Presiden Joko Widodo (Jokowi) sempat menyebutkan darurat sipil sebagai salah satu opsi kebijakan. Namun, opsi ini bisa jadi justru memunculkan ancaman dan persoalan lain selain pandemi virus Corona (Covid-19) itu sendiri.
PinterPolitik.com
Tuntutan masyarakat soal kejelasan kebijakan pemerintah dalam menangani pandemi virus Corona akhirnya terjawab sudah. Presiden Joko Widodo (Jokowi) lewat rapat terbatas dengan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 tertanggal 30 Maret lalu menyatakan sikap pemerintah, yaitu Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang perlu didampingi kebijakan darurat sipil.
PSBB sendiri diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan yang seharusnya ditetapkan oleh menteri kesehatan bukan presiden. Sementara, darurat sipil diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya. Penetapan darurat sipil jelas tidak tepat dalam menghadapi keadaan darurat saat ini yang bukan merupakan perang, melainkan virus.
Status darurat sipil merupakan keadaan yang dinyatakan presiden atau panglima perang tertinggi bahwa sebagian atau seluruh wilayah Indonesia dalam keadaan bahaya. Tingkatan keadaan bahaya setelahnya adalah darurat militer dan darurat (keadaan) perang.
Darurat sipil ditujukan untuk memastikan bahwa tiap warga negara taat dan menerima seluruh aturan dan kebijakan pemerintah dalam mengatasi pandemi. Jika darurat sipil benar jadi ditetapkan maka kemungkinan tindak represif dan penguasaan wewenang yang berlebih jadi ancaman untuk masyarakat.
Sesuai dengan yang tercantum di Perppu No. 23/1959, darurat sipil dapat ditetapkan apabila keamanan dan ketertiban hukum terancam oleh pemberontakan maupun kerusuhan akibat bencana alam atau bahaya perang. Hal ini jelas tidak bisa ditetapkan di situasi saat ini sebab Covid-19 bukan termasuk keduanya. Darurat sipil juga bisa jadi cara pemerintah untuk membungkam masyarakat yang protes soal cara negara menangani corona.
Jika ini diterapkan maka akan muncul kemungkinan negara untuk melakukan tindak kekerasan demi menertibkan masyarakat yang dinilai tidak taat aturan. Penguasa tertinggi darurat sipil adalah presiden untuk pusat sedangkan untuk daerah dipegang oleh kepala daerah serendahnya-rendahnya kabupaten atau kota. Penguasa darurat sipil ini akan memiliki hak khusus sebagai konsekuensi dari penetapan status darurat ini.
Para penguasa ini jadi punya akses tak terbatas untuk mencampuri urusan privat dan hak personal warganya sekalipun. Lewat Perppu No. 23/1959 Pasal 10, penguasa darurat sipil boleh mengadakan peraturan yang dianggap perlu serta boleh diatur oleh peraturan yang bukan perundangan pusat. Dalam pasal 13, hal tadi termasuk membatasi segala bentuk yang menimbulkan kerumunan mulai dari pertunjukan hingga perdagangan.
Lebih bahayanya lagi, lewat pasal 14 ayat (1) penguasa darurat sipil boleh memerintahkan pejabat polisi atau lainnya untuk menggeledah tiap tempat bahkan jika hal itu ditolak oleh pemiliknya. Sementara, dalam pasal 15 ayat (1) penguasa juga boleh memeriksa hingga menyita barang yang diduga bisa mengganggu keamanan serta membatasi hingga melarang pemakaian barang tadi.
Pemerintah juga punya kuasa untuk mengetahui percakapan lewat telepon hingga memutus dan melarang percakapan telepon dalam pasal 17 ayat 1. Belum lagi polisi maupun pejabat pengusut bisa memeriksa badan dan pakaian tiap orang yang dirasa mencurigakan lewat pasal 20.
Lewat pasal-pasal ini, terlihat jelas bahwa kewenangan penguasa darurat sipil bisa dibilang tidak terbatas dan masuk ke ranah pembatasan hak masyarakat, bahkan mengancam hak untuk mendapat dan menyampaikan informasi. Dalam situasi pandemi tentu kecepatan dan ketepatan informasi jadi hal yang sangat penting agar masyarakat tahu apa yang sedang mereka hadapi.
Untuk menghadapi virus ini pemerintah juga seharusnya tidak sampai butuh penggeledahan maupun penyitaan barang, apalagi membatasi kritik masyarakat soal penanganan virus ini. Kritik jelas harus ada untuk menjaga demokrasi dan untuk membantu pemerintah dalam gotong royong membasmi Covid-19 ini.
Belajar dari Aceh
Penetapan status darurat sipil pernah jadi bukti pengalaman buruk masyarakat Indonesia. Masyarakat Aceh pernah merasakan pahitnya situasi darurat sipil pada 2004 silam yang ditetapkan mulai tanggal 14 Mei setelah sebelumnya didahului penetapan darurat militer untuk penumpasan Gerakan Aceh Merdeka.
Banyak kekerasan yang dilakukan negara selama masa darurat sipil di Aceh. Mulai dari penyiksaan hingga pembunuhan tanpa pengadilan bagi orang yang dicurigai menjadi bagian dari gerakan separatis GAM ini. Parahnya lagi, warga juga terdampak urusan ekonominya karena mereka terkurung dalam rumah, tidak bisa mencari nafkah, namun kebutuhan pokok tidak disuplai oleh pemerintah.
Dari berbagai kemungkinan dan pengalaman tentang penetapan status darurat sipil, tentu hal ini tidak tepat jika diterapkan di Indonesia, apalagi dalam menghadapi keadaan pandemi yang butuh kerja sama yang baik antara pemerintah dan masyarakat.
Selain itu, Perppu No. 23 Tahun 1959 dan perubahannya yang mengatur keadaan bahaya ini lahir semasa revolusi untuk mengatasi kekacauan yang sifatnya sementara dan mengancam keamanan bangsa. Sementara, Covid-19 harus dilawan bukan dengan cara yang sama dalam mengatasi pemberontakan.
Walaupun Presiden Jokowi meralat pernyataan dan bilang bahwa kebijakan darurat sipil hanya akan dilakukan bila keadaan berjalan abnormal, wacana soal penetapan status ini harus dipertanyakan. Jika status ini ada wacana ditetapkan, maka harus dilawan.
Pemerintah harus menakar baik-baik pertimbangan penetapan status ini agar mereka tidak lagi keliru dalam mengambil kebijakan. Masyarakat tidak boleh lagi-lagi jadi korban.
Kejadian buruk akibat darurat sipil sangat bisa terulang dan bahkan membawa kemungkinan lain. PSBB yang disertai darurat sipil akan mengacaukan keadaan ekonomi masyarakat karena gerak mereka dibatasi untuk mencari nafkah namun negara tidak menyiapkan bantuan untuk kebutuhan dasar.
PSBB dan kebijakan karantina wilayah yang banyak disuarakan masyarakat dasarnya hampir sama. Hanya saja, PSBB tidak membuat pemerintah rugi sebab menanggung beban kebutuhan rakyatnya sendiri.
Jika saja pemerintah bisa menetapkan kebijakan karantina wilayah lewat UU No. 6/2018 Pasal 55 tentang karantina wilayah yang lebih relevan dan lebih menjamin kebutuhan hidup masyarakat hingga pakan ternak sekalipun, pasti pandemi ini akan lebih cepat terlewati.
Sebab, masyarakat fokus untuk menjaga kesehatan dan keselamatan diri. Mereka tidak akan lagi sibuk bertaruh nyawa di luar rumah untuk mencari nafkah karena beban kebutuhan pangan dasar ditanggung pemerintah.
Tulisan milik Rachelia Devi, Mahasiswa Sosiologi di Universitas Sebelas Maret.
“Disclaimer: Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.”
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.