Bom Bali 2002 menewaskan banyak warga asing, termasuk mereka yang berasal dari Australia. Insiden ini menjadi permulaan bagi menguatnya hubungan Indonesia-Australia.
“12 Oktober 2002 terjadi letusan bom di klub malam turis Australia yaitu Sari Club dan Paddy’s Club menewaskan 202 orang di antaranya 88 orang Australia, dan 38 orang Indonesia. Bom kedua meledak sepuluh menit setelah bom pertama meledak di Konsulat Jenderal AS di Bali, 10 mil dari lokasi bom pertama” – Ford (2021)
Sudah 18 tahun berlalu, kasus bom bali 1 terjadi di Indonesia masih teringat dengan jelas. Tepat satu tahun satu bulan dan satu hari dari peristiwa 9/11 yang menjadi awal mula perkembangan terorisme dunia. Fenomena tersebut merupakan pertama kalinya Indonesia terancam oleh kelompok teroris dan menggegerkan dunia.
Dampak besar dari kasus bom Bali yaitu memberikan image buruk dari dunia internasional terhadap Indonesia karena dianggap sebagai negara sarang teroris. Kasus bom bali 1 menjadi titik awal perkembangan terorisme berbasis agama di Indonesia dan menjadi bencana besar bagi negara Indonesia dan sekitarnya termasuk Australia.
Kerja Sama Keamanan Australia-Indonesia Mempererat Hubungan
Sebelum kasus Bom Bali, hubungan Indonesia dengan Australia sempat terganggu akibat kasus HAM di Timor Timur pada tahun 1999. Hubungan antara Indonesia dan Australia sangatlah penting, walaupun sering kali mengalami konflik yang bertentangan. Hingga saat ini hubungan diplomatik kedua negara sudah mencapai 71 tahun sejak 1945 (Wibawa, 2020).
Sebagai negara dengan letak geografis yang dekat dengan Indonesia, Australia menganggap kerja sama dengan Indonesia dalam bidang pertahanan dan keamanan sangatlah penting. Hal ini tidak terlepas dengan adanya kepentingan nasional Australia untuk menjaga stabilitas di kawasan. Australia menganggap bahwa Indonesia adalah penyangga keamanan Australia sekaligus dapat menjadi negara yang memberikan ancaman bagi Australia (Ansari, 2016).
Tidak hanya itu, terorisme sebagai kejahatan transnasional akan sangat sulit jika dilakukan oleh satu negara saja sehingga dibutuhkan kerja sama regional untuk membangun pertahanan dan keamanan kawasan. Sederet insiden pemboman yang terjadi di Indonesia telah memotivasi pemerintah Australia dan pemerintah Indonesia untuk bekerja sama meningkatkan kerja sama kedua negara dalam melawan terorisme, guna menjaga stabilitas regional dan global.
Hubungan kerja sama keamanan tersebut pertama kali terlaksana pada masa pemerintahan Megawati pasca bom bali 2002 dan terus berkembang hingga saat ini menjadi kerja sama yang paling erat di kawasan.
Perkembangan Kerja Sama Keamanan
Setelah Bom Bali 2002 mengakibatkan 88 warga negara Australia menjadi korban dari aksi terorisme, Australia menganggap terorisme di Indonesia sebagai kepentingan utama mereka. Tidak lama setelah Bom Bali 2002, Australia mulai membantu pelaksanaan kontra-terorisme di Indonesia sebagai fasilitator dan pemberian dana karena kurangnya pengalaman militer Indonesia dalam memberantas terorisme.
Pemerintah Australia memberikan dana yang besar kepada polisi Indonesia untuk program empat tahun kontra-terorisme, yang bernilai 10 juta dolar Australia (Gyngell, 2008) dan juga implementasi kerja sama terlihat dengan dibentuknya detasemen khusus 88 anti-teror, yang sampai saat ini menjadi unit penanggulangan terorisme di Indonesia yang berjalan dengan efisien.
Kerja sama tersebut antara lain operasi gabungan antara Polri dan AFD, pertukaran informasi dan intelijen, serta pembentukan kantor penghubung. Kemudian, dibentuk juga kesepakatan secara formal pertama Indonesia-Australia yang dinamakan MoU on Combating international Terrorism pada tahun 2002 sebagai langkah awal menjaga kawasan dari ancaman terorisme.
Pemerintah Indonesia juga terus melakukan perbaikan dalam kebijakan penanggulangan terorisme sehingga ke depannya akan jauh lebih efektif dan efisien karena perbaikan birokrasi. Pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Joint Declaration of Comprehensive Partnership Between Indonesia and Australia ditandatangani pada tahun 2005 dengan tujuan menjaga hubungan baik antar kedua negara mengenai keamanan kawasan (Haryani, 2008).
Pada tahun 2006, kerjas ama semakin dikembangkan secara komprehensif yaitu dengan dibentuknya sebuah kerangka pada tanggal 13 November 2006 yang bertajuk Framework Agreement on Security Cooperation Between the Republic of Indonesia and Australia atau Perjanjian Lombok. Isi dari Perjanjian Lombok secara umum terdiri dari 21 elemen penting yang dirangkai dalam 10 bidang kerja, yaitu kerja sama pertahanan, kerja sama penegakan hukum, kerja sama pemberantasan terorisme, kerjasama intelijen, kerja sama keamanan maritim, kerja sama keselamatan dan keamanan penerbangan, kerja sama proliferasi senjata pemusnah masal, kerja sama dalam tanggap darurat, kerja sama di organisasi internasional yang terkait dengan masalah keamanan, pengertian antara masyarakat dan antar orang (Ansari, 2016).
Hasil dari perjanjian Lombok membuat polisi Indonesia memiliki sumber yang sangat besar dari Australia untuk memerangi terorisme. Bersama Australia, upaya penanganan terorisme yang dilakukan secara kuratif dan preventif melalui operasi gabungan, pertukaran informasi dan intelijen, pembentukan kantor penghubung dan penempatan perwira penghubung, serta pengembangan kapabilitas dalam institusi, infrastruktur organisasi, sumber daya manusia dan peralatan yang difasilitasi oleh JCLEC (Ansari, 2016).
Hasil Nyata
Dengan dukungan Australia, penanggulangan terorisme di Indonesia bekerja sangat optimal dan efisien. Australia juga memberikan perhatian khusus kepada beberapa WNI yang diduga kuat sebagai teroris.
Melalui operasi gabungan yang telah dilakukan selama periode 2005-2008, 800 orang anggota teroris JI telah ditangkap dan sekitar 600 di antaranya telah dinyatakan bersalah sejak Bom Bali 12 Oktober 2002. Penangkapan anggota JI Dulmatin dan Umar Patek yang bersembunyi di Filipina bersama jaringan terorisme Asia Tenggara DI dan JI yang ada di Mindanao, serta penangkapan Dr. Azhari dan kelompok jaringan JI Jawa Tengah juga terjadi (Haryani, 2008).
Tidak hanya itu, seperti contohnya baru-baru ini, pemerintah Australia memberikan banyak perhatian pada kasus Abu Bakar Ba’asyir yaitu seorang ulama yang disebut merekrut banyak teroris terkemuka termasuk para pemimpin Bom Bali 2002. Pemerintah Australia selalu memberikan tanggapan sejak kasus bom bali hingga saat ini pada tahun 2021 adanya informasi pembebasan Abu Bakar Baasyir dengan mendesak Indonesia untuk selalu mengawasi – menandakan bahwa Australia selalu mengikuti perkembangan terorisme di Indonesia (Sihite & Adrianja, 2021).
Kondisi Hubungan Kerja Sama Indonesia-Australia ke Depannya
Sampai saat ini, kebijakan kerja sama Australia dengan Indonesia akan terus dilakukan untuk melawan terorisme. Kerja sama tersebut diwujudkan dalam bentuk tukar menukar informasi intelijen, penjagaan pelintas batas, menganalisis transaksi uang secara digital, pelatihan deradikalisasi dan sebagainya (Kominfo, 2019).
Pemerintah juga terus secara konsisten bertemu dengan pemerintah Australia. Hingga saat ini, terdapat lima kali pertemuan dengan banyaknya perkembangan kerja sama untuk mendapatkan metode baru dalam melawan aksi-aksi terorisme (PPATK, 2018).
Berhasilnya kerja sama keamanan tersebut menjadi titik balik Indonesia dan Australia untuk menjalani hubungan yang lebih baik lagi dalam jangka panjang. Selain itu, kerja sama tersebut diharapkan akan meningkatkan kemampuan untuk melawan terorisme dan dapat terjalin hubungan kerja sama dalam jangka panjang.
Tulisan milik Chalista Putri Romano, Mahasiswi S1 Ilmu Politik Universitas Indonesia.
Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.