Site icon PinterPolitik.com

Di Balik Deklarasi Partai Buruh

Di Balik Deklarasi Partai Buruh

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal bersama tokoh-tokoh buruh lainnya mendeklarasikan berdirinya Partai Buruh yang baru pada 5 Oktober 2021 lalu. (Foto: Istimewa)

Presiden Terpilih Partai Buruh yang juga merupakan Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, bersama sejumlah serikat buruh lainnya telah mendeklarasikan pendirian Partai Buruh. Mampukah Partai Buruh yang baru ini menghindari akhir yang sama seperti partai-partai buruh lainnya yang pernah berdiri di Indonesia?


PinterPolitik.com

Kabar mengenai Partai Buruh yang akan dideklarasikan pada perhelatan Kongres Partai Buruh pada 4-5 Oktober 2021 di Jakarta menjadi momentum yang menarik tidak hanya bagi para konstituennya, melainkan juga publik secara luas. Pasalnya, partai yang bertekad akan mengikuti kontestasi politik pada tahun 2024 mendatang ini dapat dibayangkan akan memberikan warna baru terhadap keberadaan partai-partai politik Indonesia yang dalam kurun waktu terakhir ini tidak mendapat kepercayaan yang baik di mata publik.

Di samping partai politik yang sudah ada, minimnya rasa percaya publik terhadap Partai Buruh juga tampak dari beragam respons yang diberikan terutama di media sosial. Jika dilihat, kita akan menemukan nuansa pesimistis dan bahkan hujatan dari para warganet terhadap kehadiran partai yang berakar dari kumpulan gerakan organisasi buruh yang memiliki massa besar ini. Adanya pendapat tersebut perlu menjadi perhatian Partai Buruh mengingat hal ini berkaitan erat dengan tantangan dan peluang yang dimiliki, jika benar-benar ingin memenangkan persaingan politik di masa mendatang.

Presiden Terpilih Partai Buruh Said Iqbal dalam keterangan persnya mengklaim bahwa Partai Buruh saat ini sudah memiliki modal berupa jumlah kepengurusan dan anggota dari tingkat nasional hingga kecamatan – di mana hal ini merupakan syarat utama berdirinya partai politik. Jika benar demikian, artinya terdapat peluang besar bagi Partai Buruh untuk nantinya bisa lolos dalam verifikasi Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan bersaing mendapatkan ambang batas parlemen (parliamentary threshold).

Bagi masyarakat yang non-anggota atau partisan Partai Buruh, adanya deklarasi ini semestinya dapat dimaknai sebagai angin segar dalam dinamika perpolitikan yang perlu diapresiasi mengingat beberapa alasan. Pertama, massa Partai Buruh – seperti namanya – dapat dikatakan memiliki baris massa yang paling jelas latar belakang dan garis perjuangannya dibandingkan dengan partai politik yang ada saat ini. Dengan konstituen utamanya dari kelas pekerja, isu-isu yang diangkat Partai Buruh sesungguhnya juga sangat dekat dengan keseharian masyarakat kita, dari mulai masalah ketersediaan lapangan kerja, upah layak, jaminan sosial dan kesehatan, hingga akses pendidikan dan keadilan pekerja di mata hukum.

Komite Politik untuk Pembangunan Partai Buruh dalam publikasinya menegaskan bahwa salah satu tantangan riil pekerja tanah air saat ini ialah lemahnya daya tawar buruh terhadap pemberi kerja atau pemodal sehingga menciptakan hubungan industri yang tidak adil. Hal ini kerap berdampak pada menurunnya kualitas hidup para pekerja – terutama bagi mereka yang tidak kunjung mendapat upah layak di tempatnya bekerja.

Data sepanjang tahun 2020 Badan Pusat Statistik (BPS) menggambarkan kenyataan pahit ini. Statistik tersebut menunjukkan bahwa satu dari tiga pekerja Indonesia masih menerima upah rendah.

Kedua, publik semestinya menyadari bahwa berjalannya sistem politik Indonesia saat ini masih didominasi oleh peran dari partai yang didirikan, dimiliki, serta dibiayai oleh kalangan pengusaha. Dalam studi ekonomi politik, dominasi kelas pengusaha dalam lingkaran kekuasaan akan cenderung menghasilkan kebijakan yang bias kelompok.

Hal ini disebabkan oleh adanya pilihan rasional (rational choice) yang mana membuat manusia akan berusaha untuk sebisa mungkin mendapatkan keuntungan yang optimal dengan memanfaatkan segala fasilitas dan kemampuan yang dimiliki. Nyatanya, dominasi pengusaha ini tidak hanya terjadi di kabinet eksekutif pemerintah melainkan juga parlemen.

Sebagaimana yang diungkapkan dalam penelitian Defbry (2020), lebih dari 50 persen anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) saat ini merupakan pengusaha sehingga sangat sulit membayangkan kepentingan pekerja dapat diakomodasi secara optimal jika kita tidak bisa menghadirkan perwakilan dari para pekerja itu sendiri.

Ketiga, di tengah kekecewaan publik yang begitu mendalam terhadap sepak terjang partai politik, kita perlu tetap ingat bahwa dalam sistem politik demokrasi, belum ada formula alternatif terbaik bagi setiap perjuangan kelompok kepentingan selain melalui partai politik. Tantangan menguatnya keraguan rakyat terhadap partai politik nyatanya telah menjadi fenomena umum yang terjadi di seluruh dunia termasuk di negara-negara maju.

Meski begitu, sebagian besar ilmuwan politik di dunia menyepakati bahwa demokrasi tanpa partai politik akan menghasilkan kekacauan. Menurut Ian Shapiro (2021), Ilmuwan politik terkemuka dari Yale University, partai politik di seluruh dunia memang tampak telah kehilangan niat baik dan pengaruhnya di masyarakat. Namun, alih-alih melarang atau semakin melemahkan parpol, lebih masuk akal untuk sama-sama mengupayakan adanya perbaikan guna menjadikan partai sebagai organisasi yang dapat diandalkan.

Dengan demikian, ketiga alasan di atas kiranya cukup memberikan alasan bagi masyarakat Indonesia untuk mengapresiasi kehadiran Partai Buruh di tanah air – terlebih bila mengingat proporsi mayoritas masyarakat Indonesia saat ini yang juga merupakan buruh. Besarnya jumlah angkatan kerja di Indonesia juga tampak sebanding dengan banyaknya jumlah organisasi buruh – yang mana sedikitnya terdapat 7.000 serikat buruh dengan hampir 3 juta anggota serikat. Modal sosiologi ini menjadi langkah awal yang strategis guna mengembangkan Partai Buruh dan meraih simpati rakyat.

Upaya memperoleh dukungan massa yang lebih luas oleh karena itu akan menjadi tantangan besar yang sudah menunggu di depan. Dalam hal ini, Partai Buruh harus mampu menjawab suara dan hati masyarakat yang selama ini kerap dikecewakan oleh partai politik.

Di samping itu, Partai Buruh juga harus mampu membentuk struktur kerja organisasi internal yang tidak hanya solid, melainkan juga efisien dan adaptif terhadap perkembangan zaman. Oleh karena itu, peran pemimpin Partai Buruh menjadi kunci utama dalam menjawab harapan konstituennya.

Jangan sampai harapan besar tersebut runtuh akibat friksi atau konflik internal yang membuat aktivitas partai menjadi tidak produktif. Sebagai partai yang terdiri dari banyak sekali organisasi besar, tentunya diperlukan kebesaran dan keteguhan hati bersama dalam menjaga marwah dan visi partai agar tetap berjalan seirama.

Pada akhirnya, catatan mengenai peluang dan tantangan di atas akan menjadi bagian dari proses dan ujian kenaikan kelas kiprah gerakan buruh di Indonesia yang sejauh ini terbilang stagnan. Satu hal yang tidak boleh dilupakan, bahwa hasil kongres Partai Buruh pada dasarnya bukan hanya tentang keringat para pimpinan serikat, melainkan seluruh pekerja dan anggota yang bergabung di dalamnya. Sebuah harapan besar yang kerap mewarnai suka duka aksi-aksi buruh setiap tahunnya.


Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.



Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version