HomePolitikCorona: Pemerintah dan Gaya Orwellian

Corona: Pemerintah dan Gaya Orwellian

Oleh Mochammad Naufal Rizki, mahasiswa Antropologi Sosial di Universitas Indonesia

Publik mungkin menganggap bahwa pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) tengah berjuang keras melawan pandemi virus Corona (Covid-19) dengan pidato dan ucapan yang dianggap masuk akal. Meski begitu, di baliknya, bisa jadi terdapat gaya Orwellian yang tengah digunakan.


PinterPolitik.com

Ketika kita berbicara tentang George Orwell dan tulisannya yang berjudul 1984 (atau Nineteen Eighty-Four), sekelebat kengerian tentang masyarakat distopia yang hidup di bawah tirani totalitarian selalu saja hinggap di pikiran. Namun,  ada sesuatu yang lain untuk diperhatikan di luar gambaran-gambaran tentang penindasan, kepatuhan, pengawasan dan dominasi total, yaitu bagaimana Partai melakukan itu semua.

Dalam 1984, Partai berkuasa melalui kontrol terhadap realitas. Partai pertama-tama mengaburkan realitas untuk kemudian membentuk yang baru. Dan mesin utama yang dijalankan untuk menggerakkan proyek ini adalah bahasa –mengamini gagasan yang ditulis oleh Edward Sapir (1929) bahwa, “language is a guide to social reality.”

Dalam 1984, mesin propaganda yang digunakan adalah newspeak, yaitu sebuah bahasa yang dirancang untuk membatasi ruang pemikiran, bukan mengembangkannya (Orwell, 1949). Partai terus-menerus memperbaharui kosakata dan menyempurnakannya, sehingga ruang bahasa menjadi semakin sempit.

Tujuan akhirnya adalah orang akan berpikir secara terbatas dan sederhana. Namun, bukannya “memperbaharui” kosakata justru cenderung meluaskan ruang berpikir? Betul, hanya saja, dalam hal ini, Partai menggunakan double-think atau pikir-ganda.

Pikir-ganda memaksa orang untuk menerima dua fakta yang kontradiktif secara bersamaan. Tidak hanya menerima, tetapi juga betul-betul meyakininya. Dalam kondisi ini, kita tahu bahwa “memperbaharui” berarti menambah tetapi,melalui pikir-ganda, kita juga mesti menerima fakta bahwa “memperbaharui” berarti mengurangi bahkan menghapuskan.

William Lutz melihat bahwa gagasan inti dari kondisi Orwellian adalah asumsi yang bersumber dari Sapir-Whorf Hypotheses yang menyatakan bahwa bahasa mempengaruhi cara kita berpikir (Whorf, 1940). Jika bahasa dapat membentuk dan mempengaruhi pikiran, maka mereka yang menguasai bahasa dapat menguasai pikiran masyarakat (Lutz, 1989). Maka, ketika Partai berhasil memproduksi newspeak dan double-think, ia berhasil menguasai bahasa; ia juga berhasil menguasai masyarakat.

Lutz kemudian mengawinkan konsep newspeak dan double-think menjadi double-speak. Doublespeak adalah bahasa yang membuat hal buruk terlihat menjadi baik; hal yang tidak menyenangkan menjadi menyenangkan, atau setidaknya dapat diterima.

Ini adalah bahasa yang digunakan untuk menghindari atau melemparkan tanggung jawab (Lutz, 1989). Bagi Lutz, doublespeak dapat ditemukan dimana-mana, terutama dalam insititusi politik atau pemerintahan, misalnya di Amerika pemerintah cenderung tidak menggunakan kata “membunuh (killing)” tetapi “perampasan hidup yang melanggar hukum (unlawful or arbitrary deprivation of life)”.

Pemerintah Indonesia tampaknya melakukan praktik serupa. Sejak masa pandemi COVID-19 berlangsung, ada beberapa pernyataan yang menyentil terkait kondisi pandemi di Indonesia.

Pemerintah berkali-kali menggunakan istilah-istilah yang sebetulnya sama saja tetapi diberikan makna yang berbeda atau justru menyamakan istilah-istilah yang pada dasarnya berbeda, bahkan kontradiktif. Sejak istilah-istilah tersebut muncul, kita patut curiga bahwa double-speak sedang dipraktikkan.

Mari kita kembali sejenak menuju bulan Maret. Beberapa pekan setelah kasus ‘pertama’ COVID-19 terkonfirmasi di Indonesia, timbul gelombang ketidakpercayaan terhadap pemerintah sebab pemerintah dianggap banyak menutup-nutupi keadaan, bahkan berbohong.

Saat merespons persoalan ini, Ahmad Yurianto, menjawab, “Saya tidak melihat dalam perspektif bohong ya, mengatur kebenaran menurut saya.” Berdasarkan kategori yang ditulis oleh Lutz, pernyataan ini adalah double-speak jenis eufimisme, yaitu penggunaan kata atau frase yang bertujuan untuk menutupi realitas yang tidak mengenakan (Lutz, 1989).

Dalam hal ini, eufimisme digunakan untuk menutupi sifat buruk, yaitu berbohong, dengan menggunakan istilah yang membawa makna baik. Contoh lainnya adalah saat Jokowi berkata bahwa pemerintah bukan tidak terbuka tetapi tidak ingin membuat panik.

Kemudian, belakangan polemik kembali mencuat. Dalam sebuah sesi wawancara bersama Najwa Shihab, Presiden Jokowi ditanya perihal pelarangan mudik sebab, menurut Najwa, banyak orang yang sudah pulang ke kampungnya sebelum larangan mudik berlaku. Jokowi kemudian menyebutkan bahwa dua istilah itu adalah hal yang berbeda.

“Kalau itu bukan mudik. Itu namanya pulang kampung. Memang bekerja di Jabodetabek, di sini sudah tidak ada pekerjaan, ya mereka pulang, karena anak istrinya ada di kampung,”  jawab Presiden.

Ujaran itu ramai diperbincangkan, pasalnya beberapa pihak menilai bahwa secara bahasa istilah tersebut berarti sama –rujukannya ada di dalam KBBI. Ivan Lanin merespons dengan mengutip cuitan lamanya, “pemaknaan kata tidak perlu dicari dalam kamus. Cukup tanyakan pada politikus.” Lanin juga mengunggah gambar “kamus sudah mati!”

Lagi-lagi, kita mendapati double-speak. Dan, lusinan istilah double-speak lain sebetulnya telah diproduksi pemerintah, seperti: bukan terlambat, tapi berhati-hati; bukan kenaikan harga, tapi penyesuaian harga; tenaga medis bukan korban, tapi pahlawan; bukan kritik, tapi nyinyir.

Dalam tingkat tertentu, double-speak seperti ini berbahaya, sebab ia dapat mendistorsi realitas dan pikiran. Contoh ekstrem terjadi ketika AS menginvasi Irak. Sebagian orang merasa tidak apa-apa sebab pemerintah AS menggunakan istilah “misi penyelamatan/pembebasan” alih-alih pendudukan atau invasi.

Pada akhirnya, kita mungkin akan percaya bahwa politisi tidak berbohong, melainkan “salah ucap”, dan tindakan ilegal yang mereka lakukan  hanya lah “perilaku kurang terpuji” (Lutz, 1989).

Double-speak yang dilakukan pejabat publik, politisi dan pemerintah mungkin akan dianggap sebagai perihal sepele. Perihal kesalahan komunikasi saja. Tapi, justru itulah yang berbahaya dari double-speak, yaitu menormalisasi realitas yang kabur.

Bagi Lutz, double-speak bukan tercipta secara tidak sengaja atau bersumber dari kecerobohan orang yang mengucapkannya. Namun, double-speak memang dirancang sedemikian rupa untuk tampil sebagai bahasa yang komunikatif, padahal tidak, dan kita dibuat yakin untuk menerimanya.

Ini berbahaya sebab kita menganggapnya sebagai sesuatu yang normal meski realitas sedang dikaburkan. Kita akan lebih senang mendengar kata “membuat publik tenang” dibandingkan “menutupi fakta”; “tidak terburu-buru” dibanding “lamban”; “pengamanan” dibandingkan “penangkapan; “interogasi” dibandingkan “penyiksaan”; “tegas” dibandingkan “represif”; atau bahkan “korban sipil” dibandingkan “korban pembunuhan oleh negara”. Itulah dunia Orwellian, di mana bahasa memang dirancang untuk membuat kebohongan menjadi kebenaran (Orwell, 1949).

Dan, sekali lagi, praktik double-speak akan menjadi sangat berbahaya ketika kita benar-benar melihatnya sebagai praktik komunikasi yang normal. Ketika kita membenarkan kewajaran tersebut, dalam pemahaman Saphir-Whorf, double-speak sedang membentuk pikiran kita.

Dalam artian lain, kita sedang membiarkan kekuasaan beroperasi. Kita membiarkan realitas kabur dan, dengan senang hati, menerima realitas yang baru dibentuk. Jika kita sudah berada dalam tahap tersebut, maka selamat datang di 1984. Bersama dengan warga Oceania, kita akan mengamini bahwa “perang adalah kedamaian, kemerdekaan adalah perbudakan dan kebodohan adalah kekuatan.”

Tulisan milik Mochammad Naufal Rizki, mahasiswa Antropologi Sosial di Universitas Indonesia.

“Disclaimer: Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.”

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Menyingkap Sportwashing dalam Laga Indonesia-Bahrain

Kontroversi ini perpanjang daftar kritik terhadap wasit dari Timur Tengah, di tengah dugaan bias dan pengaturan skor sepak bola internasional.

Unlike Jokowi, Prabowo Will Be His Own Man

More assertive foreign policy and democratic backsliding are most likely on the horizon as Prabowo Subianto becomes the next Indonesian president.

Fenomena Gunung Es “Fake Review”

Fenomena fake review kini banyak terjadi di jual-beli daring (online). Siapakah yang dirugikan? Konsumen, reviewer, atau pelaku usahakah yang terkena dampaknya? PinterPolitik.com Sejak berlangsungnya proliferasi internet...