemimpinan melibatkan seperangkat proses pengaruh antar-orang. Proses tersebut bertujuan memotivasi bawahan, menciptakan visi dan misi masa depan, serta mengembangkan strategi untuk mencapai tujuan.
Dapat dikatakan gugatan yang dilakukan oleh masyarakat Kepulauan Sangihe merupakan warisan penolakan yang dilakukan oleh Helmud. Namun, apakah gugatan yang diajukan oleh masyarakat tersebut dapat menghentikan aktivitas tambang di Kepulauan Sangihe?
Gugatan Lingkungan Sulit Menang
PT Tambang Mas Sangihe mengantongi Wilayah Kontrak Karya seluas 42.000 hektar dan akan digunakan sebagai kegiatan tambang hanya seluas 65.48 hekter. Sedangkan data menurut Ditjen Minerba KESDM total keseluruhan wilayah yang akan ditambang meliputi 4.500 hektar luasan tersebut hanya 11% dari luasan Wilayah Kontrak Karya yang dimiliki oleh PT Tambang Mas Sangihe.
Izin yang dikeluarkan dengan nomor 163.K/MB.04/DJB/2021 tanggal 29 Januari 2021 tentang Persetujuan Peningkatan Tahap Kegiatan Operasi Produksi Kontrak Karya PT Tambang Mas Sangihe mendapatkan penolakan dari masyarakat Kepulauan Sangihe.
Masyarakat yang menolak keberadaan aktivitas tambang serta merasa terancam akan lingkungan hidupnya, akhirnya mengajukan gugatan ke PTUN Jakarta dengan nomor perkara 146/G/2021/PTUN.JKT masyarakat menuntut untuk membatalkan izin PT Tambang Mas Sangihe dan ESDM mencabut izin operasi tersebut serta menuntut ganti kerugian materiil dan imateriil sebesar 71.5 miliar rupiah.
Rozalli Abdullah dalam bukunya yang berjudul Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara menyebutkan bahwa putusan PTUN bersifat Condemnatoir (menghukum), di mana putusan bersifat menghukum pihak yang dikalahkan untuk memenuhi prestasi, meliputi memberi, berbuat dan tidak berbuat.
Namun, apakah gugatan yang dilakukan oleh masyarakat Kepulauan Sangihe atas izin yang dikeluarkan oleh Menteri ESDM bisa menang?
Teori environmental disputes menjelaskan bahwa sengketa lingkungan tidak terbatas pada sengketa yang timbul karena peristiwa pencemaran atau perusakan lingkungan hidup, tetapi juga meliputi sengketa yang terjadi karena adanya kebijakan pemerintah dalam bidang pemanfaatan dan peruntukan lahan, pemanfaatan hasil hutan, kegiatan penebangan, rencana pembangunan PLTA, rencana pembangunan waduk, dan lain-lain.
Dengan demikian, sengketa lingkungan hidup mencakup konteks dalam arti luas. Namun. di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 1 butir 25 menyebutkan bahwa:
“perselisihan antara dua pihak atau lebih yang timbul dari kegiatan berpotensi dan/atau telah berdampak pada lingkungan hidup”
Pasal tersebut memfokuskan dalam kata “kegiatan”, bukan dengan kebijakan atau program pemerintah yang berkaitan dengan masalah lingkungan hidup. Dengan demikian, Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menganut perumusan sengketa lingkungan hidup dalam arti sempit.
Maka dari itu, kebijakan-kebijakan yang mengancam lingkungan di Indonesia masih akan terus ada karena masih bolongnya payung hukum di Indonesia sehingga belum dapat melakukan pencegahan kerusakan lingkungan dari segi kebijakan atau perizinan.
Terlebih lagi, minimnya kesadaran pemangku kebijakan dalam perlindungan dan menjaga kelestarian lingkungan hidup menjadikan rentannya eksploitasi sebesar-besarnya sumber daya alam Indonesia tanpa mempertimbangkan dampak kerusakan lingkungan yang terjadi akibat aktivitas tambang tersebut.
Perlindungan Terhadap Aktivis Lingkungan Minim
Minimnya perlindungan terhadap aktivis lingkungan menjadikan orang yang melakukan perlawanan terhadap aktivitas tambang kerap kali mengalami kriminalisasi. Laporan Situasi Pembela HAM atas Lingkungan 2020 dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) menyebutkan bahwa jumlah korban kekerasan dan kriminalisasi di wilayah rural meningkat tajam dengan jumlah korban petani (40 orang), masyarakat adat (69 orang), dan nelayan (11 orang).
Dalam laporannya, menurut United Nation Enviroment Program (UNEP) tahun 2019, peningkatan serangan kepada aktivis lingkungan dan pejuang HAM berdampak pada gagalnya penegakan hukum lingkungan.
Di Indonesia sendiri, padahal, berlaku Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang berbunyi:
“setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun perdata”
Pasal 66 menjelaskan tentang konsep Anti Strategic Lawsuit Against Public Participation (Anti SLAAP) menurut Pring dan Canan Anti SLAAP tidak membatasi perlindungan hanya ketika target atau korban SLAAP telah menempuh prosedur hukum.
Pengaturan hukum yang tertuang di dalam Pasal 66 Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup nyatanya belum mampu untuk melindungi aktivis lingkungan hidup yang memperjuangkan hak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan layak
Masih tingginya angka kriminalisasi terhadap aktivis lingkungan diakibatkan ketiadaan kepastian hukum, di mana menurut Lawrence M Friedman setiap sistem hukum terdiri dari 3 (tiga) sub-system, yakni sub-system substansi hukum (legal substance), sub-system struktur hukum (legal structure), dan sub-system budaya hukum (legal culture).
Dalam sub-sistem struktur hukum yang menyangkut kelembagaan (institusi) pelaksana hukum. Dalam hal ini, aparat Kepolisian RI yang masih minimnya pemahaman terhadap Anti-SLAAP yang diundangkan di dalam Pasal 66 Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Serta, gugatan yang dilakukan oleh masyarakat Kepulauan Sangihe di PTUN Jakarta atas penerbitan izin tambang PT Tambang Mas Sangihe merupakan upaya perlindungan lingkungan yang di jamin oleh undang-undang.
Lalu apakah gugatan masyarakat ampuh untuk menghentikan aktivitas tambang yang terjadi di Kepulauan Sangihe? Menarik untuk kita tunggu kelanjutannya.
Tulisan milik Falis Aga Triatama, Praktisi Hukum di Winrow Veritas Law Firm.
Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.