Indonesia sebentar lagi akan memperingati hari kemerdekaannya yang ke-76. Sudahkah Indonesia benar-benar merdeka dari “belenggu” negara dan peradaban Barat?
“Warisan terburuk kolonial bukan kematian dan kemiskinan, namun mental budak dan inferioritas. Mental yang senang terhadap hal dari Barat.”
Indonesia sebentar lagi akan merayakan tahun ke-76 kemerdekaannya dari imperialisme dan kolonialisme. Namun, mental inlader bangsa Indonesia terhadap bangsa Barat nampaknya hingga hari-hari ini masih kental dalam kehidupan bermasyarakat.
Superioritas Barat, tidak bisa dinafikan – memang memiliki pengaruh yang kuat terhadap negara-negara yang dijajahnya. Negara-negara yang tengah mengalami post-kolonialisme cenderung mengidap inferiority complex terhadap bangsa Barat disebabkan oleh adanya relasi kuasa yang terus terjalin sejak zaman kolonial hingga kini.
Inferiority complex merupakan keadaan mental atau kondisi psikologis di mana seseorang cenderung merasa inferior maupun lebih rendah dibanding pihak lain. Kondisi psikologis ini biasanya diiringi oleh kondisi xenophobia atau rasa takut pada orang asing atau sesuatu yang berasal dari luar.
Artinya, wacana-wacana dominatif Barat yang telah ditanamkan sejak zaman kolonialisme dan imperialisme masih hidup dan berkembang menjadi sebuah kesadaran dalam diri masyarakat Indonesia.
Pernah mendengar seseorang berkata, “coba aja dulu yang menjajah Indonesia itu Inggris bukan Belanda”? Pernyataan tersebut biasanya terlontar ketika seseorang sedang membandingkan kehidupannya di Indonesia dengan negara eks-koloni Inggris yang kehidupannya lebih makmur, seperti Singapur dan Malaysia.
Sebenarnya dari pernyataan tersebut terlihat bahwa adanya bentuk mental rendah diri atau inferiority complex terhadap Barat secara tersirat di dalamnya. Dari pernyataan tersebut tercermin bahwa ada bentuk penerimaan bahwa bangsa Barat memang diciptakan lebih hebat dan karenanya Indonesia layak untuk dijajah sehingga muncul pernyataan tersebut – seakan-akan masyarakat Indonesia menganggap dijajah adalah hal yang biasa, bahkan berandai apabila dahulu dijajah oleh Inggris karena dianggap lebih menguntungkan.
Orientalisme, sebagaimana didefinisikan oleh Edward Said dalam bukunya Orientalism, adalah sebuah cara untuk memahami dunia Timur, berdasarkan tempatnya yang khusus dalam pengalaman manusia Barat Eropa. Lebih jauh lagi, Said mengemukakan bahwa Barat menganggap dirinya berstatus we, sedangkan Timur diberi status they (the others).
Akibatnya, muncul anggapan bahwa Timur adalah objek atas Barat yang pada akhirnya menimbulkan dorongan dalam bangsa Barat untuk menjajah Timur, terutama Timur Tengah. Dari sini, penulis dapat mulai menarik benang merah bahwa inferiority complex yang ada di masyarakat Indonesia terhadap barat merupakan kontruksi yang tercipta oleh orientalisme, imperialisme, dan kolonialisme.
Said dalam teorinya tentang orientalisme berupaya untuk mengungkap pola dominasi dari konsep oposisi biner (Barat-Timur, beradab-biadab, bermoral-amoral, dan lain-lain) yang dibawa oleh bangsa Barat. Said berpendapat bahwa konsep oposisi biner ini digunakan sebagai sarana untuk menanamkan sebuah kesadaran bahwa bangsa Barat jauh lebih dominan dan superior dibanding bangsa Timur.
Selama masa penjajahan, masyarakat pribumi Indonesia diposisikan sebagai masyarakat yang tidak beradab dan berpengetahuan. Dengan menanamkan kesadaran ini, para kolonialis dan imperialis memunculkan diri sebagai sosok yang akan memberadabkan masyarakat pribumi dengan melakukan penguasaan di tanah mereka sendiri.
Diferensiasi kelas sosial di era penjajahan dilakukan untuk menancapkan sebuah pondasi wacana bahwa masyarakat pribumi adalah kelas sosial yang paling rendah dibanding kelas sosial yang lain. Merujuk pada pemikiran Antonio Gramsci, wacana-wacana ini digunakan untuk menciptakan sebuah dominasi dan hegemoni bangsa Barat kepada masyarakat pribumi.
Menurut Said, para penjajah telah menyuntikan kesadaran palsu dengan memaksakan doktrin orientalisme kepada kaum terjajah. Hasilnya, watak, mental, dan kepribadian subektif kaum terjajah akan “sesuai” dengan yang tertera di naskah-naskah orientalisme.
Hegemoni wacana orientalisme ini menyebabkan kaum terjajah memperoleh kesadaran palsu tentang dirinya (dan juga Barat) dan dunianya (dan dunia Barat). Penguasaan terhadap wacana dan kesadaran yang masih berlangsung hingga saat inilah yang juga membentuk sebuah inferiority complex di mana masyarakat yang pernah terjajah dalam hal ini Indonesia, masih terus silau terhadap peradaban Barat, menganggapnya lebih maju dibanding mereka dan terus-terusan menciptakan ilusi bahwa mereka jauh di bawah bangsa-bangsa Barat.
Melalui penguasaan wacana dan penciptaan hegemoni inilah, bangsa Barat dapat melakukan berbagai intervensi kepada negara-negara dunia ketiga termasuk Indonesia di berbagai sektor seperti politik, ekonomi, pendidikan, dll. Artinya, inferiority complex yang penulis maksudkan di dalam tulisan ini, adalah sebuah proses penciptaan kondisi psikologis yang kompleks dan sistematis di mana wacana-wacana penguasaan yang diberikan oleh bangsa Barat terus berkembang dan mereproduksi diri agar berbagai intervensi yang mereka lakukan tetap menemukan jalan masuknya.
Berkaca pada era-era ini, kecenderungan masyarakat Indonesia melihat bahwa mereka tidak lebih berdaya dibanding bangsa Barat juga berasal dari realita yang memang menunjukkan bahwa bangsa Barat memiliki dominasi yang besar di segala sektor. Dominasi ini, menurut Said, didapatkan oleh bangsa Barat melalui proses ekpedisi yang panjang guna memperluas dan mempertajam pengetahuan mereka mengenai orien yang dapat diartikan sebagai suatu wilayah yang asing (unfamiliar space).
Melalui pengetahuan tentang orien, mereka dapat menciptakan pola dan pembacaan subyektif sendiri tentang bangsa Timur untuk kemudian diberikan pengaruh yang berasal dari pengetahuan mereka. Hasilnya, hingga saat ini, bangsa-bangsa Barat memiliki dominasi besar dalam perkembangan teknologi dan industrialisasi global yang sangat berpengaruh ke negara-negara dunia ketiga.
Perkembangan teknologi dan industri saat ini memperlihatkan bagaimana kehidupan sehari-hari yang dijalani di Indonesia mengarah pada suatu konsep pembangunan model Barat. Cara bangsa Barat melihat pembangunan dijadikan sebuah tolok ukur dan pedoman untuk menciptakan pembangunan di Indonesia.
Konsep modernisme Barat melalui industrialisasi dan pembangunan masif diadaptasi oleh Indonesia dan dianggap sebagai pondasi untuk menjadi bangsa yang lebih maju. Said memperlihatkan kepada kita bahwa upaya untuk memberikan suatu label (negara maju, negara berkembang, negara miskin) kepada negara-negara Timur merupakan suatu kontrol dari negara Barat, terutama Eropa untuk membentuk sebuah imperialisme modern. Penegasan dominasi ini, mereproduksi secara kontinu sebuah wacana-wacana bahwa bangsa Indonesia memanglah sebuah bangsa yang tidak lebih besar dari bangsa Barat termasuk bangsa penjajahnya sendiri.
Inferiority complex yang dipelihara terus-menerus akan mematikan nalar-nalar kritis yang seharusnya muncul dalam diri bangsa-bangsa yang terjajah. Kegagalan menciptakan sebuah pemikiran kritis membuat bangsa Indonesia kesulitan memahami identitas mereka secara utuh dan menemukan konsep yang paling ideal untuk bangsa ini sesungguhnya. Inferiority complex ini jugalah yang membuat bangsa ini sulit keluar dari bayang-bayang keagungan Barat dan terus menuju pada sebuah kolonialisasi yang baru—yang tak kasat mata.
Tulisan milik Eca Lacantika, Mahasiswa Ilmu Politik di Universitas Indonesia.
Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.