Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan tampak sangat berduka ketika Sekretaris Daerah DKI Jakarta Saefullah meninggal dunia setelah positif Covid-19. Bagaimana sebenarnya peran seorang Sekda bagi sang kepala daerah?
Jakarta masih belum bisa lepas dari jerat teror Covid-19. Beberapa waktu lalu, Anies Baswedan memimpin upacara penghormatan terakhir pada Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi DKI Jakarta, Saefulloh, yang wafat setelah didiagnosis positif Covid-19.
Yang jadi kontroversi, upacara penghormatan tersebut dilakukan dengan turut membawa jenazah Saefullah ke halaman Balai Kota Pemprov DKI Jakarta. Tindakan tersebut mendapatkan berbagai kritik karena dianggap tidak mengikuti protokol penanganan jenazah terdiagnosis Covid-19 yang mengharuskan jenazah langsung dimakamkan ketika proses pemulasaran selesai dilakukan di rumah sakit.
Namun, Anies malah mengadakan upacara dengan partisipan yang cukup banyak, yang kemudian membuat keputusan mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) tersebut dipertanyakan – mengingat Anies sendiri yang kala itu mengumumkan penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) total. Dalam upacara penghormatan terakhir tersebut, Anies berpidato, “Hari ini DKI kehilangan putra terbaiknya, salah satu putra Betawi yang meniti karier dari guru hingga jadi Sekda.”
Namun, terlepas dari benar atau tidak tindakan mengadakan upacara penghormatan terakhir tersebut, kepergian Saefullah memang layak ditangisi oleh Anies. Pasalnya, Sekda adalah eksekutor visi misi Kepala Daerah.
Tidak hanya di DKI Jakarta, keberadaan Sekda memang krusial di level pemerintahan daerah lainny, baik level kabupaten/kota maupun level provinsi mana pun Karena sudah menjadi rahasia umum apabila Sekretaris Daerah adalah pion penting bagi Kepala Daerah untuk memastikan programnya dapat terlaksana dengan efektif dan tepat guna untuk mengatasi permasalahan yang ada di wilayah tersebut.
Hal tersebut didukung oleh pernyataan Muhammad Zainul Majdi (Tuan Guru Bajang) saat masih menjabat Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) yang mengatakan bahwa Sekda merupakan perangkat yang paling tepat untuk merasionalisasikan keseluruhan visi dan misi politik kepala daerah untuk bisa dikanalisasi ke dalam seluruh sektor pembangunan.
Karenanya, Sekda harus mampu menjadi “sparing partner” kepala daerah agar otonomi daerah bisa diwujudkan sebagai instrumen untuk menghadirkan kesejahteraan masyarakat. “Sekda harus mampu jadi ‘sparing partner‘ bagi kepala daerah. Kepala daerah yang tidak mempunyai ‘sparing partner‘ itu akan selalu merasa dia sudah tercukupkan. Apa yang dilakukan sudah mampu maksimal menghadirkan kebaikan, padahal realitasnya tidak seperti itu,” ungkap pria yang sejak 2018 lalu bernaung di bawah panji Golkar tersebut.
Dikutip dari Aripin dalam tulisan Peran Strategis Sekretaris Daerah dalam Pembangunan Daerah, Sekertaris Daerah mempunyai peran strategis dalamn menjalankan roda aparatur sipil negara pada pemerintahan daerah provinsi dan kabupaten atau kota, dan sering kali dianggap sebagai puncak karier bagi Aparatur Sipil Negara pada tingkat pemerintahan daerah.
Tugas dan fungsi Sekda – di samping sebagai unsur staf pelaksana yang membantu dan bertanggungjawab langsung kepada Gubemur atau wali kota/bupati – juga sebagai manajer dalam mengelola setiap kebijakan daerahnya, sebagaimana di diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 2007 BAB IV Pasal 10 ayat 1, 2, dan 3 sebagai berikut: (1) Sekertariat daerah merupakan unsur staf; (2) Sekertariat daerah mempunyai tugas dan kewajiban membantu bupati/walikota dalam menyusun kebijakan dan mengkoordinasi dinas daerah dan lembaga teknis daerah; (3) Sekertariat daerah dalam melaksanakan tugas dan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menyelenggarakan fungsi: (a) penyusunan kebijakan pemerintah daerah, (b) pengoordinasian pelaksanaan tugas dinas daerah dan lembaga teknis daerah, (c) pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan pemerintah daerah, (d) pembinaan administrasi dan aparatur pemerintah daerah dan (e) pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh bupati/walikota sesuai dengan tugas dan fungsinya.
Tugas dan fungsi sebagaimana diatur dalam PP tersebut di atas, menuntut kemampuan dan kompetensi maksimal seorang Sekda dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai aparatur untuk memberikan pelayan terbaik bagi publik dalam wilayahnya, melakukan koordinasi setiap satuan kerja perangkat daerah (SKPD), menjaga kewibawaan dan melaksanakan setiap instruksi atasanya (kepala pemerintahan), mengatur hubungan baik dan kerjasaman dengan (stakeholder), khususnya DPRD, maupun elemen-elemen elite lainya.
Kemampuan dan kompetensi sekda ini akan tercermin dari kinerja dalam membangun daerahnya, baik menyangkut kemakmuran dan kesejahteraan daerahnya, maupun dari indeks kemampuan aparatur dalam memberikan pelayanan terbaik kepada publiknya di era otonomi daerah dewasa ini,
Faktor yang menyebabkan sosok Sekda tidak bisa dipandang sebelah mata adalah jabatan Sekretaris Daerah sendiri sejatinya adalah jabatan karier yang diperoleh dari masa bakti sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) selama bertahun-tahun, butuh kompetensi untuk menduduki jabatan sebagai Sekda setelah sebelumnya hilir mudik menjalani rotasi jabatan di berbagai bidang pemerintahan, seperti pendidikan, ekonomi, pertanian, dan lain-lain.
Ini berbeda dengan Kepala Daerah yang merupakan jabatan politik karena dipilih langsung oleh rakyat, yang tidak jarang hanya sekadar menjadi ajang adu popularitas, terlebih di wilayah yang strategis secara ekonomi maupun politik. Juga jangan lupakan faktor peserta kontestasi Pilkada yang hampir selalu diikuti oleh kader partai politik yang rekam jejaknya di pemerintahan tidak secantik para birokrat tulen.
Bahkan, tidak jarang pula kader partai politik yang dimajukan dalam Pilkada hanya bermodalkan hubungan darah dengan petinggi partai atau orang berpengaruh lain yang berpengaruh sehingga mendapatkan akses dan restu politik untuk maju mengarungi kontestasi Pilkada.
Jika Sekda sudah pasti merupakan ASN senior dengan masa kerja puluhan tahun, Kepala Daerah yang menjabat selain dari birokrat setempat sudah pasti sama sekali buta dengan keadaan di lapangan. Dalam hal ini, saya mengambil studi kasus Anies Baswedan ketika memenangkan kontestasi Pilkada DKI Jakarta 2017.
Karena jabatan Anies sebelumnya adalah Mendikbud, sepupu Novel Baswedan tersebut bisa dikatakan sama sekali tidak mempunyai data yang presisi tentang situasi real di Jakarta – baik data kependudukan, angka kemiskinan, lingkungan, dan lain-lain.
Saefullah yang menjabat sebagai Sekda sejak 2014 di bawah Joko Widodo, Basuki Tjahaja Purnama, dan Djarot Saiful Hidayat tentu punya gambaran yang jelas tentang situasi Jakarta bermodalkan masa kerjanya sebagai Sekda maupun selama memangku jabatan birokratisnya sejak menjabat sebagai Kepala Suku Dinas Pendidikan Dasar Jakarta Barat, Kepala Subdinas SLTP DKI Jakarta, Wakil Kepala Dinas Pendidikan Dasar DKI Jakarta, Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga DKI Jakarta, hingga kariernya terus menanjak dan menjabat sebagai Wali Kota Jakarta Pusat sebelum menduduki posisi Sekretaris Daerah Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2014 lalu.
Perbandingan catatan rekam jejak Anies dan Saefullah tersebut kiranya menjadi contoh bahwa di atas kertas bahwa Sekretaris Daerah lebih menguasai lapangan ketimbang Kepala Daerah yang baru saja menjabat. Situasi tersebut yang menjadikan Kepala Daerah harus menyinergikan diri dengan Sekretaris Daerah apabila menginginkan visi misinya sampai dan bisa bermanfaat bagi masyarakat.
Kepala Daerah yang baru diangkat harus pandai merangkul Sekretaris Daerah karena bukan tidak mungkin Sekda tersebut mempunyai tendensi untuk bersikap loyal pada sosok Kepala Daerah terdahulu yang mengangkatnya. Studi kasus yang menarik adalah situasi di Pemprov DKI di mana Ahok atas nama Jokowi adalah sosok yang melantik Saefullah, sedangkan Anies sebagai gubernur baru adalah rival Ahok dalam kontestasi Pilkada.
Namun, keduanya tampak bisa bersinergi dengan baik walaupun dengan latar belakang politik yang sedemikian rupa. Saefullah bahkan beberapa kali pasang badan membela Anies ketika diserang publik akibat wacana penyelenggaraan Formula E dan keputusannya untuk melanjutkan proyek reklamasi.
Dalam hal ini, terlihat bahwa Kepala Daerah dan Sekretaris Daerah mempunyai bargaining power yang setara walaupun secara hierarki Kepala Daerah menempati posisi yang lebih tinggi dari Sekretaris Daerah. Kepala Daerah harus piawai mendekati Sekda karena Sekda adalah figur eksekutor yang paham situasi lapangan.
Di sisi lain, Sekda juga harus bersikap adaptif dan pragmatis dengan bersikap terbuka pada Kepala Daerah yang baru terpilih supaya ia tetap menduduki jabatan tersebut karena baik Gubernur maupun Bupati/Wali Kota mempunyai power dan wewenang untuk memutasi jabatan ASN di wilayahnya.
Selain Anies yang tampak begitu mengandalkan figur Sekretaris Daerah, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok ketika menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta juga pernah menyiratkan hal serupa ketika dirinya terancam “kehilangan” Saefullah yang santer dirumorkan akan maju pada gelaran Pilkada DKI 2017 lalu. Akan tetapi, Saefullah batal maju karena kurangnya dukungan politik.
Ahok mengatakan bahwa dirinya mengaku lega karena masih punya Sekda. Hal tersebut mengemukakan betapa krusial peran Sekda dalam pandangan Kepala Daerah, terutama dalam situasi-situasi genting seperti pergantian periode kekuasaan, dan penanganan wabah pandemi Covid-19 yang menggila di Jakarta sehingga dibutuhkan sosok birokrat tulen yang menopang kinerja Kepala Daerah. Berdasarkan keadaan tersebut, duka mendalam Anies setelah ditinggal pergi anak buahnya tersebut memang amat wajar.
Namun, ironisnya meskipun Kepala Daerah sendiri mengakui peran krusial figur Sekretaris Daerah, Sekda kurang mendapatkan apresiasi dari publik. Ketika kemilau sorot lampu kamera media lebih banyak diarahkan pada wajah Kepala Daerah, para Sekretaris Daerah cukup menjalani peran sebagai unsung heroes. Di balik Kepala Daerah yang dipuja-puja, ada Sekda yang bersusah payah mewujudkan program-program kepala daerah.
Tulisan milik Damar Senoaji, Penulis Lepas.
“Disclaimer: Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.”
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.