Site icon PinterPolitik.com

Catatan Kritis untuk Partai Hijau Indonesia 

Korindo dan Ironi Hutan Papua

Kawasan hutan yang berlokasi di Boven Digoel, Papua. (Foto: Greenpeace)


Oleh Wahyu Eka Styawan

PinterPolitik.com

Pertama-tama, penulis sangat mengapresiasi dengan semangat teman-teman yang mau menghibahkan waktunya untuk merawat sebuah impian mengenai terciptanya Indonesia yang adil dan lestari. Tidak mudah memulai sebuah partai ‘alternatif’ di tengah kekeringan inovasi dalam berpolitik. 

Karena di Indonesia jujur saja, gerakan politiknya membosankan. Hingga detik ini masih miskin imajinasi untuk memulai sebuah petualangan politis, terutama memimpikan merebut sebuah kendali kebijakan, kecuali terjebak dalam narasi gagal bernama struggle from within atau berjuang dari dalam. 

Jujur penulis sudah tidak paham dengan seruan pilih pemimpin yang peduli lingkungan atau bumi. Betapa tidak narasi itu sudah irelevan dan konyol, karena tidak mungkin ada ceritanya satu individu bisa merubah dalam kepungan pragmatisme politis partai-partai oligark. 

Ide itu hanya pelipur lara atas kegagalan dalam mengorkestrasikan imajinasi politis. Maklum yang menjalankan gerakannya boleh dibilang generasi X dan sebagian adalah baby boomers

Partai Hijau Indonesia memiliki sejarah panjang, bermula dari mimpi para aktivis lingkungan yang mulai sadar bahwa perjuangan meneggakan lingkungan yang baik dan sehat tidak sekedar bermitra dengan pemerintah, atau antagonisme, tetapi perlu mendudukan sebuah agonisme. 

Saluran yang tersedia harus dimanfaatkan untuk merebut kendali pembuat kebijakan. Sebagai wadah yang menjadi harapan, Partai Hijau Indonesia (PHI) merupakan harapan masyarakat sipil untuk memperjuangkan apa itu keadilan ekologis. Pada 5 Juni 2012 partai ini lahir atas inisiasi beberapa masyarakat sipil, salah satunya WALHI. 

Sebelumnya memang sempat ada pembahasan politik alternatif, terutama jika kita kulik beberapa pendiskusian seperti yang disajikan Indoprogress, di mana sejak 2010 sayup-sayup gerakan alternatif bernama Front Oposisi Rakyat Indonesia (FORI) mulai menggema. 

Front ini sendiri diinisiasi oleh beberapa gerakan, salah satunya Partai Rakyat Pekerja sampai WALHI. Mereka bercita-cita untuk menaikkan eskalasi perjuangan yang sedari awal hanya sektoral, bertemu beririsan yang kemudian terjahit menjadi agenda perubahan bersama, khususnya dalam konteks politik konvensional. 

Berselang dua tahun semenjak ramai FORI dikalangan masyarakat sipil, lahirlah PHI. Secara konseptual akan digunakan sebagai kendaraan politik untuk mengarungi kerasnya politik konvensional serta menghimpun suara-suara pinggiran yang selama ini dirampas, khususnya mereka para pejuang demokrasi dan lingkungan hidup. 

Lima Catatan untuk Partai Hijau Indonesia 

Sepuluh tahun sudah berlalu, tetapi sampai saat ini belum ada tanda-tanda partai ini bergerak. Sama seperti yang dahulu masih berkutat dalam seputar internal, serta kebingungan dalam menentukan arah. Cara kerjanya pun tak jauh beda dengan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS), yakni diskusi, seminar dengan orang itu-itu saja, minim jangkauan. 

Bahkan, sampai sekarang orang tidak mengenal apa itu PHI kecuali jejaring OMS, itupun tidak semuanya menjadi bagian darinya, sejelek-jeleknya simpatisan. Sebagai partai yang dilahirkan untuk menjadi wadah politik alternatif, PHI bisa dikatakan belum berjalan, ibarat bayi iya masih kesusahan merangkak. 

PHI memang dibangun dengan prinsip yang bagus, seperti pola kepemimpinan kolektif, menjadi modal untuk menjalankan sebuah organisasi yang mengurangi birokratisme dan hirarki. Tetapi masalahnya bukan itu, melainkan ketidakjelasan arah geraknya. 

Pertama, secara ideologi sebenarnya PHI ini bermuara ke mana? Jika dibandingkan dengan Partai Buruh yang mengusung slogan welfare state khas sosial demokrasi, maka PHI ini memakai pendekatan yang mana? Green politics-nya Global Green Charter atau jalan sinkretik Green dan Sosial Demokrasi a la Alliance 90/The Greens, atau ingin memunculkan sendiri pandangan ideologisnya. 

Sampai sekarang diskursus soal apa yang akan jadi pijakan PHI bagi penulis belum mantab, meski sudah mengeluarkan platform hijau dengan 3 pilar, tetapi itu masih belum cukup.

Kedua, sebetulnya peta jalan PHI ini seperti apa? Akan dibawa ke mana arah dari partai ini? Siapa basis massanya? Siapa kader-kadernya? Apakah hanya kalangan menengah OMS dan urban atau jejaring-jejaring akar rumput? Sebab ini tidak terlihat, PHI hanya sekumpulan aktivis di OMS yang cara kerjanya seperti keseharian mereka. 

Terkesan elitis dan eksklusif. Yang paling mencengangkan adalah pernah satu waktu PHI berambisi mengikuti pemilu, dengan bangunan yang rapuh ia mencoba masuk. Bermodal jejaring OMS, mereka mencoba mengumpulkan KTP sebagai syarat. Lalu, apa bedanya dengan partai tradisional yang selama ini dikritik? 

Ketiga, belum ada jejak dari PHI untuk masuk menghimpun jejaring perlawanan, membumi bersama yang lainnya menyuarakan perampasan hak, ikut dalam advokasi serta isu-isu akar rumput. 

Sebab, isu yang diangkat masih seputar isu urban dan kalangan aktivis menengah. Belum terlihat juga melakukan aksi di ruang publik, kecuali di forum-forum kecil yang isinya sama dengan sebelum-sebelumnya. 

Keempat, sampai saat ini belum ada bayangan jika partai ini memiliki sistem kaderisasi yang baik. Tidak ada pendidikan politik terukur dan terarah. Terlihat bagaiman sangat prematurnya gerakan dari PHI, seperti hanya sebuah wadah untuk melampiaskan hasrat diskusi politis tapi tidak dalam implementasinya. 

Kelima, sebagai partai yang dibangun dari OMS macam WALHI, tapi sampai saat ini belum ada arah jelas bagaimana para OMS ini belajar dari kegagalan lalu, kemudian membuat perbaikan. Yang terjadi sebaliknya, melakukan hal yang sama penuh dengan kerancuan. Satu sisi mendukung PHI, satu sisi memunculkan narasi usang seperti pilih calon partai tradisional, sebuah pragmatisme yang terus diulang bagai pita kusut di dalam box kaset. 

Seharusnya Bagaimana? 

Tentu di sini tidak usah penulis sampaikan harusnya bagaimana, sebab sudah bertahun-tahun bahkan hampir 10 tahun berdiri masih saja tidak jelas arah geraknya. Justru yang penulis sarankan adalah memperjelas ideologi PHI dan membuat operasionalisasi atas ideologi tersebut. Dengan kejelasan ideologi maka program-program yang disusun akan lebih jelas serta konkrit. 

Kemudian, menyiapkan sebuah partai harus melalui proses panjang, tidak sekedar mobilisasi tetapi juga bagaimana pengorganisasian dijalankan. Minimal membayangkan 10 tahun ini PHI akan fokus di mana? Lalu 10 tahun ke depan akan seperti apa? Jadi yang dilakukan bukan sekedar bernafsu ikut pemilu, tapi dimulai dari pembangunan partai terutama dari akar rumput, serta memutuskan dominasi “elitisme” OMS. 

Sudah seharusnya PHI memulai ini dengan berjejaring dengan perlawanan akar rumput, masuk sebagai supporting, masuk sebagai teman dan masuk sebagai saudara yang senantiasa menjadi kawan bertukar pikiran, berbagi pengetahuan dan mendukung aneka perjuangan melawan perampasan hak atas hidup. 

Apa tidak belajar dari catatan Ivan Haidar terkait “Partai Hijau, Partai LSM.” Meski sudah dijawab dalam booklet “Indonesia Hijau 2019″ bahwa PHI adalah partai yang harusnya dimiliki oleh semua kalangan, tetapi penulis rasa itu masih sekedar wacana. 

Agenda membumikan PHI agar berangkat dari gerakan akar rumput, sebagaimana partai-partai alternatif yang penulis temui lahir. Misal di Ekuador dengan munculnya gerakan adat dan orang pinggiran sehingga melahirkan beberapa partai alternatif progresif seperti Citizen Revolution dan Pachakutik (meskipun ada banyak kritik), atau Bolivia dengan kelompok adat serta petani yang akhirnya memenangkan kontestasi presiden dua kali. 

Atau partai hijau di negara-negara utara, seperti Jerman yang dilahirkan dari penulisp kaum muda dan urban, bahkan sejak tahun 80-an membangun pelan dan perlahan, melalui pendidikan terukur, hingga hasilnya menjadi partai yang cukup mapan. 

Catatan ini berangkat dari apa yang penulis lihat dan mungkin sebuah keresahan sebagai pihak eksternal. Membuka ruang kritik otokritik untuk menjadikan arah gerak yang lebih baik. Semoga catatan ini menjadi bahan diskusi untuk perkembangan PHI ke depannya.


Artikel ini ditulis oleh Wahyu Eka Styawan

Wahyu Eka Styawan adalah Direktur Eksekutif WALHI Jawa Timur.


Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.

Exit mobile version