Site icon PinterPolitik.com

Covid-19: Melihat Sukses Jacinda Ardern

Covid-19 : Melihat Sukses Jacinda Ardern

Perdana Menteri (PM) Selandia Baru Jacinda Ardern ketika meninjau fasilitas tes Covid-19 di Porirua, Selandia Baru. (Foto: Pool)

Sejumlah pemahaman masih menempatkan laki-laki sebagai gender yang sesuai dalam dunia politik. Lantas, bagaimana dengan kontribusi perempuan dalam pemerintahan dengan melihat kesuksesan Perdana Menteri (PM) Selandia Baru Jacinda Ardern dalam menangangi pandemi Covid-19?


PinterPolitik.com

Sebagaimana kita ketahui, dunia perpolitikan selalu didominasi oleh kaum laki-laki. Gerakan feminisme dalam beberapa dekade terakhir telah berhasil menjamin hak politik perempuan serta mendorong mereka untuk berpolitik praktis.

Terdapat berbagai alasan mengapa perempuan terbilang ‘kurang berminat’ untuk berpolitik praktis, di antaranya adalah karena masyarakat yang cenderung menganggap perempuan hanya berkewajiban mengurus keluarga atau menjadi ibu rumah tangga. Tak hanya itu, terdapat pula berbagai alasan yang menyebabkan kaum perempuan itu sendiri enggan untuk berpolitik praktis, yakni karena menganggap politik sebagai hal yang kotor dan lebih cocok bagi laki-laki.

Dalam esai ini, penulis akan menjelaskan fenomena tersebut menggunakan teori Gender dan Kekuasaan yang digagas oleh Robert Connel. Penulis juga akan menggunakan upaya penanggulangan COVID-19 di Selandia Baru sebagai studi kasus untuk menunjukkan bahwa sebenarnya perempuan pun dapat menjadi pemimpin negara yang baik.

Gender dan Kekuasaan

Sebelum kita membahas lebih jauh tentang hubungan gender dan dunia politik, kita harus memahami terlebih dahulu mengapa laki-laki lebih dominan dalam dunia politik dan mengapa hanya sedikit perempuan yang berkecimpung di dalamnya. Hal ini dapat kita pahami melalui gagasan Gender dan Kekuasaan yang digagas oleh Robert Connell pada 1987.

Connell melihat dua struktur utama yang menjadi ciri atas hubungan gender antara laki-laki dan perempuan, yakni Sexual Division of Labor dan Sexual Division of Power. Kedua struktur ini telah mengakar secara di dalam masyarakat secara historis, baik secara norma maupun secara institusional.

Dalam tingkat norma, secara historis masyarakat telah meyakini bahwa bekerja dan memimpin rumah tangga adalah tugas laki-laki, sedangkan tugas perempuan adalah untuk mengurus keluarga dan anak-anaknya di rumah. Hal ini kemudian terinstitusionalisasi dalam kebijakan-kebijakan yang cenderung membataasi perempuan dalam berbagai hal seperti akses untuk pendidikan dan politik.

Dalam hal politik, kebanyakan negara di dunia baru memberlakukan universal suffrage pada tahun 1900-an yang memungkinkan perempuan untuk dapat memilih dalam pemilu, namun hak perempuan untuk berpartisipasi dalam politik praktis baru mulai gencar diperjuangkan pada tahun 1960-an.

Pengaruh Sexual Division of Labor and Power dalam Partisipasi Politik Perempuan di Era Modern

Gerakan kaum feminis untuk menjamin hak perempuan untuk berpolitik praktis sejak 50 tahun terakhir telah berbuah manis. Terhitung 2019, terdapat 29 kepala negara perempuan dan angka ini merupakan yang tertinggi dibandingkan tahun mana pun. Meskipun saat ini perempuan telah memiliki jaminan terhadap hak untuk memilih pekerjaan serta berpolitik dengan bebas di kebanyakan negara, pada praktiknya keberadaan Sexual Division of Labor and Power yang patriarkis di masa lalu tetap berpengaruh hingga sekarang.

Secara institusional, seluruh negara di dunia telah memperjuangkan kesetaraan gender. Namun, norma yang berlaku di masyarakat mendorong perempuan untuk enggan memilih pekerjaan tertentu yang didominasi oleh laki-laki, salah satunya menjadi pejabat publik.

Terdapat pandangan umum bahwa laki-laki memiliki bakat kepemimpinan yang lebih kuat sehingga lebih cocok menjadi pejabat publik dibandingkan perempuan. Di sisi lain, norma tersebut juga telah memengaruhi mindset perempuan hingga ke level psikologis.

Kaum perempuan cenderung menilai bahwa laki-laki memang lebih kompeten dan memiliki bakat intrinsik untuk mengambil keputusan sebagai pejabat publik. Pandangan bahwa politik adalah hal yang kotor juga membuat perempuan cenderung untuk memilih pekerjaan lain dan menyerahkan politik praktis kepada kaum laki-laki.

Meskipun demikian, secara institusional negara tetap mendorong kesetaraan dalam hal politik, contohnya dengan memberlakukan kuota gender di parlemen. Akan tetapi, sebagian kaum perempuan memandang hal ini sebagai penghinaan yang berlandas pada asumsi bahwa perempuan tidak cukup kompeten dan memenuhi kualifikasi untuk menjadi seorang anggota dewan sehingga jabatan tersebut diberikan secara cuma-cuma melalui kuota gender. Pada akhirmya, faktor norma dan psikologis tersebut membuat perempuan cenderung menyerahkan posisi jabatan publik untuk terus menerus didominasi oleh laki-laki.

Kapabilitas Pemimpin Perempuan dalam Penanggulangan COVID-19 di Selandia Baru

Sexual Division of Labor and Power yang terjadi di masa lalu membuat perempuan cenderung enggan untuk berpolitik hingga di masa modern serta melahirkan pandangan bahwa laki-laki lebih mampu dalam menjalankan pekerjaan sebagai pejabat publik dan bahkan kepala negara. Meskipun demikian, hal tersebut pada kenyataannya tidaklah benar.

Contoh dari hal ini dapat ditunjukkan dalam upaya penanggulangan pandemi COVID-19. Sejak kemunculannya pada Desember 2019, seluruh negara di dunia telah berlomba-lomba dalam untuk menanggulangi penyebaran COVID-19. Pada awalnya kebanyakan negara (terutama negara maju) telah berhasil memperlambat laju pertambahan angka kasus baru, namun setelah mereka memberlakukan new normal,angka pertambahan kasus baru kembali meningkat dan membawa mereka pada gelombang kedua pandemi COVID-19.

Hampir seluruh negara di dunia mengalami situasi tersebut, namun Selandia Baru muncul sebagai anomali di tengah pandemi COVID-19 yang kembali memburuk. Negara yang dipimpin oleh Perdana Menteri Jacinda Ardern tersebut terbilang sangat sigap dalam menanggulangi COVID-19 dari awal kemunculannya, sehingga disebut-sebut sebagai negara dengan penanggulangan COVID-19 terbaik.

Sejak Februari 2020, Pemerintah Selandia Baru telah memberlakukan larangan mobilisasi internasional yang ketat. Tak lama setelah kasus pertama terdeteksi, pada pertengahan Maret PM Ardern segera melakukan lockdown dan membatasi segala kegiatan yang melibatkan lebih dari 10 orang. Kebijakan ini pun dijalankan tanpa kompromi, contohnya Ardern membatalkan peringatan 1 tahun tragedi penembakan Masjid Christchurch pada 14 Maret dan menyatakan bahwa ia sangat menyayangkan pembatalan tersebut, namun hal tersebut harus dilakukan demi mencegah penyebaran COVID-19.

Ardern juga menyediakan bantuan ekonomi sejumlah NZ$20 miliar untuk meminimalisir dampak ekonomi akibat COVID-19. Kesigapan tersebut berhasil menghentikan penyebaran COVID-19 hingga mencapai 0 kasus dalam 100 hari pada 15 September 2020.

Keberhasilan ini pun memperkuat legitimasi Ardern sehingga ia kembali terpilih sebagai perdana menteri pada pemilu 19 September dengan margin kemenangan terbesar bagi partainya, Labour Party, sejak 1996. Selandia Baru pun terbilang tidak terkena gelombang kedua COVID-19 karena jumlah pertambahan kasus senantiasa stabil di angka 1-4 kasus baru per hari terhitung tanggal 1-10 November 2020.

Meskipun saat ini secara umum kaum perempuan telah memiliki kebebasan yang sama dengan laki-laki dalam berbagai hal, keberadaan Sexual Division of Labor dan Sexual Division of Power di masa lalu tetap memberikan dampak yang siginifikan hingga saat ini. Dikarenakan faktor norma dan psikologis, kaum perempuan cenderung enggan untuk berpolitik dan menyerahkan hal tersebut kepada kaum laki-laki yang mereka (dan masyarakat) pandang lebih cocok untuk berpolitik dan menjadi pemimpin negara.

Hal ini pada gilirannya memunculkan dugaan bahwa perempuan tidak sebaik laki-laki dalam berpolitik, namun hal ini tidaklah benar karena sebagai contoh Selandia Baru yang dipimpin oleh Jacinda Ardern tampil menjadi negara dengan penanganan COVID-19 terbaik meskipun dipimpin oleh seorang perdana menteri perempuan. Keberhasilan ini kemudian mengantarkannya untuk menjabat kedua kalinya serta membuktikan bahwa perempuan pun dapat menjadi pemimpin negara yang baik.

Terkait masih adanya paradigma bahwa perempuan tidak sebaik laki-laki dalam menjadi pemimpin, menurut penulis hal ini dapat diatasi dengan meningkatkan pemahaman masyarakat tentang kesetaraan gender yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun organisasi masyarakat, serta meyakinkan kaum perempuan bahwa politik adalah hal yang sangat penting serta tidak sekotor yang mereka bayangkan sehingga akan lebih banyak perempuan yang menduduki jabatan di pemerintahan dan mempercepat tercapainya kesetaraan gender dalam partisipasi politik praktis.


Tulisan milik Andhika Rafi Permana, Mahasiswa Program Studi S-1 Ilmu Politik Universitas Indonesia.


Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version