Site icon PinterPolitik.com

Benur Bikin Gerindra Babak Belur

Benur Bikin Gerindra Babak Belur

Menteri Kelautan dan Perikanan (KP) Edhy Prabowo ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena kasus dugaan suap terkait izin ekspor benih lobster (benur). (Foto: JPNN)

Penangkapan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo merupakan tangkapan “ikan besar” yang dilakukan oleh KPK semenjak dipimpin oleh Firli Bahuri. Kasus ini juga membuat spekulasi bermunculan terkait penerbitan Peraturan Menteri yang jadi pintu masuk izin ekspor benur yang digunakan beberapa pihak untuk meraup keuntungan.


PinterPolitik.com

Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Rabu 25 November 2020 dini hari dilakukan terhadap Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo bersama dengan beberapa pejabat kementerian tersebut di Bandara Soekarno-Hatta terkait dugaan tindak pidana korupsi dalam ekspor benur atau benih lobster.

Jika menggunakan buku William J. Chambliss yang berjudul Criminal Law in Action terdapat beberapa alasan tindak pidana korupsi merebak di dalam lingkaran kekuasaan. Pertama terkait tidak adanya kompetensi teknis moral dan yang kedua, sang pemimpin menjadi patron kejahatan. Alasan inilah yang membuat Edhy Prabowo terlibat dalam tindak pidana korupsi benih lobster.

Penangkapan Edhy Prabowo membuat Partai Gerindra jatuh ke lubang yang lebih dalam, katakanlah jika dibanding kasus korupsi sebelumnya yang melibatkan anggota partai tersebut pada saat masih menjadi oposisi pemerintahan.

Seolah bangkit dari kubur, akhirnya KPK kembali mengungkap kasus korupsi yang berlevel tinggi setingkat menteri. Apalagi sebelumnya terjadi penolakan massa yang besar bertajuk #ReformasiDikorupsi terhadap Firli Bahuri sebagai pemimpin KPK, pun terkait disahkannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Adapun kasus suap yang menimpa Edhy Prabowo sudah bisa diprediksi terjadi sejak penerbitan Peraturan Menteri Nomor 12 Tahun 2020 yang membatalkan Peraturan Menteri Nomor 1 Tahun 2015 yang sebelumnya dibuat oleh menteri terdahulu, Susi Pudjiastuti.

Alasan penerbitan Permen Nomor 1 Tahun 2015 yang dikeluarkan Susi Pudjiastuti adalah  karena larangan ekspor benih lobster dapat meningkatkan nilai tambah dari lobster tersebut sebelum diperjualbelikan di pasar global, selain itu karena pelarangan ekspor benih lobster diharapkan dapat meningkatkan populasi lobster di Indonesia.

Senada dengan Susi Pudjiastuti, Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Hasan Aminuddin menilai pembudidayaan lobster jauh lebih menguntungkan bagi nelayan Indonesia dibanding mengekspor benur.

Lalu penerbitan Permen Nomor 12 Tahun 2020 yang dikeluarkan oleh Edhy Prabowo menguntungkan siapa?

Lobster untuk Burung Garuda?

Ternyata ada lobster di balik penerbitan Permen Nomor 12 Tahun 2020. Beberapa pihak kemudian menuduh bahwa keuntungan yang diterima atas kebijakan tersebut berputar di lingkaran Partai Gerindra. Pasalnya, terdapat keterlibatan beberapa perusahaan di bidang ekspor benur yang di dalamnya dikuasai atau dijalankan oleh kader-kader Gerindra.

Adapun beberapa perusahaan yang sudah memiliki izin ekspor benur antara lain PT Agro Industri Nasional yang dimiliki Yayasan Kesejahteraan Pendidikan dan Perumahan di bawah pembinaan Kementerian Pertahanan. Di PT Agro Industri Nasional itu terdapat Sugiono (Wakil Ketua Umum Gerindra) dan Sudaryono (Sekretaris Jenderal Gerindra) yang menjabat sebagai komisaris, lalu ada Rauf Purnama, Dirgayuza Setiawan dan Simon Aloysius sebagai direksi yang adalah kader Gerindra.

Selain itu ada juga PT Royal Samudera Nusantara yang diisi oleh Ahmad Bahtiar Sebayang (Wakil Ketua Umum Tunas Indonesia yang merupakan organisasi sayap Gerindra) sebagai komisaris. Lalu PT Maradeka Karya Semesta milik Iwan Darmawan Aras (anggota Komisi V DPR dari fraksi partai Gerindra). Serta PT Bima Sakti Mutiara Hashim Djojohadikusuo (adik Prabowo) sebagai komisaris.

Modus operandi yang dilakukan dalam melakukan korupsi di sektor benur ini adalah dengan cara memonopoli kargo ekspor benur yang hanya dapat dilakukan oleh PT Aero Citra Kargo dan perusahaan yang sudah menyetor adalah PT Dua Putra Perkasa Pratama. Harga ongkos pengiriman juga diatur oleh Andreau Pribadi Misata dan Safri Muis serta dibantu oleh Amiril (Kader Gerindra) yang biasanya Rp 200-300 per ekor menjadi Rp 1800 per ekor.  Mereka kini sudah ditetapkan sebagai tersangka.

Keterlibatan banyak aktor dalam kasus korupsi benur ini menjadi tantangan bagi KPK di kepemimpinan Firli Bahuri untuk dapat mengungkap seluruh aktor-aktor intelektual yang turut terlibat di dalam lingkaran kasus korupsi benur tersebut

Sebelumnya sejumlah kalangan meragukan bahwa pengesahan revisi UU KPK dapat melemahkan komisi anti-rasuah tersebut. Ditambah komitmen Firli Bahuri dalam pemberantasan korupsi dinilai akan menghambat kerja-kerja KPK.

Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti misalnya pernah mengungkapkan masalah yang timbul di dalam UU KPK yang baru, yakni terkait independensi KPK, kewenangan penyadapan yang harus mendapatkan izin Dewan Pengawas, lalu KPK diwajibkan bersinergi dengan penegak hukum lain, kinerja KPK akan difokuskan pada bidang pencegahan saja, dan adanya kewenangan Surat Penghentian Penyidikan dan Penuntutan (SP3) dalam jangka waktu 2 tahun.

UU Baru, KPK Jadi Macan Ompong?

Menurut Black’s Law Dictionary, korupsi adalah perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak resmi dengan hak-hak dari pihak lain secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan dari dirinya sendiri atau orang lain, yang berlawanan dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak lain.

Dewan Pengawas KPK telah memberikan izin untuk penyadapan hingga penangkapan terhadap Edhy Prabowo. Hal ini sejalan dengan tugas Dewan Pengawas yang tertuang di dalam Pasal 37B ayat (1) poin b UU KPK yang berbunyi:

“Memberikan izin atau tidak memberikan izin Penyadapan, penggeledahanm dan/atau penyitaan”.

Hal di atas menjelaskan bahwa Dewan Pengawas sudah pasti mengetahui siapa-siapa saja yang menjadi target operasi dari KPK.

Apakah rencana-rencana penyelidikan yang dilakukan oleh KPK akan aman dan tidak bocor oleh Dewan Pengawas? Pasalnya pemilihan Dewan Pengawas merupakan proses politik yang dilakukan oleh Presiden. Di sinilah indepedensi KPK diuji.

Pertanyaan selanjutnya adalah apakah pemberian izin oleh Dewan Pengawas tidak menjadi hambatan dalam proses penegakan hukum? Tidak hanya kasus yang melibatkan Edhy Prabowo ini saja, namun juga untuk mengungkap keterlibatan seluruh aktor yang berada di lingkaran kasus benur ini.

Sebelumnya dalam sidang gugatan UU KPK yang baru di Mahkamah Konstitusi, Novel Baswedan selaku penyidik senior lembaga tersebut mengeluhkan bahwa keberadaan Dewan Pengawas menghambat proses penegakan hukum kasus korupsi yang dilakukan oleh lembaga tempat ia bertugas tersebut.

Hal ini dikarenakan semenjak diundangkannya UU KPK yang baru, terdapat kewenangan untuk KPK dapat menerbitkan SP3. Jadi dengan adanya Dewan Pengawas dinilai dapat menghambat kerja-kerja KPK untuk mendapatkan bukti-bukti yang cukup untuk rantai kasus korupsi benur ini.

Kewenangan KPK dalam mengeluarkan SP3 ini diatur di dalam Pasal 40 UU KPK yang berbunyi:

“Komisi Pemberantasan Korupsi dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara Tindak Pidana Korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun.”

Seperti yang kita ketahui, tindak pidana korupsi merupakan kejahatan kerah putih (white collar crime). Menurut Hazel Croall, kejahatan kerah putih didefinisikan sebagai penyalahgunaan peran pekerjaan yang sah diatur oleh Undang-Undang. Kejahatan kerah putih diistilahkan dengan penipuan, penggelapan dan pelanggaran lain yang berhubungan dengan pegawai berstatus tinggi.

Aliran dana yang rumit dan banyaknya aktor yang terlibat dalam kejahatan tindak pidana korupsi merupakan alasan mengapa proses penegakan hukum atas satu perkara korupsi membutuhkan waktu yang cukup lama. Hal ini menjadi tantangan bagi KPK dengan dikeluarkannya kewenangan KPK untuk menerbitkan SP3 apabila proses penegakan kasus melewati jangka waktu 2 tahun.

Penangkapan Edhy Prabowo memang merupakan tangkapan besar yang dilakukan oleh KPK di masa kepemimpinan Firli Bahuri. Namun, apakah penangkapan ini dapat menjadi jalan masuk bagi KPK untuk mengungkapkan kasusnya hingga ke akar-akarnya dengan menangkap pelaku-pelaku lain di tingkatan elite? Ataukah penangkapan ini hanya dijadikan alat politik saja untuk menyingkirkan lawan-lawan politik?

Menarik untuk kita nantikan keampuhan UU KPK yang baru dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.


Tulisan milik Falis Aga Triatama, Praktisi Hukum di Winrow Veritas Law Firm.


Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version