Posisi wakil gubernur DKI Jakarta kini diperebutkan oleh dua pihak, yakni Partai Gerindra dan PKS. Namun, kursi DKI-2 ini bisa jadi berimplikasi pada kompetisi dan kontestasi politik pada tahun 2024 nanti.
PinterPolitik.com
Carut-marut politik negeri ini bisa dibilang masih belum stabil pasca-Pilpres 2019. Banyak warisan-warisan kontestasi politik terbesar di negeri ini yang berdampak langsung pada instabilitas politik dalam negeri.
Salah satunya adalah aktivitas politik di daerah yang juga masih beriak karena Pilpres yang melelahkan tersebut. DKI Jakarta adalah daerah yang secara langsung masih menerima dampaknya. Di sisi lain, ibu kota memang memiliki keistimewaan dalam proses politik di negeri ini dan menjadi daerah yang paling penting dalam menyusun dan memetakan proses-proses politik nasional.
Namun, yang paling utama adalah mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Salahuddin Uno yang juga menjadi salah satu faktor. Pasalnya, setelah terpilih menjadi wagub mendampingi Anies Baswedan dan berhasil memenangkan Pilgub dengan tensi yang luar biasa pada 2017 lalu, Sandiaga kembali dipinang oleh Koalisi Merah Putih yang dihuni oleh Gerindra, PKS, PAN, dan Demokrat untuk menantang Presiden Joko Widodo dengan Koalisi Indonesia Majunya yang dipimpin partai pengusung utama PDIP.
Pada 2017 lalu, pasangan Anies-Sandi yang saat itu bertarung dalam dua putaran Pilgub DKI melawan Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni, lalu di pihak petahana Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat dengan berhasil mengungguli Ahok-Djarot pada putaran kedua. Di masa kampanye, Sandi fokus terhadap berbagai isu ekonomi dan kemiskinan warga DKI dengan menjanjikan program OKE-OCE miliknya.
Setelah menjabat, nampak tren postif Sandi di masyarakat yang semakin menguat dan modal ekonomi yang mumpuni sebagai salah seorang pengusaha muda yang memiliki banyak aset dan kekayaan yang melimpah. Tak ayal, hal ini membuat Prabowo Subianto kepincut untuk memilih Sandi yang merupakan kadernya sendiri di partai berlambang Garuda tersebut untuk mendampinginya dalam Pilpres 2019 lalu.
Alhasil, pada 27 Agustus 2018, di depan sidang paripurna DPRD DKI Jakarta, Sandi resmi mengundurkan diri. Dia berdalih bahwa pengunduran dirinya untuk mencegah politisasi jabatan yang dipangkunya sekaligus untuk bisa fokus berkampanye bersama Prabowo. Di sinilah, awal mula instabilitas politik terjadi, yakni ketika terjadi perebutan antarpartai untuk merebut kursi DKI-2.
Khianat Gerindra terhadap PKS
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 pasal 176 tentang Pemilihan Kepala Daerah adalah blueprint untuk memilih pengganti Sandi. Dalam pasal tersebut, dijelaskan bahwa pergantian wagub akan dilakukan berdasarkan hasil pemilihan DPRD dan partai yang berhak mengajukan calonnya adalah partai pengusung gubernur dan wagub saat bertarung di Pilgub, yakni Gerindra dan PKS.
Sejak tahun 2014, dua partai ini menjadi koalisi yang sangat solid, baik di Pilpres 2014 hingga berdampingan mengawal pemerintahan Jokowi sebagai pihak oposisi. Tak ayal, pada Pilgub DKI 2017, mereka berkoalisi lagi dengan mendorong Anies-Sandi.
Setelah Sandi resmi mengundurkan diri jabatannya dan mendampingi Prabowo dalam Pilpres 2019, Gerindra sendiri legowo jika pengganti Sandi berasal dari kader PKS – mengingat Sandi sendiri adalah kader Gerindra dan telah mendapat dua kali kesempatan untuk maju dalam kontestasi politik paling bergengsi di negeri ini. Hal inipun dibenarkan oleh Wakil Ketua Umum Gerindra Fadli Zon.
Namun, situasi pasca-Pilpres 2019 – dengan kekalahan Prabowo-Sandi dan merapatnya Gerindra ke pemerintahan – mengubah dan mempersulit kompromi PKS dalam merebut kursi wagub yang telah kosong lebih dari setahun. Gerindra malah mengajukan calonnya sendiri, yakni Ahmad Riza Patria dan PKS mengajukan Nurmansyah Lubis.
Namun, siapakah di antara mereka yang paling berpeluang untuk memenangkan lobi politik di DPRD? Merapatnya Gerindra ke pemerintahan Jokowi baru-baru ini bisa jadi memberikan kemudahan bagi Gerindra untuk berkompromi dengan partai-partai lain – seperti PDIP, Golkar, dan partai-partai lain yang berada dalam Koalisi Indonesia Maju pada Pilpres.
Lobi politik kedua partai menjadi yang paling menentukan. Di sisi lain, PKS bisa saja memenangkannya – bergantung pada komunikasi yang dijalin dengan partai-partai lain. Hal inilah yang menyebabkan begitu panjangnya proses mencari pengganti Sandi dari kursi jabatannya.
Anies sendiri disebut-sebut kerepotan tanpa wakilnya, mengingat ada beberapa agenda protokoler yang memang hanya boleh dilakukan oleh gubernur dan wagub. Beberapa agenda harusnya dapat dibagi berdua harus dihadiri olehnya sendiri sehingga efisiensi kerja dan manajamen kerja yang lumayan.
Hikmah dari Pilwagub DKI
Mekanisme pemilihan wakil gubernur DKI bisa jadi memaparkan bukti bahwa pemilihan kepala daerah melalui DPRD akan membawa banyak masalah seperti apa yang diwacanakan baru-baru ini. Pilkada tak langsung atau pilkada asimetris ini dilontarkan oleh Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian.
Tito berdalih perihal banyaknya permasalahan pada pilkada langsung membuat dia melempar wacana ini mulai dari tingginya money politics, tingginya biaya yang harus dibebankan kepada negara untuk menyelenggarakan Pilkada, dan potensi konflik yang timbul akibat Pilkada langsung. Namun di lain pihak, usulan ini dianggap hanya akan memenuhi kepentingan elit semata dan partisipasi rakyat di daerah akan direduksi oleh pilkada asimetris ini.
Dalam pandangan penulis, apa yang terjadi pada pemilihan Wakil Gubernur DKI Jakarta menjadi role model yang menyeramkan jika Pilkada asimetris diberlakukan. Implikasi dari diberlakukannya Pilkada asimetris ini adalah tersentralisasinya kekuasaan kepada pemerintah pusat.
Loh, kok bisa? Jika kita cermati pola yang terjadi pada mekanisme pemilihan wakil gubernur DKI yang akan dilakukan oleh DPRD memiliki kesamaan dengan mekanisme yang diwacanakan oleh Mendagri. Realitas proses lobi-lobi politik di DPRD DKI ternyata sangat ditentukan oleh koalisi pemerintahan yang sedang berkuasa di pemerintahan.
Kemudahan Gerindra membujuk partner koalisinya berbanding terbalik dengan PKS yang memutuskan untuk menjadi oposisi. Tak ayal, kursi DKI-2 sangat dipengaruhi oleh pemerintah pusat dalam hal ini koalisi pemerintah.
Bukan tidak mungkin Pilkada asimetris nantinya juga mengalami hal yang sama yang mana kontestasi di daerah sangat ditentukan oleh deal-deal politik pucuk pimpinan parpol di pusat. Partisipasi daerah benar-benar hilang dalam menentukan pimpinannya dan kemenangan calon akan ditentukan oleh seberapa gendutnya koalisi partai saat pilpres.
Wakil Baru dan Langkah Anies di 2024
Lalu, apakah langkah Anies dalam memimpin Jakarta akan mulus dengan Wagub baru? Dua calon yang diajukan – Ahmad Riza Patria dan Nurmansyah Lubis – sama-sama mengaku akan mendukung Anies dalam mengawal Jakarta. Namun, jika dilihat dari kacamata kepentingan parpol pendukung dan melambunngnya elektabilitas Anies di 2024 untuk menjadi capres, sangat menarik untuk dikaji tentang posisi wagub dalam memetakan alur parpol untuk Pilpres 2024, utamanya Gerindra.
Posisi wagub DKI Jakarta akan cukup krusial – di mana Anies yang sudah digadang untuk menjadi capres 2024 pastilah mencari pasangan yang akan memperkuat langkahnya menuju Istana. Implikasi dari hal ini menjadikan posisi wagub adalah langkah terbaik untuk memajukan cagub Jakarta ke depannya – terlepas apakah Anies akan tetap mencalonkan diri pada tahun 2022 atau tidak mengajukan diri dan akan fokus dalam pencalonannya di 2024.
Secara tidak langsung, wagub nantinya disiapkan untuk sekaligus menjadi cagub – bila melihat probabilitas Anies untuk 2024 nanti. Lalu, bagaimana dengan nasib PKS? Sejauh ini, PKS bisa jadi adalah pihak yang paling gencar melakukan lobi-lobi ke fraksi partai lainnya, utamanya PDIP yang memiliki kursi terbanyak di DPRD Jakarta. Namun, langkah PKS semakin berat disusul pernyataan fraksi Golkar dan PAN yang menyatakan akan mendukung Gerindra.
Namun, pada intinya, di balik panggung dan sandiwara politik DKI menjelang pemilihan wagub, para calon dan fraksi–fraksi yang duduk di dewan harus menyadari bahwa siapapun yang menjadi pilihan mereka harus berkompeten dan berintegritas dalam menghadapi segudang masalah di ibu kota, seperti banjir yang selalu menghantui warga, kemacetan, dan, yang paling santer, yakni pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan Timur (Kaltim) yang membutuhkan proses panjang dan rumit nantinya.
Tulisan milik Muh. Wahyu, mahasiswa Ilmu Politik di Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar.
“Disclaimer: Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.”
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.