Site icon PinterPolitik.com

Covid-19: Ujian Penanggulangan Bencana Jokowi

Foto penumpang bus TransJakarta mengenakan masker, pada masa pemberlakuan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di DKI Jakarta (Foto: Agence France-Presse /AFP)

Pandemi virus Corona (Covid-19) memberikan dampak yang luas pada Indonesia, mulai dari sosial hingga ekonomi. Bisa jadi, bencana ini adalah ujian penanggulangan bencana bagi pemerintahan Joko Widodo (Jokowi).


PinterPolitik.com

Pada tanggal 11 Maret 2020, World Health Organization (WHO) resmi menaikkan status darurat penyebaran COVID-19 ke status pandemi. Di tengah melambatnya perekonomian global, kenaikan status darurat kesehatan tersebut seketika berubah menjadi krisis baru yang harus ditanggung oleh seluruh negara, tidak terkecuali Indonesia.

Namun, sejak diumumkannya dua kasus positif COVID-19 oleh pemerintah pada awal Maret 2020 sampai dengan dikeluarkannya protokol kesehatan penerapan kehidupan Normal Baru (New Normal) pada akhir Mei 2020, pemerintah pusat seakan tidak memiliki skema penanggulangan bencana non-alam yang efektif sehingga berdampak pada dikeluarkannya kebijakan pencegahan dan penanganan COVID-19 yang, dalam penerapannya, masih belum optimal dalam menekan angka penyebaran virus mematikan tersebut.

Jika dilihat lebih dalam, setiap negara di dunia, mulai dari negara maju sampai dengan negara dunia ketiga, memiliki skema kebijakan penanggulangan bencana yang tercantum di dalam konstitusi nasional, baik dengan menggunakan pendekatan darurat ekonomi maupun darurat kesehatan. Namun, tingkat efektifitas skema kebijakan penanggulangan bencana yang dimiliki oleh setiap negara berbeda-beda, yang ditentukan oleh kapasitas sumber daya negara, terutama sumber daya uang, lebih tepatnya alokasi anggaran yang dibutuhkan untuk mendanai kegiatan operasional penanggulangan bencana.

Landasan Hukum Kebijakan Penanggulangan Bencana di Indonesia

Di Indonesia, skema kebijakan penanggulangan bencana diatur dalam UU No.24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, yang disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) masa bakti 2004-2009 dan ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), sebagai produk hukum nasional penanggulangan bencana pertama di Indonesia.

Pasal 10, 11, dan 12 UU No.24 tahun 2007 juga menjadi landasan hukum terbentuknya lembaga setingkat kementerian yang memiliki tugas pokok dan fungsi untuk melakukan pembuatan, pelaksanaan, dan evaluasi kebijakan penanggulangan bencana, yaitu Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), yang kembali diperjelas di dalam Peraturan Presiden No.8 tahun 2008, yang diperbarui dengan Peraturan Presiden No.1 tahun 2019 tentang BNPB.

Sampai dengan saat ini, UU No.24 tahun 2007 masih memegang peran sentral di dalam pembentukan berbagai produk hukum yang berkaitan dengan kebijakan penanggulangan bencana di Indonesia. Sebagai contoh, ketika virus COVID-19 mulai masuk dan menyebar di Indonesia, UU No.24 tahun 2007 dijadikan sebagai peraturan rujukan utama dalam pembuatan peraturan hukum yang berfokus pada kebijakan pencegahan dan penanganan COVID-19, mulai dari pembentukan Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 yang diketuai oleh kepala BNPB, kebijakan semi-karantina wilayah, yakni Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), yang mulai diterapkan pada April 2020, dan aturan larangan mudik yang menekankan pada tidak diperbolehkannya masyarakat untuk melakukan perjalanan lintas provinsi dan kabupaten/kota, kecuali untuk tujuan mendesak.

Namun, sampai dengan Juni 2020, kebijakan percepatan penanganan COVID-19 yang dikeluarkan, yakni PSBB dan aturan larangan mudik, masih belum optimal dalam menekan angka penyebaran COVID-19, khususnya di wilayah zona merah atau wilayah dengan angka kasus positif COVID-19 yang tinggi, seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur.

Pandemi COVID-19 menjadi ujian teknis yang menguji tingkat efektifitas kebijakan penanggulangan bencana nasional yang telah dibuat dan dimiliki oleh pemerintah selama ini. Ketidakefektifan penerapan dua kebijakan publik yang menjadi andalan pemerintah dalam mencegah penyebaran COVID-19, menjadi refleksi atau cerminan nyata tentang ketidaksiapan pemerintah pusat dalam menghadapi bencana non-alam, seperti wabah penyakit, yang ditandai dengan tidak adanya kebijakan penanggulangan bencana nasional non-alam yang akurat, efektif dan komprehensif dalam mengurangi dampak negatif yang disebabkan oleh peristiwa bencana.

Sudut Pandang Kedaruratan Bencana: Ekonomi vs Kesehatan?

Faktor yang paling mendasar adalah adanya pasal di dalam UU No.24 tahun 2007 yang seringkali menghasilkan pemahaman ganda tentang landasan utama pembuatan skema kebijakan penanggulangan bencana di Indonesia. Berdasarkan poin A Pasal 7 Ayat (1) UU No.24 tahun 2007, disebutkan bahwa penetapan kebijakan penanggulangan bencana harus selaras dengan kebijakan pembangunan nasional.

Artinya, setiap kebijakan penanggulangan bencana yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan kebijakan yang bertujuan untuk mendukung pembangunan nasional. Permasalahannya, di dalam pasal tersebut, tidak ada penjelasan rinci tentang sudut pandang pengambilan kebijakan pembangunan nasional, khususnya dalam keadaan darurat, yaitu darurat ekonomi atau darurat kesehatan.

Tidak jelasnya sudut pandang kedaruratan yang menjadi pijakan, berpotensi menimbulkan pemahaman ganda di kalangan pembuat kebijakan, sehingga kebijakan penanggulangan bencana yang akan diterapkan cenderung didominasi oleh satu sudut pandang kedaruratan.

Pada umumnya, sudut pandang kedaruratan yang dijadikan sebagai pijakan pengambilan kebijakan publik oleh pemerintah pusat adalah darurat ekonomi. Hal ini dapat dijelaskan melalui Teori Pilihan Rasional (Rational Choice Theory), yang memiliki unsur-unsur ekonomi neoklasik yang sangat kuat.

Menurut Mary A. Zey dalam artikel jurnal “Rational Choice & Organization Theory”, Teori Pilihan Rasional merujuk pada proses pengambilan kebijakan yang dilakukan oleh aktor, yaitu negara, dengan perhitungan rasional tanpa mempertimbangkan batasan norma sosial, dengan tujuan untuk memperbesar manfaat yang diperoleh secara maksimal. Dengan berbasis Teori Pilihan Rasional, maka berbagai kebijakan publik yang dikeluarkan, termasuk kebijakan penanggulangan bencana, didasari oleh perhitungan rasionalitas sosial-ekonomi, yakni konsekuensi logis yang harus dialami oleh perekonomian nasional dan kehidupan sosial masyarakat, apabila kebijakan penanggulangan bencana diterapkan secara maksimal.

Akibat pandemi COVID-19, sektor ekonomi yang paling terdampak adalah sektor rumah tangga dan sektor korporasi. Pada April 2020, Kementerian Keuangan RI membuat proyeksi bahwa sepanjang tahun 2020, dalam skenario terburuk, pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya mencapai minus 0,4%.

Kondisi tersebut berimbas pada menurunnya konsumsi rumah tangga hingga 1,2 persen, melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat hingga level Rp20.000 per dolar AS, derasnya arus modal asing yang keluar dari Indonesia atau capital outflow yang mencapai Rp167,9 triliun, serta meningkatnya angka pengangguran terbuka di rentang usia produktif akibat kebijakan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan cuti tidak dibayar (unpaid leave) yang dilakukan oleh perusahaan swasta.

Dilihat lebih dalam, sektor rumah tangga mengalami penurunan yang signifikan, dikarenakan adanya penurunan daya beli, sehubungan dengan semakin berkurangnya aktivitas masyarakat di luar rumah. Di sektor korporasi, salah satu sektor yang paling terdampak adalah pariwisata. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2019, tercatat sebanyak 16,1 juta wisatawan mancanegara telah mengunjungi Indonesia. Data Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI pada tahun 2019 mencatat bahwa pendapatan sektor pariwisata berkontribusi pada PDB nasional sebesar 5,5 %, dengan adanya peningkatan pendapatan devisa dari sektor pariwisata dari Rp 229,5 triliun pada tahun 2018, menjadi Rp 280 triliun, dan berhasil menyerap tenaga kerja sebanyak 12,7 juta orang atau 10 persen dari total populasi penduduk usia produktif di Indonesia.

Berdasarkan kedua data ekonomi diatas, maka apabila kebijakan penanggulangan COVID-19 yang bersifat semi-lockdown, seperti PSBB, tetap diberlakukan, maka sektor ekonomi dan perdagangan, seperti ritel dan pariwisata, akan terus mengalami kerugian signifikan, mulai dari penurunan pendapatan pegawai, hingga PHK massal, sehingga peluang pertumbuhan ekonomi nasional di angka minus 0.4% semakin tidak terelakkan.

Opini Publik: Senjata Tersembunyi Kelompok Kepentingan?

Selain itu, pengaruh opini publik terhadap proses pengambilan kebijakan publik, khususnya kebijakan penanggulangan bencana, juga melatarbelakangi sering diambilnya kebijakan publik yang cenderung populis dan menguntungkan masyarakat dan kelompok kepentingan, seperti pengusaha dan investor. Pandemi COVID-19 yang terjadi di Indonesia mulai mengancam keberlangsungan aktivitas roda perekonomian nasional.

Kebijakan PSBB dan larangan bepergian yang diberlakukan oleh pemerintah di berbagai wilayah di Indonesia berakibat pada terhambatnya aktivitas ekonomi masyarakat dan pelaku usaha, khususnya mereka yang mengandalkan pendapatan harian atau pekerja informal, seperti pedagang, supir angkutan umum, dan ojek online.

Adanya kebijakan berkegiatan dari rumah yang turut mengurangi jam kerja operasional perusahaan, turut mempengaruhi penurunan gaji atau upah bulanan yang selalu diterima oleh pegawai. Bahkan, tidak sedikit dari warga masyarakat, khususnya keluarga miskin dan rentan miskin, menginginkan kembali dibukanya kegiatan ekonomi secara normal, meskipun tingkat penularan COVID-19 di Indonesia masih fluktuatif.

Kondisi tersebut dapat dilihat dari survei yang dilakukan oleh Voxpopuli Research Center terhadap 1.200 responden secara acak pada 26 Mei s.d 1 Juni 2020, dimana sebanyak 67,4% responden lebih khawatir terhadap kemungkinan kehilangan pekerjaan dan penghasilan, bila dibandingkan dengan kekhawatiran terinfeksi COVID-19 yang hanya mencapai 25,3%.

Apabila opini publik tidak dipertimbangkan oleh pemerintah, maka dapat dipastikan aktivitas roda perekonomian nasional akan semakin terhambat, yang turut berimplikasi terhadap menurunnya permintaan akan barang dan pendapatan masyarakat, sehingga semakin memperbesar angka kemiskinan dan pengangguran, terutama pada usia produktif. Jika keadaan tersebut berlangsung dalam jangka waktu lama, maka bukan tidak mungkin keamanan warga dari tindak kejahatan atau kriminalitas dapat menjadi taruhannya.

Oleh karena itu, dominasi sudut pandang darurat ekonomi yang didasarkan pada pertimbangan sosial-ekonomi secara rasional, kekhawatiran pencapaian pertumbuhan ekonomi nasional yang negatif, serta kuatnya preferensi opini publik terhadap pendekatan penyelesaian masalah  yang populis dan tidak mengorbankan kepentingan ekonomi, mendorong pemerintah pusat dan daerah untuk mengambil kebijakan pencegahan dan penanganan COVID-19 yang tidak terlalu menimbulkan kerugian signifikan terhadap perekonomian nasional, sehingga peluang masuknya Indonesia ke dalam jurang resesi ekonomi, dan kemungkinan terjadinya konflik sosial diantara lapisan masyarakat dapat dihindari.

Otonomi Daerah dan Manajemen Darurat Bencana

Lemahnya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah juga disebabkan oleh sistem desentralisasi atau otonomi daerah yang tetap diterapkan di dalam proses pengambilan keputusan. Berdasarkan Pasal 13 dan 14 ayat (1) UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, segala hal yang berkaitan dengan penanganan kesehatan menjadi kewenangan pemerintah daerah, mulai dari tingkat provinsi hingga kabupaten/kota. Secara praktek administratif, adanya otonomi daerah memberikan kemudahan kepada daerah dalam melakukan proses pengambilan kebijakan publik, terutama yang berkaitan dengan kebutuhan pokok masyarakat, seperti ekonomi dan pelayanan pendidikan serta kesehatan.

Selain itu, bila dibandingkan dengan pemerintah pusat, pemerintah daerah memiliki keunggulan dalam hal memutuskan kebijakan publik yang terbaik diterapkan di daerah, yang ditunjang oleh pengetahuan dan pengalaman yang lebih faktual, kredibel, dan komprehensif, tentang situasi dan kondisi yang dialami oleh warga secara riil.

Meskipun pemerintah pusat telah memberikan kewenangan kepada Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Nasional untuk membuat strategi kebijakan pencegahan dan penanganan COVID-19 di daerah, terdapat beberapa kebijakan pemerintah pusat yang tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah daerah, yang justru mencerminkan kurangnya koordinasi pemerintah pusat dan daerah dalam merespon masifnya penyebaran COVID-19, mulai dari kebijakan “local lockdown” yang diambil oleh beberapa daerah, seperti Tegal, Tasikmalaya, Maluku, dan Papua, proses penerbitan Izin Operasional Mobilitas Kegiatan Industri (IOMKI) yang kurang intensif melibatkan pejabat dinas Tenaga Kerja, Energi, dan Transmigrasi di daerah, serta masalah dalam proses penyaluran bantuan sosial (bansos) di sejumlah daerah, yaitu permasalahan tumpang tindih data jumlah warga miskin yang terdaftar di dalam daftar penerima Bansos COVID-19 dengan warga miskin penerima bantuan Program Keluarga Harapan (PKH) dari Kementerian Sosial RI.

Secara praktek, kebijakan penanggulangan bencana berbasis desentralisasi sangat tepat diterapkan di negara yang memiliki wilayah luas seperti Indonesia, mengingat jalur birokrasi pengambilan kebijakan yang sangat panjang dan memerlukan waktu lama, apabila pemerintah pusat mendominasi proses pengambilan kebijakan. Ketika menjelaskan alur birokrasi yang harus dilalui oleh pejabat pemerintah dalam proses pengambilan kebijakan publik, sistem desentralisasi mengadopsi salah satu model pengambilan kebijakan publik yang diambil dari Teori Politik Birokrasi (Bureaucratic Politics Theory), yaitu model organisasi (Organizational-Process Model).

Menurut Richard T. Sylves dalam buku “Disaster Policy and Politics: Emergency Management and Homeland Security”, model organisasi menjelaskan bahwa presiden tidak berperan sebagai pengambil kebijakan tunggal, namun mendelegasikan kewenangan pengambilan keputusan kepada satuan tugas yang terdiri dari kelompok orang yang ahli di dalam bidang disiplin ilmu yang berkaitan dengan target kebijakan publik yang ingin dicapai.  

Apabila model ini diadopsi ke dalam teori manajemen darurat bencana, maka pemerintah pusat membentuk satuan atau gugus tugas yang beranggotakan unsur-unsur kementerian/lembaga dan dinas terkait, dan para ahli atau pakar yang memiliki keahlian khusus di bidang disiplin ilmu yang terkait, dimana di tingkat pusat diketuai oleh kepala BNPB, dan di tingkat daerah, diketuai oleh kepala daerah, yakni gubernur di tingkat provinsi, dan bupati/walikota di tingkat kabupaten/kota.

Satuan atau gugus tugas pusat menjalin koordinasi yang intensif dengan satuan atau gugus tugas daerah, untuk mengumpulkan informasi dan data mengenai dampak yang diakibatkan oleh bencana, serta membuat kajian analisis ilmiah yang ditinjau dari berbagai sudut pandang keilmuan, yang nantinya akan digunakan sebagai landasan ilmiah suatu kebijakan deklarasi darurat bencana beserta kebijakan turunannya, seperti karantina wilayah, seleksi penerbitan izin operasional industri dan perkantoran, deteksi dini melalui tes cepat massal (rapid test), hingga pemberian bantuan sosial (bansos) kepada kepala keluarga (KK) miskin dan rentan miskin yang terdampak oleh bencana.

Model organisasi telah lama diterapkan di dalam berbagai upaya percepatan penanggulangan bencana yang pernah terjadi di Indonesia, termasuk pada saat pandemi COVID-19 yang sedang terjadi saat ini, melalui pembentukan Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 di tingkat pusat dan daerah.

Ketika menjelaskan hubungan kelembagaan antara pemerintah pusat dan daerah, model pengambilan kebijakan dengan sistem desentralisasi juga mengadopsi model kewenangan inklusif (inclusive-authority model), yang juga dijelaskan oleh Richard Sylves dalam buku yang sama.

Model kewenangan inklusif menekankan pada pembagian kekuatan, tugas, serta tanggung jawab antara pemerintah pusat dan daerah, dimana pemerintah pusat berperan sebagai koordinator utama dalam pengambilan kebijakan penanggulangan bencana, sementara pemerintah daerah berperan sebagai pelaksana kebijakan di lapangan. Namun, dalam beberapa kesempatan, pemerintah pusat dapat bekerjasama dengan pemerintah daerah untuk merancang kebijakan penanggulangan bencana yang membutuhkan penanganan khusus, seperti wabah penyakit.

Namun, dalam penerapannya, model kewenangan inklusif selalu berbanding terbalik dengan situasi nyata yang terjadi di lapangan. ketika dihadapkan pada situasi bencana non-alam berkategori mass casualty incident (MCI), yakni wabah penyakit. Proses pengambilan kebijakan percepatan penanganan pandemi COVID-19 di pusat justru berjalan lambat, dikarenakan adanya beragam pertimbangan sosial-ekonomi, dan kurangnya koordinasi dengan pemerintah daerah, yang pada umumnya disebabkan oleh kurangnya data terbaru mengenai kondisi ekonomi masyarakat di daerah, seperti jumlah Kepala Keluarga (KK) miskin dan rentan miskin yang tinggal di RT atau RW setempat, dan jumlah KK yang terdaftar di dalam program penerima manfaat dari pemerintah pusat.

Lambatnya proses pengambilan kebijakan penanggulangan bencana di Indonesia dikarenakan berbagai macam pertimbangan, seringkali mendorong pemerintah daerah untuk berinisiatif mengambil kebijakan secara mandiri. Maka tidaklah heran, dalam situasi darurat bencana nasional, model pengambilan kebijakan yang terlihat bukanlah berbasis inclusive-authority, melainkan coordinate-authority.

Model pengambilan kebijakan berbasis coordinate-authority menekankan pada tidak adanya kerjasama antara pusat dan daerah, dikarenakan pemisahan yang sangat jelas mengenai kewenangan pembuatan kebijakan penanggulangan bencana, sehingga keduanya bekerja secara independen dan otonom, dan hanya bekerjasama apabila peristiwa bencana yang terjadi mengancam kepentingan nasional di bidang ekonomi, industri, dan perdagangan. Selain itu, pemerintah daerah tingkat desa hingga kabupaten/kota sangat bergantung pada keputusan yang diambil oleh pemerintah daerah tingkat provinsi, tidak bergantung pada pemerintah pusat.

Pada awal terjadinya pandemi COVID-19, model pengambilan kebijakan berbasis coordinate-authority banyak terjadi di beberapa daerah, seperti Tegal, Tasikmalaya, Maluku, dan Papua, dengan menerapkan local lockdown terhadap akses masuk keluar pusat kota, yang dapat dikatakan telah mendahului kewenangan pemerintah pusat.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Dari dua faktor yang telah dijelaskan sebelumnya, yakni dominasi pemikiran pilihan rasional berdasarkan sudut pandang ekonomi di dalam proses pengambilan kebijakan, ditambah dengan masih terjadinya miskoordinasi antara pemerintah pusat dan daerah, menjadi alasan dibalik masih adanya ketidakefektifan penerapan kebijakan penanggulangan bencana di Indonesia, khususnya dalam merespon bencana non-alam yang disebabkan oleh wabah penyakit. Untuk mengatasi beberapa kekurangan yang ada, perlu dibuat cetak biru (blueprint) berupa skema kebijakan penanggulangan bencana nasional yang berbasis pendekatan holistik dan terukur.

Agar kebijakan tersebut dapat mancapai target yang diharapkan, maka ada dua aspek yang harus dipenuhi. Pertama, holistik, dimana dasar pengambilan kebijakan penanggulangan bencana harus berdasarkan pada lebih dari satu sudut pandang kedaruratan dan mencakup berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan penanggulangan bencana, ketahanan ekonomi dan kesehatan masyarakat, serta, kesejahteraan sosial, serta dampak yang dihasilkan dari penerapan kebijakan tersebut harus bersifat jangka panjang.

Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan revisi terhadap UU No.24 tahun 2007, khususnya terhadap poin A Pasal 7 Ayat (1) UU No.24 tahun 2007, dimana perlu adanya penambahan klausul mengenai dua sudut pandang kedaruratan yang digunakan sebagai basis penentuan kebijakan penanggulangan bencana, yakni sosial-ekonomi dan kesehatan masyarakat, sebagai dua cabang ilmu yang menjadi konsep dasar terbentuknya kebijakan pembangunan nasional.

Tujuan diperlukannya revisi tersebut adalah sebagai bentuk penegasan bahwa berbagai kebijakan penanggulangan bencana yang diambil telah melalui serangkaian kajian sosial-ekonomi dan kesehatan masyarakat yang akurat dan telah teruji secara ilmiah, sehingga kebijakan yang diambil tidak hanya mendukung keberlangsungan aktivitas perekonomian nasional, melainkan juga memastikan agar akar penyebab terjadinya bencana dapat teratasi sampai dengan tuntas, sehingga masyarakat dapat kembali kembali aktivitas harian secara normal, tanpa diliputi oleh kekhawatiran akan risiko terjadinya bencana susulan dalam jangka pendek.

Kedua, terukur, dimana kebijakan penanggulangan bencana yang  telah diterapkan harus dapat diukur dan dievaluasi secara menyeluruh oleh ahli independen melalui pengujian berkala terhadap tingkat efektifitas kebijakan selama diterapkan di lapangan. Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian lintas disiplin ilmu, seperti sosiologi, antropologi, politik, psikologi, serta kesehatan masyarakat. Hal ini bertujuan mendeteksi berbagai unsur yang dianggap masih kurang atau tidak sesuai dengan keadaan masyarakat di lapangan.

Selain skema kebijakan penanggulangan bencana yang holistik dan terukur, intensitas koordinasi pemerintah pusat dan daerah juga perlu ditingkatkan. Hal ini dapat diawali dengan mendesak pemerintah provinsi, untuk terus berkoordinasi dengan pemerintah kabupaten/kota agar mengoptimalkan proses pemetaan kondisi dan situasi wilayah dengan potensi tingkat keterpaparan wabah penyakit tertinggi, yang dilakukan hingga tingkat kecamatan, dengan berdasarkan pada indikator klimatologi, seperti perubahan cuaca, suhu dan kelembapan udara, kebersihan dan kondisi sanitasi wilayah, tingkat kepadatan penduduk, sektor ekonomi yang menjadi tumpuan hidup masyarakat setempat, serta jumlah dan tingkat kesiapan fasilitas kesehatan yang ada di wilayah tersebut.

Adanya pemetaan situasi dan kondisi wilayah tersebut bertujuan untuk memperbanyak jumlah data empiris yang dibutuhkan sebagai bahan kajian ilmiah skema kebijakan penanggulangan bencana nasional untuk jangka pendek, menengah, serta panjang, yang secara langsung mengurangi lamanya waktu formulasi kebijakan penanggulangan bencana. Selain itu, hal ini juga merupakan bagian dari upaya mendukung terwujudnya kebijakan satu data, yakni dengan membangun basis data kebencanaan nasional terpadu, yang diperbarui setiap tahun dan dapat diakses secara bebas oleh masyarakat.

Pada akhirnya, dengan keyakinan dan komitmen yang kuat untuk belajar dari pengalaman kekurangan dan kesalahan yang dihadapi selama pandemi COVID-19, maka dalam waktu 20 sampai dengan 30 tahun ke depan, Indonesia akan memiliki skema kebijakan penanggulangan bencana nasional non-alam terpadu yang aktual, solid, dan komprehensif, yang dapat digunakan untuk menyelamatkan lebih banyak nyawa, dan mencegah timbulnya kerugian ekonomi yang masif, sehingga tidak akan ada satupun warga Indonesia yang harus terpuruk dan menderita secara jiwa dan raga, dan tidak ada satupun nyawa warga Indonesia yang harus dikorbankan secara sia-sia.


Tulisan milik I Gusti Putu Narendra Syahputra, Research Fellow di Sandya Institute dan Alumnus S1 Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama) Jakarta.


“Disclaimer: Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.”

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version