HomePolitikBlok Rokan 2021 di Bawah Pertamina (Part 2)

Blok Rokan 2021 di Bawah Pertamina (Part 2)

Oleh Robert P. Radjagoekgoek, Mahasiswa S-3 Program Hukum di Universitas Pelita Harapan

Persoalan transisi Blok Rokan antara Chevron dan Pertamina bisa saja berdampak pada penurunan produksi. Oleh sebab itu, segala proses transisi mungkin perlu dipercepat.


PinterPolitik.com

Dalam tulisan ini, penulis hendak melanjutkan asumsi pertama yang disajikan dalam tulisan penulis sebelumnya, yakni “seluruh pengelolaan blok Rokan (96 lapangan minyak) ditangani menyeluruh oleh PT. Pertamina, baik drilling (pengeboran) dan workover (kerja ulang) & well service (perawatan sumur).”

Setelah Pertamina mengambil alih Rokan blok secara menyeluruh, ada beberapa pertanyaan yang muncul dari penulis terhadap pemerintah (Pertamina). Bagaimana dan beberapa lama waktu yang diperlukan dalam transisi dari PT. Chevron Pacific Indonesia kepada pemerintah?

Apakah ada kekhawatiran dari pemerintah apabila transisi terlambat dilaksanakan dan apakah ada dampak terhadap produksi barel per hari? Dan, yang sangat perlu diperhatikan Pertamina dan Chevron, bagaimana nasib ribuan karyawan Chevron yang akan beralih menjadi karyawan Pertamina?

Begitu juga, dari puluhan ribu karyawan kontraktor-kontraktor yang berada di bawah Chevron sekarang? Kemudian, bagaimana dampak lanjutan transisi ini terhadap pendapatan dan pembangunan masyarakat Indonesia?

Sesuai pengalaman dari penulis selama bekerja 30 tahun lebih bekerja dalam drilling & completion team di Chevron, untuk mempertahankan atau dan menaikkan produksi (lifting), dapat dilakukan dengan beberapa cara yang utama, yaitu menambah pengeboran sumur produksi minyak dan gas, melakukan perbaikan-perbaikan sumur-sumur lama (well work dan well service), melakukan perbaikan-perbaikan, dan/atau melakukan penggantian pipa-pipa saluran minyak produksi minyak dan gas.

Lantas, bagaimana transisi dari Chevron ke Pertamina? Apa yang telah dilakukan oleh pemerintah terhadap transisi dari Chevron ke Pertamina? Apakah Pertamina menunggu transisi saat 8 Agustus 2021 nanti?

Berdasarkan informasi, Chevron tidak melakukan pengeboran sumur produksi minyak dan gas sejak awal 2019. Akibatnya, lifting produksi bisa turun secara sangat signifikan – bisa ribuan barel per hari berdasarkan prediksi. Sementara, perbaikan-perbaikan sumur lama dan pipa-pipa masih dilakukan walaupun jumlahnya berkurang.

Baca juga :  Prabowo and The Nation of Conglomerates

Boleh jadi, apabila transisi dilakukan saat 8 Agustus 2021, dampaknya dapat sajat menjadi sangat berat bagi Pertamina mempertahankan produksi lifting rata-rata 200.000 barel per hari setelah Blok Rokan sudah ditangani Pertamina – di mana persiapan untuk melakukan pengadaan rig pengeboran rata-rata membutuhkan waktu 6-8 bulan.

Pasalnya, waktu untuk memproduksi sumur tersebut membutuhkan kurun waktu dalam 30 hari. Belum lagi, hal ini pun juga membutuhkan persetujuan dari SKK Migas terhadap proyek sumur pengeboran tersebut. Oleh sebab itu, proses ini bisa membutuhkan waktu kurang lebih 8-10 bulan untuk melakukan pengeboran sumur pengeboran lagi.

Mungkin, SKK Migas yang membawahi K3S – Chevron, Pertamina, Medco, Conoco Philips, dan lain-lain – merasa khawatir dengan lambatnya transisi Blok Rokan ini. Akibatnya, pengurangan produksi lifting dari Blok Rokan bisa saja terjadi.

Dengan minimnya investasi pengeboran saat ini, laju pendapatan dan pembangunan negara boleh jadi malah menurun sehingga Blok Rokan menjadi kurang dimanfaatkan secara maksimal untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia, begitu juga dampak moral dari ribuan karyawan-karyawan Chevron dan puluhan ribuan karyawan-karyawan dari kontraktor-kontraktor Chevron yang melakukan kegiatan bisnis di Blok Rokan.

Hal ini tidak sesuai dengan amanat dalam konstitusi Pasal 33 UUD 1945 dan juga tidak sesuai dengan tujuan kegiatan usaha migas yang tertuang dalam UU No.22 Tahun 2001 yang bertujuan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia – seperti dituangkan dalam penjelasan penulis di artikel yang pertama.

Dengan paradigma kontruktivisme, penulis menilai bahwa hukum yang ada sebenarnya adalah konsensus, kesepakatan, atau resultante relatif di antara berbagai pemahaman, pendapat, atau opini mengenai persoalan yang tengah dihadapi, sesuai dengan konteks ruang dan waktunya. Dalam hal ini, penulis berpendapat bahwa, dalam transisi permasalahan Blok Rokan ini, pemerintah harus melakukan transisi secepatnya dengan kurun waktu tersisa, yakni 18 bulan.

Baca juga :  Ridwan Kamil “Ditelantarkan” KIM Plus? 

Pemerintah melalui SKK Migas dapat meminta dengan metode kerja sama antara Pertamina dan Chevron melalui pengeboran sumur pengembangan dengan kedalaman sekitar 1.000 kaki, dengan memakai rig pengeboran berdaya 350 horsepower (HP) atau dengan mengadakan pengadaan kontrak rig yang besar berdaya 750-800 HP untuk sumur pengembangan dengan kedalaman 3.000-5.000 kaki.

Dalam Hukum Kontrak atau Hukum Bisnis, penulis berpendapat Chevron dan Pertamina dapat melakukan perjanjian dengan melakukan kesepakatan hak dan kewajiban walaupun kontrak Wilayah Kerja Blok Rokan masih berada di bawah Chevron. Dengan begitu, saat peralihan Blok Rokan ini terjadi penurunan produksi lifting tidak terjadi secara signifikan bila ada penambahan pengeboran sumur pengembangan.

Harapannya, dengan difasilitasi SKK Migas, Chevron dan Pertamina bisa berbesar hati untuk melakukan diskusi yang cepat, benar, dan baik untuk melakukan penambahan pengeboran sumur pengembangan demi kepentingan bangsa dan negara Indonesia sesuai amanat konstitusi Pasal 33 UUD 1945 dan UU No.22 Tahun 2001.

Tulisan milik Robert P. Radjagoekgoek, Mahasiswa S-3 Program Hukum di Universitas Pelita Harapan.

“Disclaimer: Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.”

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Menyingkap Sportwashing dalam Laga Indonesia-Bahrain

Kontroversi ini perpanjang daftar kritik terhadap wasit dari Timur Tengah, di tengah dugaan bias dan pengaturan skor sepak bola internasional.

Unlike Jokowi, Prabowo Will Be His Own Man

More assertive foreign policy and democratic backsliding are most likely on the horizon as Prabowo Subianto becomes the next Indonesian president.

Fenomena Gunung Es “Fake Review”

Fenomena fake review kini banyak terjadi di jual-beli daring (online). Siapakah yang dirugikan? Konsumen, reviewer, atau pelaku usahakah yang terkena dampaknya? PinterPolitik.com Sejak berlangsungnya proliferasi internet...