Demokrasi di Asia Tenggara dan Asia Selatan mengalami kemunduran akibat kebijakan penanganan pandemi Covid-19. Lantas, bagaimanakah dengan demokrasi di dunia secara keseluruhan?
Kemunduran demokrasi tidak hanya terjadi di Asia Selatan dan Tenggara meskipun kawasan tersebut telah jatuh dari tingkat demokrasi yang lebih tinggi daripada beberapa kawasan berkembang lainnya. COVID-19 telah menjadi keuntungan bagi banyak, meskipun tidak semua, politisi yang tidak liberal di seluruh dunia.
Studi Freedom House baru-baru ini menunjukkan bahwa kondisi demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) telah memburuk di delapan puluh negara sejak pandemi dimulai. Yang pasti, tidak semua pemimpin yang tidak liberal memanfaatkan COVID-19 untuk mengumpulkan lebih banyak kekuasaan.
Meski demikian, banyak yang sudah melakukannya. Presiden Venezuela Nicolás Maduro memenjarakan jurnalis, aktivis, dan petugas kesehatan karena mempertanyakan pendekatan Maduro terhadap virus Corona—dan mempertanyakan kebijakan pemerintah secara umum.
Pemerintah El Salvador yang menggunakan COVID-19 sebagai alasan telah mengabaikan putusan Mahkamah Agung yang menyatakan ilegal bagi pemerintah untuk menyita properti orang-orang yang dituduh tidak mematuhi karantina; Pemerintah El Salvador juga telah menggunakan kepolisian untuk melakukan penahanan yang meluas.
Di Eropa Timur dan negara-negara bekas Soviet lainnya, ceritanya pun serupa. Perdana Menteri Hungaria Viktor Orbán telah diberi kekuasaan darurat yang ekstensif oleh parlemen yang mematuhi perintahnya. Meskipun hukum yang memberinya kekuasaan ini ditarik pada bulan Juni, dia terus menggunakan kekuasaan yang pada dasarnya sama, hampir tak terbatas. Sebagian karena tindakan tegas terkait COVID-19 di negara bekas Soviet dan negara tetangga mereka, laporan tahunan terbaru Freedom House tentang demokrasi di bekas Uni Soviet menemukan lebih sedikit negara demokrasi di seluruh kawasan itu semenjak tahun 1995.
Di Timur Tengah dan sub-Sahara Afrika juga, pemerintah telah menggunakan pandemi untuk membatasi kebebasan. Pemerintah Aljazair telah menangkap dan menggunakan kekerasan brutal terhadap banyak aktivis anti-pemerintah dengan kedok menghentikan penyebaran pandemi.
Turki, sementara itu, telah menahan ratusan orang karena diduga menulis unggahan “provokatif” tentang pandemi secara online. Di Mesir, negara paling represif di Afrika Utara, pemerintahan Presiden Abdel Fattah al-Sisi telah menggunakan pandemi sebagai kesempatan untuk mengamendemen undang-undang darurat dan memberi presiden serta angkatan bersenjata kendali yang lebih ketat atas masyarakat Mesir. Di sub-Sahara Afrika, pemerintah Zimbabwe telah menggunakan ancaman COVID-19 untuk meningkatkan penahanan terhadap politisi dan aktivis oposisi.
Implikasi Jangka Panjang
Tindakan yang diambil, dalam teori, untuk memerangi COVID-19 dapat bertahan lama bahkan setelah pandemi berakhir. Sejarah menunjukkan bahwa undang-undang yang diberlakukan dan tindakan eksekutif yang diambil sebagai tanggapan terhadap keadaan darurat nasional jarang dicabut, bahkan ketika keadaan darurat tersebut surut. Terkadang, undang-undang dan tindakan eksekutif era krisis dipertahankan.
Di lain waktu, undang-undang dan tindakan eksekutif ini digunakan kembali agar sesuai dengan tujuan kebijakan lain sembari tetap membantu pemerintah mempertahankan kekuasaan yang cukup besar. Di Amerika Serikat, negara demokrasi yang lebih terkonsolidasi daripada negara-negara di Asia Selatan atau Tenggara, Undang-Undang Patriot yang disahkan setelah 9/11 pada dasarnya masih berlaku hampir dua dekade kemudian meskipun ada kritik bahwa undang-undang tersebut telah melampaui kegunaannya, memungkinkan penegakan hukum memiliki kewenangan pengawasan yang terlalu luas, dan telah digunakan dengan cara yang tidak dibayangkan oleh perancangnya pada tahun 2001.
Di Asia Selatan dan Tenggara, undang-undang dan tindakan eksekutif yang diterapkan di era COVID-19 dapat memiliki nasib yang sama dengan Undang-Undang Patriot. Beberapa pembuat kebijakan dan pemimpin masyarakat sipil Filipina dari pihak oposisi, misalnya, percaya bahwa Duterte, yang telah memperpanjang kekuasaan daruratnya hingga tahun 2021, dapat mempertahankan kekuasaan daruratnya hingga tahun 2022, ketika masa jabatannya berakhir.
Dia dapat menggunakan kekuasaan ini untuk membantu penerus favoritnya memenangkan pemilihan presiden berikutnya dan kemudian melanjutkan kebijakan orang kuat gaya Duterte. (Seorang presiden Filipina dibatasi untuk satu masa jabatan selama enam tahun.) Di Kamboja, India, Thailand, dan negara-negara lain di kawasan ini, pemerintah telah memperpanjang kekuasaan darurat yang diberlakukan pada awal pandemi. Pemimpin di negara-negara ini akan menghadapi godaan besar-besaran untuk mempertahankan kekuasaan ini bahkan setelah pandemi terkendali.
Kekuasaan Politik dan Kegagalan Kesehatan Masyarakat
Banyak dari pemimpin yang tidak liberal ini menjadi lebih kuat bahkan ketika mereka gagal dalam menangani kesehatan masyarakat. Banyak pemimpin, baik di kawasan ini maupun secara global, yang salah menangani pandemi merupakan pemimpin populis yang tidak liberal, yang tidak menyukai saran dari para pakar kesehatan dan menerapkan gaya pemerintahan yang kacau dan improvisasi.
Peremehan terhadap saran dari para pakar kesehatan dan koordinasi kebijakan yang buruk, bahkan dalam situasi umum, telah menghambat pemimpin tersebut dalam menangani COVID-19. (Sebaliknya, beberapa negara otoriter yang tidak dipimpin oleh pemimpin populis, seperti Vietnam, telah mampu melaksanakan kebijakan COVID-19 yang koheren, terkoordinasi, dan efektif. )
Tidak semua pemimpin populis meremehkan atau salah menangani COVID-19: sebuah studi baru-baru ini oleh Tony Blair Institute for Global Change menemukan bahwa mayoritas pemimpin populis telah menanggapi pandemi dengan serius. Akan tetapi, studi tersebut juga menemukan bahwa pemimpin populis dari beberapa negara demokrasi terbesar belum menanggapi pandemi dengan cukup serius, dan bahkan pemimpin populis yang menangani pandemi secara serius telah merusak demokrasi saat mereka menjalankan kebijakan kesehatan masyarakat yang relatif efektif.
Di Brasil, misalnya, Presiden Jair Bolsonaro yang sangat membenci saran dari para pakar kesehatan sudah lama membantah bahwa virus Corona adalah ancaman nyata, salah menangani hubungan federal-negara bagian dalam memerangi COVID-19, dan mempromosikan teori konspirasi, bahkan ketika dia sendiri terpapar COVID-19. Di bawah kepemimpinan kacau Bolsonaro, Brasil telah mengalami salah satu wabah terburuk di dunia.
Di Amerika Serikat, kesalahan manajemen pemerintahan Trump terhadap COVID-19 juga sebagian berasal dari pengabaian presiden terhadap saran dari para pakar kesehatan, merongrong birokrasi federal, dan gaya pemerintahan improvisasi. Akibatnya, Amerika Serikat sejauh ini mengalami kematian terbanyak akibat COVID-19 dibandingkan negara mana pun di dunia, dan virus itu telah menyebar hingga ke Gedung Putih.
Di Asia Selatan dan Tenggara, banyak pemimpin populis yang tidak liberal telah berjuang keras untuk membendung virus, namun tata kelola yang buruk ini tidak menghentikan mereka untuk memperluas lebih banyak kekuasaan. Kebijakan karantina wilayah milik Modi yang memberi penduduk dan pemimpin provinsi sedikit waktu untuk mempersiapkan diri dan diberlakukan ketika pemerintah nasional mengupayakan sedikit usaha untuk menciptakan jaring pengaman telah menjadi bencana.
Karantina wilayah yang direncanakan dengan buruk tidak meratakan kurva beban kasus COVID-19 India. Namun, malah menimbulkan kekacauan sosial dan merusak perekonomian, yang menyusut sekitar 24 persen pada kuartal kedua tahun ini, bahkan ketika pemerintahan Modi memperluas kekuasaan. (Akan tetapi, beberapa negara bagian India seperti Kerala telah menangani penutupan akses menyeluruh secara efektif, mengirimkan makanan ke rumah-rumah masyarakat dan besar kemungkinan mengurangi kemarahan publik dalam proses tersebut.)
Di Filipina, pendekatan Duterte terhadap COVID-19 kurang menyampaikan informasi yang tepat kepada masyarakat dan telah merusak perekonomian secara parah, sementara itu virus masih belum terkendali. Duterte terlalu lama meremehkan ancaman virus, mengatakan kepada publik dalam pidato nasional pada bulan Maret bahwa merupakan tindakan bodoh untuk takut pada COVID-19 dan terlihat di depan umum menentang pedoman tentang pembatasan jarak sosial, sampai dia tiba-tiba berbalik arah dan menerapkan karantina wilayah secara ekstensif. Bahkan sekarang, dia gagal memberikan arahan yang konsisten atau mendukung ahli kesehatan masyarakat yang dapat menyampaikan pesan publik yang konsisten, sembari memperluas kekuasaan melalui tindakan darurat dan upaya lainnya.
Meskipun pandemi telah memungkinkan pemimpin Asia Selatan dan Tenggara menjadi lebih autokrasi dalam jangka pendek, kegagalan dalam jangka lebih panjang mereka untuk menangani COVID-19 secara memadai dapat memberi lawan politik mereka peluang untuk menantang mereka dan melepaskan konsentrasi kekuasaan mereka. Memang, kegagalan pemerintah mereka dapat membuat mereka lebih rentan terhadap tantangan dari oposisi politik, melemahkan kemampuan mereka untuk memusatkan kekuasaan, dan pada akhirnya membuat pemulihan lembaga dan norma demokrasi menjadi lebih mudah.
Di seluruh dunia, pemimpin seperti Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern dan Kanselir Jerman Angela Merkel yang telah mengawasi tanggapan efektif terhadap COVID-19 telah melihat popularitas mereka meroket, dengan Ardern baru-baru ini meraih kemenangan pemilu terbesar dalam sejarah modern Selandia Baru. Sebaliknya, di negara-negara dengan efek pandemi yang parah pada kesehatan masyarakat dan perekonomian, citra publik dan popularitas pemimpin sering kali menurun.
Tulisan milik Joshua Kurlantzick, anggota senior di Council on Foreign Relations (CFR).
Tulisan ini disunting dari tulisan asli bertajuk Addressing the Effect of COVID-19 on Democracy in South and Southeast Asia atas seizin penulis. Isi tulisan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.