Wacana hukuman mati kembali bergulir ketika Kapolsek Astana Anyar Kompol Yuni Purwanti Dewi ditangkap atas dugaan penyalahgunaan narkotika jenis sabu bersama dengan 11 anggotanya pada tanggal 16 Februari 2021. Hukuman mati memang diharapkan menghasilkan efek jera. Namun, nyatanya penerapan hukuman mati terhadap kasus peredaran narkotika tidak menunjukkan efek terhadap penurunan jumlah kasus yang terjadi di Indonesia.
Tujuh gram sabu ditemukan oleh Propam Polda Jawa Barat pada saat menciduk Kapolsek Astana Anyar Kompol Yuni Purwanti Kusuma Dewi bersama dengan 11 anggotanya saat melakukan pesta narkoba pada tanggal 16 Februari 2021.
Atas temuan barang haram tersebut, Kompol Yuni bersama 11 anggota lainnya dilakukan tes urin dan hasil dari tes urin tersebut membuktikan bahwa sejumlah anggota kepolisian polsek Astana Anyar positif menggunakan narkoba jenis sabu.
Sebelumnya, mantan Kapolri Jenderal (Purn) Idham Aziz menyatakan akan memberikan sanksi tegas terhadap anggota Polri yang terlibat dalam kasus narkoba, di mana sanksi terberatnya itu merupakan hukuman mati. Hal tersebut dikarenakan menurutnya polisi sebagai aparat penegak hukum sudah tahu aturan hukumnya.
Menyikapi hal tersebut, Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Argo Yuwono menyatakan bahwa Polri masih melakukan penyelidikan lebih lanjut terkait keterlibatan Kompol Yuni dan anggota lainnya dalam penyalahgunaan narkoba tersebut dan sanksi yang akan dijatuhkan akan merujuk pada hasil penyelidikan di lapangan, termasuk katakanlah pidana mati.
Wacana hukuman mati terhadap kasus narkotika memang bukan yang pertama kali. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Narkotika, hukuman mati dalam tindak pidana narkotika memang dimungkinkan. Berdasarkan data ICJR dalam laporan yang berjudul “Mencabut Menyelamatkan Nyawa di Masa Pandemi” selama periode Oktober 2019 – Oktober 2020 terdapat 173 kasus dengan jumlah 210 terdakwa yang divonis mati.
Kasus hukuman mati ini didominasi oleh kasus narkotika sebanyak 149 kasus atau 86 persen diikuti oleh kasus pembunuhan berencana sebanyak 23 kasus (13 persen) dan terakhir kasus terorisme sebanyak 1 kasus (1 persen).
Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tetang Kepolisian Republik Indonesia dijelaskan bahwa anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang melakukan pelanggaran hukum tetap tunduk pada kekuasaan peradilan umum. Jadi, setiap anggota kepolisian yang melakukan tindak pidana dapat diadili melalui peradilan umum sama seperti warga sipil lainnya.
Maka dari itu penerapan hukuman mati terhadap Kompol Yuni dan 11 anggota lainnya sangat dimungkinkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Lalu seperti apakah keterlibatan Kompol Yuni dalam kasus penyalahgunaan narkoba yang dilakukannya? Apakah penyidik kepolisian akan menggunakan pasal dengan sanksi hukuman mati terhadap Kompol Yuni?
Pemecatan hingga Hukuman Mati Mengancam
Presenter kondang Najwa Shihab pernah berkata: “Polisi harus ada di garda terdepan, menciptakan efek jera bagi kejahatan”. Kata-kata itu serupa dengan yang diungkapkan oleh Sholehuddin dalam bukunya yang berjudul Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System & Implementasinya.
Dalam bukunya itu Sholehuddin menyebutkan bahwa teori pemidanaan memiliki tiga tujuan, antara lain:
- Memberikan efek penjeraan dan penangkalan;
- Pemidanaan sebagai rehabilitas; dan
- Pemidanaan sebagai wahana Pendidikan moral atau merupakan proses reformasi.
Dengan demikian, pemidanaan terhadap anggota polisi yang melakukan pelanggaran hukum menjadi sangat penting agar adanya pembelajaran bagi aparat penegak hukum lainnya untuk menjauhi penyalahgunaan narkoba.
Sama halnya anggota Polri yang melakukan pelanggaran hukum dianggap merusak citra institusi Kepolisian RI, proses penegakan hukum terhadap anggota Polri yang melakukan pelanggaran hukum juga akan berdampak pada citra kepolisian.
Hal ini dikarenakan Indonesia merupakan negara hukum dan terdapat unsur equality before the law yang artinya adalah persamaan di hadapan hukum bagi semua warga negara, baik selaku pribadi maupun dalam kualifikasinya sebagai pejabat negara.
Penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh anggota kepolisian itu tidak hanya melanggar kode etik profesi kepolisian saja, tetapi juga merupakan pelanggaran hukum pidana yang serius. Maka dari itu penyelesaian proses hukum dinilai sangat penting untuk dapat memberikan keadilan dan citra yang baik bagi institusi kepolisian.
Terdapat 2 mekanisme proses penegakan hukum bagi anggota polri yang melakukan pelanggaran hukum. Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia berbunyi bahwa:
“Pelanggaran terhadap kode etik profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia oleh pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia diselesaikan oleh Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia”.
Selain penyelesaian melalui mekanisme internal kepolisian melalui Komisi Kode Etik Kepolisian, anggota kepolisian yang melakukan pelanggaran hukum juga dapat diproses hukum melalui mekanisme peradilan umum.
Hal ini sebagaimana yang tertuang di dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia yang berbunyi:
“Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia tunduk pada kekuasaan peradilan umum”.
Jadi sanksi terberat yang akan diterima oleh Kompol Yuni tidak hanya pemecatan dari Korps Bhayangkara itu saja, tetapi hukuman mati atas penyalahgunaan narkotika juga sangat memungkinkan.
Hukuman Mati Bukan Solusi
Hukuman mati di Indonesia memang dimungkinkan dan masih diatur di dalam peraturan perundang-undangan. Meskipun demikian, penolakan terhadap hukuman mati masih terus digaungkan oleh aktivis hak asasi manusia.
Data yang dipaparkan oleh LBH Masyarakat, di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo setidaknya telah ada tiga gelombang eksekusi hukuman mati. Dari 18 orang yang dieksekusi tersebut seluruhnya dikarenakan kasus tindak pidana narkotika.
Namun, eksekusi mati yang dilakukan tersebut tidak membuat data angka kasus tindak pidana narkotika menurun. Faktanya berdasarkan Laporan Tahunan Mahkamah Agung, tindak pidana narkotika adalah tindak pidana terbanyak dengan total 51.107 kasus.
Dari hal di atas membuktikan bahwa penerapan hukuman mati tidak mampu mencegah terjadinya suatu tindak pidana sebagaimana tujuan dari teori pemidanaan untuk menimbulkan efek jera.
Selain itu penerapan hukuman mati jelas melanggar hak asasi manusia. Hal ini berdasarkan Pasal 28 I ayat 1 UUD 1945, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 3 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB 1948. Hal ini dikarenakan hak hidup merupakan Non-Derogable Rights. Dengan kata lain hak hidup merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurang dalam keadaan apapun.
Todung Mulya Lubis dalam tulisannya yang berjudul Kontroversi Hukuman Mati: Perbedaan Pendapat Hakim Konstitusi mengatakan bahwa penerapan pidana mati merupakan salah satu bentuk pengingkaran, pengurangan dan pembatasan hak seseorang untuk hidup.
Aturan penerapan hukuman mati itu tidak hanya untuk kasus narkotika saja. Di Indonesia sendiri setidaknya ada lebih dari 30 tindak pidana lain yang juga dimungkinkan pelaku tindak kejahatan tersebut mendapatkan hukuman mati. Tindak pidana tersebut antara lain terorisme, pembunuhan berencana, pelanggaran HAM, tindak pidana korupsi, hingga tenaga atom.
Padahal Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) sejak 2007 sudah menegaskan untuk menentang hukuman mati. Laporan Amnesty Internasional yang berjudul “Keadilan yang Cacat: Peradilan yang Tidak Adil dan Hukuman Mati Di Indonesia” mengatakan bahwa lebih dari dua pertiga negara di dunia telah menghapus hukuman mati secara hukum atau praktik, dan tren global menuju penghapusan menjadi semakin jelas.
Namun, di Indonesia sendiri dengan masih banyaknya pemberian hukuman mati memang menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia masih minim dalam perlindungan hak asasi manusia, terutama hak untuk hidup.
Lalu bagaimanakah hasil penyidikan dari pihak kepolisian atas kasus penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh Kompol Yuni beserta 11 anggota lainnya? Akankah mereka mendapatkan vonis hukuman mati? Menarik kita tunggu lanjutannya.
Tulisan milik Falis Aga Triatama, Praktisi Hukum di Winrow Veritas Law Firm.
Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.