Setiap bentuk kekuasaan harus bisa diawasi dan dikritik. Itu sebabnya demokrasi mengenal trias politica. Sayangnya, fungsi check and balances terhadap kekuasaan pemerintah saat ini tengah mendapat sorotan. Parlemen, yang seharusnya bisa menjadi kanal politik resmi untuk menyalurkan kegelisahan dan suara masyarakat, kini dianggap mampet. Banyak anggota parlemen saat ini lebih suka menjadi juru bicara pemerintah daripada menjadi juru bicara publik.
Memperbaiki Trias Politica
Jika kita perhatikan, hampir semua skandal besar yang muncul sesudah Reformasi selalu terjadi dengan latar belakang serupa, yaitu ab-sennya kontrol kekuasaan ketika lembaga ek-sekutif dan legislatif dikuasai oleh kubu yang sama. Hal ini menunjukkan jika besarnya
dukungan partai politik di parlemen dalam sistem presidensial tidaklah selalu berman-faat untuk publik. Dukungan semacam itu malah bisa membuat fungsi kontrol parlemen jadi tumpul. Praktik politik semacam ini bisa disebut sebagai pengkhianatan terhadap prin-sip trias politica. Dan ini terbukti telah meru-sak demokrasi. Sebab, setiap kali pembagian kekuasaan dikaburkan, maka saat itulah ko-rupsi biasanya berjalan secara massif, baik di lembaga eksekutif, legislatif, maupun yudika-tif.
Pada masa Presiden SBY, kontrol parlemen terhadap pemerintah masih berfungsi dengan baik. Apalagi waktu itu pers juga masih menja-di watch dog kekuasaan, belum terkena penya-kit partisan akut seperti belakangan ini. Selain itu, pemerintah juga mendapatkan penga-wasan ketat dari hampir seluruh elemen mas-yarakat sipil. Setiap kebijakan yang dianggap mengganggu rasa keadilan masyarakat, misal-nya, pasti akan segera diprotes oleh mahasiswa, kaum buruh, petani, dan elemen masyarakat terkait. Tokoh keagamaan dari ormas-ormas besar juga kerap ikut bereaksi menyuarakan keprihatinannya.
Lantas, bagaimana dengan kondisi hari ini? Di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo, sayangnya kehidupan demokrasi kita justru mengalami sejumlah kemundu-ran. Agustus lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) kembali merilis angka Indeks Demokrasi In-donesia (IDI). Untuk tahun 2019, skor IDI kita naik menjadi 74,92. Sebagai catatan, IDI dibagi menjadi 3 kategori, yaitu buruk (skor <60), sedang (skor 60-80), dan baik (skor >80). Den-gan jumlah skor tersebut, artinya demokrasi kita saat ini tergolong sedang. Namun, yang menarik bukanlah bagian ini.
Dengan jumlah tersebut, inilah untuk per-tama kalinya skor IDI di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo bisa melampaui skor IDI tahun 2014, yang merupakan tahun terakh-ir pemerintahan Presiden SBY. Merujuk kepa-da data BPS, secara berurut nilai IDI nasional lima tahun terakhir adalah 73,04 (2014); 72,82 (2015); 70,09 (2016); 72,11 (2017); 72,39 (2018), dan 74,92 (2019).
Dalam penentuan nilai IDI, ada 3 aspek, 11 variabel, dan 28 indikator yang diperhitungkan. Tiga aspek itu adalah kebebasan sipil, hak-hak politik, dan lembaga demokrasi. Dari keti-ga aspek tersebut, kebebasan sipil mengalami penurunan. Selain itu, empat variabel juga tercatat mengalami kemunduran, yakni kebe-basan berkumpul dan berserikat, kebebasan berpendapat, pemilu yang bebas dan adil, serta peran partai politik.
Menyimak angka-angka tadi, meskipun ada kenaikan skor tahun terakhir, secara faktual ke-hidupan demokrasi kita dalam lima tahun tera-khir umumnya memang cenderung turun, ter-utama untuk aspek dan variabel-variabel yang telah disebutkan.
Pemilu 2019 kemarin, di mana Pemilihan Anggota Legislatif dan Pemilihan Presiden/ Wakil Presiden dilangsungkan secara serentak, kita sebenarnya memiliki kesempatan untuk memilih Presiden dan parlemen yang bersifat independen satu sama lain. Dengan demikian, fungsi check and balances antarlembaga tinggi negara bisa berjalan kembali. Sayangnya, kes-empatan itu telah dirusak oleh angka presiden-tial treshold 20 persen dalam UU No. 7/2017 tentang Pemilihan Umum. Angka presidential treshold sebesar 20 persen ini terbukti telah mematikan kreasi demokrasi. Selain bangsa jadi terbelah, kita juga terus-menerus terjebak pada politik dagang sapi dan bagi-bagi kekuasaan.
Sumber Polarisasi Politik
Sebagai imbas tetap dipertahankannya syarat presidential threshold 20 persen, sejak 2014 lalu kita terus-menerus berhadapan dengan dua calon presiden tiap kali Pemilu. Akibatnya, masyarakat mengalami keterbelahan luar biasa. Kita tiba-tiba menjadi divided society. Cara pandang orang mengenai berbagai hal akhirnya hanya dipandu oleh kacamata dualistis yang hitam-putih: jika bukan pro-Jokowi, pastilah pro-Prabowo; jika bukan “cebong”, pastilah “kampret”. Kondisi ini tentu saja san-gat tidak sehat. Tidak seharusnya perbedaan pilihan politik dijadikan sejenis “agama” baru dalam kehidupan masyarakat kita.
Sebelum 2014, potensi terjadinya polarisa-si masyarakat sebenarnya juga ada. Namun, meminjam analisis Eve Warburton, “Deepening Polarization and Democratic Decline in Indone-sia” (2020), potensi itu tidak pernah meletup akibat gaya kepemimpinan Presiden SBY. Pada Pilpres 2004 dan 2009, menurut Warburton, SBY juga memiliki peluang untuk mengek-sploitasi isu keagamaan, misalnya, mengingat lawan terberatnya berasal dari partai nasionalis yang kurang Islamis. Namun, SBY yang dise-but sebagai seorang muslim yang taat, lebih suka menjalankan kampanye politik inklusif. Hasilnya, menurut Warburton, SBY berhasil memenangkan mayoritas suara pemilih, baik suara kelompok Islam konservatif yang ada di Sumatera dan Jawa Barat, maupun dari golongan agama minoritas.
Apa yang ditulis Warburton ini mengingat-kan saya pada buku yang disunting oleh Edward Aspinall, Marcus Mietzner, dan Dirk Tomsa, The Yudhoyono Presidency: Indonesia’s Decade of Stability and Stagnation (2015). Aspinal, Mi-etzner dan Tomsa menulis jika Presiden SBY memposisikan dirinya sebagai pemimpin dari sebuah masyarakat yang tersegregasi, sehingga berusaha untuk memoderasi dan menengahi berbagai potensi benturan. Inilah yang mem-buat Indonesia di bawah SBY terbebas dari po-larisasi dan konflik politik yang mencolok.
Namun, sejak 2014 kita telah terjebak da-lam polarisasi politik. Warburton menyebut ada tiga kontestasi politik yang telah mem-buat Indonesia jadi terpolarisasi cukup parah jika dibandingkan yang pernah terjadi bebera-pa dekade terakhir. Tiga kontestasi politik itu adalah Pilpres 2014, Pilkada Jakarta 2017, dan Pilpres 2019. Persaingan antara Presiden Joko Widodo dan mantan lawannya, Prabowo Sub-ianto, menurut Warburton, telah memicu ter-jadinya perpecahan politik yang sebelumnya hanya bersifat laten saja antara golongan Islamis dengan sekuler.
Munculnya polarisasi dua kubu politik da-lam sepuluh tahun terakhir ini memang agak menggelikan, mengingat negara kita sebenarn-ya menganut sistem multi-partai. Indonesia bukanlah Amerika Serikat yang arena politi-knya terbagi ke dalam dua kutub, yaitu antara Demokrat dan Republikan, yang merepresen-tasikan dua ideologi berseberangan.
Polarisasi yang muncul di tengah mas-yarakat Indonesia dalam dua Pemilu terakhir masih terlalu dini untuk bisa disebut sebagai polarisasi ideologi. Polarisasi itu muncul leb-ih karena adanya desain regulasi Pemilu yang bermasalah, dalam hal ini adanya syarat pres-idential threshold yang terlalu besar. Berbeda dengan polarisasi ideologi yang bersifat kon-truktif, karena melahirkan kontestasi gagasan, maka polarisasi akibat salah mendesain regula-si Pemilu efeknya bisa destruktif, yaitu terjad-inya perpecahan dan konflik sosial.
Polarisasi sosial semacam itu akan ter-us-menerus terjadi jika ambang batas pen-calonan presiden sebesar 20 persen, atau lebih tinggi lagi, tetap dipertahankan. Sebab, dengan angka ambang batas yang tinggi, Pilpres yang akan datang kemungkinan hanya akan menjadi ulangan dari Pilpres 2014 dan 2019 saja, yaitu hanya menghasilkan dua kandidat pasangan calon.
Untuk mengurangi polarisasi di tengah mas-yarakat yang sudah terjadi dalam dua Pemilu terakhir, maka syarat presidential threshold mau tidak mau harus diperbaiki, jika tak bisa dihilangkan. Dengan dihapuskannya presi-dential threshold, atau setidaknya mengubah angkanya menjadi jauh lebih kecil (misalnya 5 persen), kita bisa menyelamatkan peradaban politik kita dari polarisasi yang merusak. Lang-kah itu juga akan memperbaiki praktik trias politica, sehingga kita bisa memiliki presiden yang kuat sekaligus parlemen yang berdaya dalam waktu bersamaan. Kembalinya trias politica merupakan cermin dari berlakunya prinsip kedaulatan rakyat dalam berdemokrasi.
Siapa yang tak mendambakan ideal sema-cam itu?
Jakarta, 9 September 2020
Tulisan milik Dipo Alam, mantan Sekjen D-8 (2007-2010), serta Sekretaris Kabinet Indonesia Bersatu II (2010-2014).
“Disclaimer: Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.”
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.