HomePolitikDi Balik Kekhawatiran Pangan Jokowi

Di Balik Kekhawatiran Pangan Jokowi

Oleh Yayan Hidayat, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik di Universitas Indonesia

Presiden Joko Widodo (Jokowi) beberapa waktu lalu mengungkapkan kekhawatiran akan krisis pangan di Indonesia. Sebenarnya, langkah apa saja yang diperlukan untuk menjaga ketahanan pangan di tengah pandemi Covid-19?


PinterPolitik.com

Penerapan normal baru seyogianya memperhatikan beberapa dimensi kebijakan yang saling kait-berkelindan dan tak dapat dijalankan secara sektoral. Dimensi kebijakan itu meliputi kebijakan kedaruratan kesehatan, jaringan pengaman sosial, stimulus fiskal, serta dimensi paling penting dan menentukan efektivitas berjalannya normal baru, yakni mitigasi risiko terkait ketahanan pangan.

Pemulihan ekonomi tanpa diiringi dengan kebijakan sistem layanan kesehatan yang ketat akan menghasilkan lonjakan warga terpapar pandemi. Sebaliknya, sistem layanan kesehatan yang ketat tanpa diiringi dengan langkah mitigasi risiko ketahanan pangan akan memunculkan efek domino yang lebih besar. Setiap dimensi kebijakan yang menopang berlangsungnya normal baru tersebut harus dijalankan secara berimbang.

Berdasarkan data Global Food Security Index (GFSI) dari The Economist Intelligence Unit 2019, indeks ketahanan pangan Indonesia naik dari 54,8 pada 2018 menjadi 62,6 pada 2019. Indonesia di posisi ke-62, naik dari posisi 65 pada 2018 dari 113 negara di dunia.

Di ASEAN, Indonesia di posisi ke-5 setelah Vietnam. Penilaian indeks ini berdasar pada empat aspek, yaitu keterjangkauan, ketersediaan atau terjaganya penawaran, kualitas, dan keamanan standar nutrisi dan sumber daya, lahan, dan produksi pangan.

Namun, situasi pada tahun sebelumnya tentu tak dapat menjadi acuan di tengah masa krisis. Wabah Covid-19 yang tak kunjung usai telah merangsek dan mengubah situasi secara cepat.

Segala aspek kehidupan cenderung mengarah pada situasi baru. Imbauan pemerintah kepada masyarakat untuk melakukan pekerjaan dari rumah dan menjaga jarak secara fisik serta kebijakan beberapa pemerintah daerah yang mengimplementasikan karantina wilayah secara parsial dan melakukan pembatasan kegiatan di keramaian telah membuat perubahan situasi baru di hampir semua aspek kehidupan, termasuk perubahan pola rantai pasok pangan. Sistem atau pola kerja di sektor pangan memang tampaknya berubah sangat signifikan di tengah wabah virus, mulai dari proses produksi hingga konsumsi, dari hulu hingga hilir.

Dari perspektif produksi atau hulu, para petani dan produsen makanan mulai merasakan perubahan terkait pasokan input dan juga harus menyesuaikan protokol berproduksi untuk menjamin kualitas dan keamanan pangan di tengah pandemi, khususnya di wilayah yang sudah terkontaminasi.

Mobilisasi bahan pangan juga mengalami beberapa penyesuaian di mana terjadi pola perubahan jalur pasokan yang lebih banyak menuju pasar-pasar modern dan pasar yang berbasis online. Sementara itu dari sisi konsumsi, akibat diterapkannya pembatasan sosial di beberapa wilayah, pola transaksi juga mulai berubah yang ditunjukkan semakin meningkatnya transaksi yang menggunakan platform digital.

Kondisi inilah yang pada akhirnya membutuhkan penyesuaian strategi kebijakan terkait pangan di semua lini (produksi hingga konsumsi dari hulu hingga hilir) agar ketahanan pangan di Indonesia tetap terjamin selama pandemi Covid 19 berlangsung.

Ironi Ketahanan Pangan

Food and Agriculture Organization (FAO) menyampaikan akan adanya ancaman kelangkaan pangan di masa pandemi Covid 19. Masalah ketahanan pangan menjadi sangat penting sekaligus rentan bermasalah pada situasi bencana.

Baca juga :  “Parcok” Kemunafikan PDIP, What's Next?

Ketahanan pangan mengindikasikan pada ketersediaan akses sumber makanan sehingga dapat memenuhi kebutuhan dasar. Kondisi pandemi mengakibatkan ketersediaan akses terhadap makanan akan diperparah dengan semakin memburuknya penyebaran wabah serta  perpindahan penduduk yang mengikutinya.

Warga kota yang kehilangan pekerjaan memboyong keluarganya untuk kembali ke desa. Lonjakan ruralisasi ini yang kemudian dikhawatirkan menjadi beban baru bagi pemenuhan stok pangan di pedesaan selama wabah virus. Hal ini juga semakin membenarkan pernyataan Burgui (2020) bahwa wabah yang terjadi di dunia akan meningkatkan jumlah penduduk yang mengalami kelaparan dan malnutrisi.

Kekhawatiran pemerintah dan berbagai pihak mengenai kelangkaan bahan pangan ternyata tidak memudahkan petani sebagai hulu produksi pangan. Ironisnya, yang terjadi adalah penurunan harga komoditas pangan hingga pada level terendah di berbagai wilayah, terutama di Pulau Jawa.

Anjloknya harga komoditas pertanian sangat merugikan petani di tengah pandemi. Petani yang menjadi tumpuan harapan penyedia pangan masyarakat justru terancam merugi yang berakibat pada ketidakmampuan membeli bibit dan memperbaharui tanaman mereka.

The Strategic Research and Consulting (TSRC) baru-baru ini melakukan jajak pendapat secara daring berjudul ketahanan pangan hadapi pandemi Covid 19. Jajak pendapat ini mencoba menguak cadangan ketersediaan makanan pokok masyarakat. Adapun responden dalam penelitian ini menyasar 466 petani yang tersebar di 17 Provinsi di Indonesia.

Per Mei 2020, status musim tanam per Provinsi di Indonesia adalah 60 persen provinsi sedang menanam seperti Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Lampung, NTB, Riau, Sulawesi Tengah, Sumatera Utara, Jawa Barat, Maluku Utara, Sumatera Selatan dan Jawa Timur serta 40 persen Provinsi sedang masa panen seperti Maluku, NTT, Sulawesi Selatan, Papua Barat, Kalimantan Selatan, Bengkulu dan Sulawesi Utara.

Berdasarkan status musim tanam tersebut, ketahanan pangan dominan per Provinsi hanya dapat bertahan dalam rentang waktu 2 minggu hingga di atas 3 bulan (80%). Jika akhir masa pandemi adalah bulan Oktober 2020 (Prediksi Singapore University) maka hampir seluruh provinsi lokasi jajak pendapat terancam krisis pangan.

Adaptasi Normal Baru, Memperkuat Resiliensi Pangan

Cukup-tidaknya ketersediaan pangan sepanjang masa Covid 19 ditentukan dari kebijakan yang dihasilkan oleh pemerintah. Normal baru seharusnya menjadi momentum untuk reformulasi strategi memperkuat ketahanan pangan warga.

Pemerintah pusat meminta daerah untuk mengoptimalkan percepatan tanam padi jelang musim kemarau tahun ini. Hal itu sekaligus sebagai penanda langkah mitigasi yang diambil pemerintah untuk mengantisipasi ancaman krisis pangan yang diprediksi bakal terjadi pasca-pandemi Covid 19.

Namun, tak cukup di situ saja. Pemerintah perlu memperhatikan dimensi lain yang mempengaruhi terjadinya ancaman krisis pangan seperti; pertama, meningkatnya angka kemiskinan dan disparitas ketimpangan pengeluaran masyarakat yang semakin lebar. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ada 26,42 juta orang miskin di Indonesia pada Maret 2020. Jumlah ini naik 1,63 juta orang dibandingkan September 2019 yang sebanyak 24,79 juta orang.

Dimensi kedua adalah fasilitas produksi dan konsumsi di sektor pangan. Hampir seluruh negara di dunia berusaha untuk memenuhi kebutuhan pangan domestiknya sendiri karena jalur perdagangan internasional terganggu semenjak wabah Covid 19 mulai merebak massif. Produksi dalam negeri menjadi tumpuan utama bagi setiap negara saat ini, termasuk Indonesia. Fasilitas produksi dan daya beli masyarakat harus menjadi prioritas utama untuk memastikan peningkatan produksi dalam negeri.

Baca juga :  Haji Isam: Yury Kovalchuk-nya Prabowo?

Dari sisi supply, komoditas pangan penting dalam negeri, seperti beras dan jagung, tampaknya akan mencukupi hingga 3-4 bulan ke depan (CSIS,2020). Kondisi ini harus menjadi perhatian serius pemerintah, apalagi kedua komoditas tersebut sangat tinggi permintaannya. Jika memang membutuhkan keran impor, ada baiknya segera difasilitasi oleh Kementerian Perdagangan, melalui koordinasi dengan Kementerian Pertanian dan Bulog, sebelum negara-negara pengekspor komoditas pangan melakukan restriksi perdagangan untuk keperluan domestik mereka sendiri.

Sementara itu, dari sisi konsumsi, untuk menjaga daya beli masyarakat di tengah pandemi pemerintah juga telah memberikan stimulus fiskal sebesar Rp 405,1 triliun. Hal ini setidaknya dapat mengurangi beban yang ditanggung masyarakat, khususnya masyarakat berpenghasilan rendah yang terkena imbas dari penyebaran wabah virus.

Namun, penerima bantuan atau fasilitas yang telah disebutkan di atas harus dipastikan benar-benar tepat sasaran agar tujuan dari alokasi stimulus fiskal terpenuhi. Selain itu, yang lebih penting lagi sebenarnya adalah bagaimana koordinasi Kementerian dan Lembaga Negara (K/L) untuk memastikan strategi kebijakan pangan di semua lini dapat berjalan secara efektif, bukan malah cenderung sektoral dan tumpang tindih.

Dimensi ketiga adalah ketersediaan akses pasar. Pandemi telah membatasi akses pasar. Sebagian dari kita memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk bertahan.

Namun sebaliknya, masyarakat kelas menengah-bawah yang tidak memiliki akses teknologi, terkendala dan terancam krisis. Kebijakan pemerintah bisa lebih dioptimalkan lagi pada pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi.

Platform digital sebetulnya dapat dimanfaatkan untuk membuka pasar baru. Hal ini penting dilakukan mengingat banyak petani tanaman pangan kini mengalihfungsikan lahannya ke lahan pertanian non-pangan akibat ketersediaan akses pasar yang semakin terbatas.

Dimensi terakhir adalah memastikan kebijakan silang logistik. Untuk kebijakan jangka pendek dalam membendung potensi krisis pangan, pemerintah perlu menerapkan kebijakan silang logistik terjadi antar provinsi.

Dengan kata lain, provinsi yang sedang panen raya membantu ketersediaan pangan provinsi yang sedang menanam. Perlu ada pengawasan yang dilakukan oleh Kementerian Pertanian untuk memastikan status masa tanam dan silang logistik pangan terjadi di setiap provinsi.

Empat dimensi tersebut adalah kunci memperkuat resiliensi pangan di tengah pandemi. Sebab, pangan adalah soal mati-hidupnya suatu bangsa; apabila kebutuhan pangan rakyat tidak dipenuhi maka malapetaka menghampiri. Oleh karena itu, perlu usaha secara besar-besaran dan adaptif untuk keluar dari belenggu ancaman krisis pangan yang melanda.

Tulisan milik Yayan Hidayat, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik di Universitas Indonesia.

“Disclaimer: Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.”

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Menyingkap Sportwashing dalam Laga Indonesia-Bahrain

Kontroversi ini perpanjang daftar kritik terhadap wasit dari Timur Tengah, di tengah dugaan bias dan pengaturan skor sepak bola internasional.

Unlike Jokowi, Prabowo Will Be His Own Man

More assertive foreign policy and democratic backsliding are most likely on the horizon as Prabowo Subianto becomes the next Indonesian president.

Fenomena Gunung Es “Fake Review”

Fenomena fake review kini banyak terjadi di jual-beli daring (online). Siapakah yang dirugikan? Konsumen, reviewer, atau pelaku usahakah yang terkena dampaknya? PinterPolitik.com Sejak berlangsungnya proliferasi internet...